1

PETA PEMIKIRAN ISLAM INDONESIA*) Dr. Ngatawi AL-Zastrouw, S.Ag., M.Si**)

Panitia memberikan tema kepada penulis “Anatomi Pemikiran Islam” ada dua hal yang perlu kami berikan catatan terkait dengan tema tersebut. Pertama soal anatomi, hal ini terkait dengan persoalan fisik yang bisa dilihat dan dianalisa secara kongkrit dan faktual. Oleh karenanya kata anatomi biasanya digunakan untuk tubuh atau gerakan yang bersifat fisik atau faktual. Sedangkan pemikiran sifatnya masih abstrak, konsepsional dengan demikian dia tidak dapat diketahui anatominya, dia hanya bisa dikenali genealogi (akar dan asal-usulnya) tapi tidak bisa dijelaskan bentuk anatominya. Oleh karenanya saya harus mengganti kata anatomi menjadi “peta” karena yang akan dibahas bukan soal gerakan yang memiliki sifat kongkrit dan faktual tetapi soal pemikiran yang abstrak yang hanya bisa digambarkan (dipetakan) setelah melihat asal-usul (genealogi) dan metode (manhaj) dari pemikiran tersebut. Genealogi ini penting untuk membuat pemetaan, karena sumber yang sama bisa menghasilkan pemikiran yang berbeda karena perbedaan genealogi dan metode berpikir. Kedua, pemikiran Islam begitu luas dan beragam (complicated) sehingga tidak akan selesai dibahas hanya dalam watu satu kali diskusi. Agar perbincangan dan diskusi lebih mendalam dan terfokus maka kami akan membatasi hanya sketsa pemikiran Islam di Indonesia dalam konteks kekinian, karena pemikiran Islam Indonesia sebenarnya juga sangat luas, terutama jika dikaitkan dengan Islam Nusantara, sebagai akar dari Islam Indonesia saat ini. Atas dasar inilah penulis mengubah tema menjadi “sketsa pemikiran Islam Indonesia”

Pemikiran dan Gerakan Ada perbedaan antara pemikiran dan gerakan. Meski gerakan merupakan aktualisasi dan ekspresi dari pemikiran namun tidak semua pemikiran yang sama menghasilkan gerakan yang sama. Demikian sebaliknya gerakan yang bentuk, anatomi dan formatnya sama belum tentu lahir dari pikiran yang sama pula. Misalnya gerakan radikal Islam belum tentu dia lahir dari pemikiran yang sama meski kalau dilihat secara fisik, semua gerakan radikal memiliki anatomi dan bentuk yang sama. *)

Makalah Pengantar kuliah umum mahasiswa baru Pasca Sarjana, STAIN Kudus, 4 September 2015 Penulis adalah aktivis kebudayaan dan peminat seni tradisi, Dosen Pasca Sarjana STAINU/UNU Jakarta **)

2

Al-Zastrouw (2006) membagi gerakan radikal menjadi menjadi tiga tipe; pertama, radikal kritis, kedua radikal politis dan ketiga radikal fundamentalis1 Masing-masing gerakan radikal ini berangkat dari pemikiran Islam yang berbeda, meski semuanya sama-sama menggunakan simbol dan jargon Islam. Gerakan kaum paderi di Padang dan bom bunuh diri para pelaku teroris, gerakan petani Banten dan Haji Misbah Solo serta gerakan FPI, meski ketiga kelompok itu memiliki pola dan cara yang sama yaitu radikal-anarkis dan sama-sama menggunaan simbol Islam, tetapi jika dicermati secara mendalam dengan melihat latar belakang sosiologis dan politis dari setiap perisitiwa tersebut akan ditemukan perbedaan pemikiran keislaman dari masing-masing gerakan tersebut. Jika ditelusuri lebih lanjut, gerakan Paderi2 dan gerakan bom bunuh diri3 merupakan gerakan radikal anarki yang bersumber dari pemikiran Islam yang fundamentalis. Ada proses ideologisasi pemikiran Islam fundamental yang menjadi basis penggerak dari tindakan anarki kelompok ini. Ini berbeda dengan gerakan petani Banten4 dan Haji Misbah5. Kedua gerakan ini juga radidkal-anakhi dan samasama menggunakan Islam sebagai simbol dan jargon gerakan, tetapi jika dicermati lebih lanjut akan ada perbedaan dengan gerakan jenis pertama. Pada gerakan petani Banten dan Haji Misbah, simbol agama hanya digunakan sebagai perekat sosial, gerakannya didorong untuk melawan ketidakadilan dan kedholiman, bukan semata ingin menegakkan ajaran Islam atau untuk memaksakan ajaran Islam untuk diterapkan kepada kelompok lain. Sedangkan gerakan FPI memiliki karakter yang lain lagi karena bersifat lebih pragmatis dan politis6. Hampir tak ada pijakan ideologi yang jelas yang mendasari gerakan FPI, gerakan lebih reaksioner, hanya merespon isu-isu tertentu yang kemudian diklaim sebagai tindakan amar ma’ruf nahi munkar.

1

Al-Zastrouw Ng. Gerakan Islam Simbolik; Politik Kepentingan FPI, Yogyakarta, LKiS; hal. 52-64. Mengenai anatomi gerakan dan peta pemikiran gerakan padri lihat Rusli Amran, Sumatra Barat’ Plakat Panjang, Jakarta, Sinar Harapan. Juga Zaenal (2014), Islam Radikal di Sumatra Barat Pasca Oede Baru, Disertasi Doktor, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam Disertasi ini Zaenal menjelaskana bagaimana Ideologi puritanisme wahabi kaum paderi mengalami metamorphose bentuk dan menjadi pemicu gerakan radikal pada era reformasi. 3 Lih. Nasyaad Mbai (2014), Dinamika Baru Jejaring Teror di Indonesia gan Keterkiatannya Dengan Gerakan Radikalisme Trans Nasional, Jakarta, AS Production Indonesia 4 Sartono Kartodirdjo (1984), Pemberontakan Petani Banten 1888, Jakarta, Pustaka Jaya. Para petani melakukan pemberontakan karen diperlakukan tidak adil oleh pemerintah colonial. Gerakan ini dipelopori oleh para musrsyid thoreqat yang memiliki jaringan langsung ke rakyat. Mereka menggunakan bahasa agama untuk menggerakkan massa. 5 Syamsul Bakri, Gerakan Komunisme Islam Surakarta 1914-1942, Yogyakarta, LKiS. Dalam buku ini Syaamsul menjelaskan bagaimana ajaran Islam memikiki relevansi dengan spirit revolusi Komunisme yang concern terhadap penderitaan kaum miskin dan tertindas yang dialami oleh para petani. 6 Untuk gerakan FPI lih. Al-Zastrouw Ng., Ibid. 2

3

Dari paparan di atas jelas terlihat adanya pemikiran keislaman yang berbeda yang menjadi dasar atas munculnya gerakan Islam radikal di Indonesia7. Inilah yang menyebabkan gerakan radikal tidak bisa disatukan dan disamakan, Kita akan menemukan kegagalan dalam membuat analisa jika tidak melihat secara detail dan cermat terhadap apa yang mendasari dan ada di balik berbagai gerakan Islam tersebut. Pemikiran yang sama juga tidak melahirkan gerakan yang anatomi dan bentuknya sama. Dalam hal ini bisa melihat gerakan Ikhwanul Muslim (IM). Gerakan ini menggunakan kerangka pikir mengenai Islam Kaffah dan pembentukan daulah Islamiyah. Meski menggunakan kerangka pikir yanag sama mengenai Islam, namun ekspresi gerakannya menjadi berbeda-benda. As’ad (2012) menjelaskan secara umum gerakan ini terbagi menjadi dua; gerakan Ikhwan Tarbiyah dan gerakan Jihadi8. Gerakan Ikhwan Tarbiyah menerima sistem sekuler sebagai strategi untuk mencapai tujuan, bersifat temporer. Mereka menggunakan cara-cara non-kekerasan dengan memanfaatkan instrumen demokrasi untuk mewujudkan pemikirannya mengenai Islam. Gerakan jihadi menggunakan car-cara kekerasan yang radikalanarki seperti terlihat pada gerakan al-qaeda dan kelompok lain yang menjadi jaringannya. Kelompok lain yang berbeda gerakannya meski berangkat dari pemikiran keislaman yang sama dengan IM yaitu Hizbut Tahrir (HT). Kelompok ini sama-sama memperjuangkan khalifah dan daulah Islamiayah, namun tidak seperti gerakan tarbiyah yang menerima sistem modern (demokrasi), atau melakukan dengan caracara kekerasan yang radikal-anarki seperti al-Qaeda. HT menolak demokrasi, mereka menggunakan gerakan kaderisasi, sosialisasi dan merebut langsung kekuasaan jika sudah mampu. HT juga menggunakan paradigma kritik sebagai gerakan untuk mengaktualisasikan pemikirannya. Mereka mengkritik sistem demokrasi dan kapitalisme yang telah menimbulkan berbagai krisis kemudian menawarkan sistem khalifah sebagai alternatif. Mereka melakukan gerakan intelektual dan sosial yang jauh dari kekerasan fisik. Hal yang sama juga bisa dilihat pada gerakan Syi’ah. Meski secara teologis mereka memiliki pemikiran yang sama namun ekspresi gerakannya menjadi 7

Mengenaai gerakan Islam radikal di Indonesia saat ini lihat M. Imdadun Rakhmat (2007), Arus Baru Islam Radikal: Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah ke Indonesia, Jakarta: Erlangga. Juga Hamami Zada (2001), Islam Radikal, Jakarta, Teraju,

8

As’ad Said Aly (2012), Gerakan Islam Trans Nasional dan Pengaruhnya di Indonesia, Makalah diskusi, tidak diterbitkan.

4

berbeda-beda. Dalam konteks Indonesia, ada dua bentuk gerakan Syi’ah yaitu gerakan politik yanag bertujuan membentuk Negara Islam dan gerakan non-politik yang bertujuan membentuk masyarakat Syi’ah. Kedua gerakan ini termanifestasi dalam kelompok Lembaga Komunikasi Ahlul Bait (LKAB) yang lebih ideologis dan kubu IJABI (Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia) yang menggunakan metode taqiyah dan tampak lebih pluralis. Beberapa contoh di atas sekedar membuktikan bahwa ada perbedaan antara pemikiran dan gerakan Islam. Suatu gerakan yang bentuknya sama, seperti Islam radikal-anarki belum tentu merepresentasikan pemikiran yang sama. Demikian juga suatu gerakan yang bentuknya berbeda belum tentu dia merupakan cerminan pemikiran yang berbeda pula. Ini artinya peta gerakan belum tentu mencerminkan peta pemikiran, demikian sebaliknya.

Terbentuknya Konstruksi Pemikiran Suatu konstruksi pemikiran tidak muncul secara tiba-tiba pada diri seorang intelektual. Suatu konstruksi pemikiran pada hakekatnya adalah hasil interaksidialektis seorang intelektual terhadap sumber pengetahuan sebagai respon terhadap tantangan dan kondisi realitas yang dipengaruhi oleh konstruksi sosialpolitik dan budaya serta taraf pemahaman sang intelektual (stock knowledge). Paling tidak ada empat hal yang mempengaruhi terbentuknya suatu konstruksi pemikiran; pertama adalah sumber yang akan diinterpretasikan sehinggaa menjadi konstruk pemikiran. Bagi seorang intelektual muslim yang akan melahirkan pemikiran keislaman, sumber tersebut adalah ajaran agama Islam. Kedua, relitas sosial yang bisa dijadikan sebagai tantangan yang perlu direspon. Ini bisa berada disekitar atau di tempat lain, baik yang abstrak maupun nyata yang memerlukan jawaban secara konsepsional, misalnya isu

krisis ekonomi, HAM,

Demoakrasi, dehumanisasi dan sebagainya ; ketiga, kondisi politik dan budaya yang ada dalam masyarakat dimana seorang intelektual tersebut berada. Ini penting karena situasi politik dan konstruk kebudayaan suatu masyarakat akan mempengaruhi cara pandang masyarakat tersebut terhadap suatu persoalan yang pada ujungnya bisa mempengaruhi suatu konstruksi pemikiran yang terbentuk. Keempat adalah bekal pengetahuan (stock knowledge), termasuk kemampuan dasar dan paham pemikiran yang dimiliki oleh seorang intelektual. Dua aspek terakhir, sosial-politik dan budaya serta stock knowledge yang akan menyebabkan terjadinya perbedaan konstruksi pemikirana sekalipun bersal

5

dari sumber yang sama dan merespon isu yang sama. Hal ini bisa kita lihat dari munculnya sejarah pemikiran ummat Islam yang tercermin dalam berbagai aliran dalam Islam sepeninggal Nabi Muhammad9. Semua berangkat dari sumber yang sama yaitu ajaran Islam, tetapi karena perbedaan kepentingan politik dan latar belakang budaya yang mempengaruhi pemahaman agama, masing-masing kelompok akhirnya melahirkan berbagai aliran pemikiran dalam Islam10. Selain melahirkan pemikiran teologis yang membentuk sekte-sekte berbeda dalam Islam, perbedaan stock knowledge dan budaya ini juga melahirkan berbagai aliran tasawwuf yang beragam seperti alirah Naqsabandiyah, Qadiriyah, Sammaniyah, Tijaniyah dan sebagainya dengan para tokohnya diantaranya Abu Hasan as-Sadzily, Imam Junid al-Bagdadi, Imam Al-Ghozali, syech Abdul Qaadir Jailani dan sebagainya11. Di bidang hukum Islam juga melahirkan berbagai corak pemikiran seperti terlihat pada konstruksi pemikiran fiqh Syafi’i, Maliki, Hanafi dan sebagainya. Konstruksi pemikiran dengan segenap perangkat metodologis yang ada di dalamnya inilah yang kemudian disebut dengan madzhab. Pemikiran Islam yang sudah membentuk berbagai sekte dan madzhab ini kemudian menyebar ke suluruh pelosok dunia dan bertemu dengan kebudayaan dan tradisi lokal serta pengetahuan para intelektual lokal sehingga membentuk konstruksi pemikiran baru mengenai keislaman yang makin berkembang. Berbagai corak pemikiran keislaman inilah yang akhirnya masuk ke Indonesia, bersamaan dengan masuknya Islam ke Indonesia. Aboebakar Aceh menyebut bahwa Islam yang pertama masuk ke Aceh pada abad ke 8 adalah dari golongan Syiah12. Agus Sunyoto menyatakan bahwa penyebaran Islam juga ada yang melalui pintu China, Yunnan dan Champa sehingga banyak corak kebudayaan dan pemikiran dari daerah tersebut yang ikut terbawa sehingga mempengaruhi pemikiran dan tradisi keislaman bangsa

9

Harun Nasution (2013), Teologi Islam, Aliraan-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Cet. V, Jakarta, UI Press. 10 Munculnya berbagai aliran teologi dalam Islam, sebagai cermin terjadinya perbedaan konstruksi pemikiran Islam bisa di lihat dalam O. Hasyemi (1989), Saqifah ; Awal Perselisihan Umat, cet. II, Bandar Lampung, Penerbit YAPI. Mengenai perkembangan konstruksi pemikiran Islam di bidang ilmu pengetahuan lih. Majid Fakhry (1986), Sejarah Filsafat Islam, R. Mulyadhi Kartanegara (pent.), Jakarta, Pustaka Jaya. Terbentunya berbagai pemikiran Islam pasca Nabi Muhammad lih. AlZastrouw Ng. (1996), Paradigma Kritis Pendidikan Islam: Dekosntruksi Dogmatisme Pendidikan, Skripsi S1, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 11

Mengenai aliran thareqah dan tokohnya lih. Aboebakar Aceh (1993), Sejarah Sufi dan Tasawwuf, Cet. VII, Solo, Ramadhani; Sri Mulyati (at all) (2004), Tarekat Tarekat Muktabarah di Indonesia, Jakarta, Kencana. Juga Martin van Bruinessen (1994), Thareqah Naqsabandiyah di Indonesia, cet. II, Mizan, Bandung.

12

Aboebakar Aceh (1972) “Syi’ah, Rasionalisme dalam Islam”, Semarang, .

6

Nusantara13. Dari sini akhirnya terbentuk jaringan ulama Nusantara dengan Timur tengah yang melakukan interaksi secara intens untuk mengembangkan pemikiran keislaman sehingga lahirlah beberapa ulama besar Nusantara.14 Bisa dikatakan bahwa pemikiran keislaman Nusantara merupakan resonansi dari pemikiran keislaman global. Artinya pemikiran para ulama Nusantara memiliki koneksitas (persambungan) dengan pemikiran keislaman global dan menjadi bagaian dari pemikiran global tersebut. Dengan demikian pemikiran para ulama Nusantara akan selalu relevan dengan perkembangan yang ada. Namun ada satu hal yang menarik, meski para ulama Nusantara melakukan menjadi bagian dari pemikiran global namun mereka selalu memiliki kemampuan untuk melakukan rekonstruksi pemikiran yang global tersebut agar relevan dengan kondisi sosial budaya masyarakat Nusantara sehingga mereka tidak hanyut dalam pemikiran keislaman global tersebut.

Respon terhadap modernisasi-Barat Ada satu hal yang memicu perkembangan Islam saat ini yaitu respon terhadap modernime Barat yang rasional sekuler. Respon terhadap masalah ini telah melahiran berbagai bentuk pemikiran. Menurut Ma’an Ziyadah dalam Al-Zastrouw (2006), ada tiga bentuk respon ummat Islam atas modernisasi15; pertama, menolak pemikiran modernism Barat secara total. Bagi kelompok ini semua yang datang dari Barat adalah negatif dan merusak, kemudian mereka menawarkan nilai-nilai puritanisme islam sebagai jawaban untuk menolak modernisme Barat tersebut; kedua, menerima pemikiran Barat secara total (western oriented). Kelompok ini berpikiran bahwa pemikiran Barat adalah yang terbaik, oleh karenanya jika agama mau berkembang dan maju maka harus menerima pemikiran Barat; ketiga, taufiqiyah yakni memadukan pemikiran Barat dengan Islam secara selektif. Kelompok ini berpikiran bahwa semua produk pemikiran itu nisbi, tidak ada yang salah mutlak maupun sebaliknya. Oleh karena itu perlu dicari unsur positif dari setiap pemikiran produk budaya yang dihasilkannya. Pemikiran Barat bisa diterima dan digunakan sebagai alat bantu untuk memahami dan menjalankan ajaran Islam sejauh tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar ajaran Islam.

13

Agus Sunyoto (2011), Atlas Wali Songo; Rekonstruksi Sejarah yang dipinggirkan, Jakarta, Transpustaka 14 Azumardi Azra ((1995), Jaringan Ulama Timur Tengah Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Bandung, Mizan 15 Al-Zastrouw Ng., (2006), Gerakan Islam Simbolik… Ibid.

7

Jika kita tarik dalam konteks Indonesia saat ini, pemikiran kelompok pertama ini tercermin pada kelompok skipturalis-formalis yang berupaya melakukan pemurnian Islam dan menjadikan Islam sebagai sistem alternatif untuk melawan sistem sosial politik dan budaya produk modernism Barat yang dianggap thoghut dan sekuler. Kelompok HTI, Salafi Wahabi, Jamaah Anshorut Tauhid, MMI, Ikhwanul Muslim Indonesia adalah representasi dari kelompok ini16. Mereka mengekspresikan pemikiran ini melalui kelompok Usroh di kampus, halaqah dan taklim serta aksi massa (demosntrasi). Ada juga yang menggunakan strategi politik yaitu membuat partai politik untuk menguasai parlemen setelah marasa kuat baru melakukan perebutan kekuasaan, seperti terlihat pada PKS yang merupakan perpanjangan dari Ikhwanul Muslim versi Tarbiyah. Kelomppk kedua terlihat pada golongan Islam modernis-Liberal. Kelompok ini memiliki dua ciri utama yaitu anti tradisi dan liberal. Bagi kelompok ini Islam tradisional harus dihilangkan karena menjadi sumber kejumudan dan penghambat kemajuan. Fazlurrahman dan Muhammad Abduh dan belakanganmuncul Fatimah Mernisi, Asghar Aali Engginer, Nasr Hamid Abu Zaid

adalah representasi dari

kelompok ini. Dalam konteks Indonesia, yang masuk dalam golongan ini adalah pemikiran Sutan Takdir Alisyahbana (STA) yang kemudian diteruskan oleh para intelektual produk Barat seperti Nur Kholis Majid, Mukti Ali, Deliar Nor, Ahmad Wahib dan generasi selanjutnya17. Para kaum modernis ini berpikiran agar Islam menjadi maju dan bisa setara dengan Barat maka Islam harus menjadi modern, mengikuti cara-cara modern, tidak boleh menjadi tradisional karena tradisionl berarti jumud, kolot dan terbelakang. Respon yang ketiga terlihat pada pemikiran Hassan Hanafi, al-Jabbiri, Moh. Arkound dan sejenisnya. Dalam konteks Indonesia kelompok ini direpresentasikan oleh Gus Dur dalan kebanyakan ulama NU. Terhadap modernism Barat Gus Dur tidak menolak atau menerima secara total, sebaliknya dengan meniru pola pribumisasi islam, Gus Dur juga melakukan strategi pribumisasi modernitas artinya dilakukan dialog antara nilai-nilai dan pemikiran modern Barat dengan nilai-nilai dan pemikiran bersumber dari tradisi dan budaya lokal. Dialog dilakukan untuk mencari 16 17

Zada, Khamami. (2002). Gerakan Islam Radikal di Indonesia. Jakarta : Lakpesdam NU. Untuk melacak lebih klanjut lihat Greg Barton (1999), Gagasan Islam Liberal di Indonesia, Jakarta, Kerjasama Paramadina Pustaka Aksara, IKAPI dan Ford Foundation. Dalam buku ini Greg menyebut Nur Kholis, Djohan Effendy, Ahmad Wahib, Nur Kholis Majid dan Gus Dur sebagai pemikir Neomodernis Indonesia. Bagi penulis memasukkan Gus Dur sebagai kelompok liberal neo-dernis adalah tidak tepat, karena Gus Dur tidak anti tradisi seperti orang-orang mdernis. Gus Dur justru tetap memlihara dan tidak mendudukakkan modernitas dan tradisionalitas secara konfrontatif, Gus Dur mendudukkan keduanya secara seimbang kemudian membentuk hubungan yang komplementer.

8

titik temu antara keduanya dan mencari batas terjauh untuk kompromi jika tidak ditemukan titik temu. Sikap Gus Dur ini berpijak dari kaidah klasik yang dicetuskan oleh para ulama beberapa abad silam yaitu “al mukhaafadlatu ‘ala qadiimis shalih wal akhdlu bil jadiidil ashlah” selain itu juga diterapkan kaidah “khudz maa shofa wa da’ maa kadar”, Melalui prinsip-prinsip seperti ini modernitas tidak didudukkan secara superior yang bisa menggerus tradisi yang dianggap inferior. Ini peta besar pemikiran Islam di Indonesia.

Isu-Isu Strategis dan Respon Pemikiran Dalam konteks kekinian, ada beberapa isu strategis yang perlu direspon yang bisa menjadi pemicu berkembangnya pemikiran Islam. Isu tersebut adalah pertama soal Islam dan faham kebangsaan yang berdampak pada hubungan antara agama dan Negara, kedua adalah soal Demokrasi, HAM, pluralisme dan toleransi. Kedua isu ini telah memancing para intelektual muslim dunia untuk masuk dalam perdebatan dan pembahasan yang melahirkan berbagai bentuk konstruksi pemikiran. Dalam konteks Indonesia, perdebatan mengenai isu Islam dan faham kebangsaan sudah selesai. Para intelektual Islam Indonesia telah berhasil membuat rumusan pemikiran yang bisa mempertemukan Islam dengan faham kebangsaan, seperti tercermin dalam Pancasila dan bentuk Negara NKRI18. Melalui Pancasila dan NKRI ummat Islam Indonesia tidk saja berhasil meredakan benturan antara Islam dan Nasionalisme, tetapi juga berhasil membuat jaring perajut yang bisa menahan terjadinya konflik19. Tidak bisa dibayanagkan tanpa adanya Pancsila dan NKRI bisa jadi bangsa Indonesia akan terus menerus terjebak dalam konflik yang berkepanjangan seperti yang terjadi di Afghanistan dan beberapa Negara Timur Tengah karena kegagalannya dalam merumuskan hubungan antara agama dan Negara. 18

Perdebatan mengenai Islam dan kebangsaan ini bisa dilihat dalam M. Yamin M (1959), Risalah sidang BPUPKI, Jakarta, Sekretariat Negara. Juga dalam Saefudin Zuhri (2013), Berangkat Dari Pesantren, Yogyakarta, LKiS 19 Yudhi Latief (2012), Negara Paripurna, Jakarta, Pustaka Gramedia. Dalam buku ini Yudi tidak saja menggambarkan proses an perdebatan dalam merumuskan Pancasila sebagai Dasar Negara, tetapi juga menyebut keunggulan dan nilai-nilai adiluhung yang ada dalam Pancasila sehingga layak menjadi ideologi alternatif dunia, sebagaimana pernah disampaikan Bung Karno dihadapan pemimpin Negara di sidang umum PBB.

9

Munculnya isu demokrasi menjadi sesuatu yang monumental dalam perkembangan pemikiran Islam. Gelombang demokrasi yang datang secara deras memaksa pemikir Islam memberikan respon, hampir tak ada kekuatan yang bisa menahan atau sekedar menghindar dari gempuran arus demokrasi. Saking derasnya arus demokrasi, banyak pengamat berpendapat, seperempat abad terakhir abad 20 merupakan periode yang paling menjanjikan dalam sejarah peradaban modern.20 Optimisme Ayoob ini bukan tanpa alasan, karena tiga dasa warsa terakhir abad 20 banyak negara di dunia berubah menjadi demokratis. Data menunjukkan, antara tahun 1974 sampai 1992 terdapat 30 negara mengalami transisi ke demokrasi21. Di Eropa Selatan (Spanyol, Portugal, Yunani), Amerika Latin (Brazil, Argentina, Chile), Eropa Timur (Cekhoslovakia, Rumania, Polandia, Polandia) dan Afrika (Bostwana) dan sejak itu arus demokrasi terus berjalan sehingga jumlah Negara yang menjadi demokratis menjadi semakin berlipat, termasuk Indonesia. Atas kuatnya gelombang demokrasi ini Fukuyama menyatakan bahwa Demokrasi merupakan bentuk final peradaban dan menjadi perjalanan akhir dari ideologi.22 Sejalan dengan maraknya arus demokrasi, masuk pula isu mengenai Hak Azasi Manusia (HAM), pluralism dan kesetaraan gender. Masuknya isu-isu ini tidak saja menuntut adanya perubahan sistem sosial-politik secara radikal, tetapi juga menuntut para intelektual Islam untuk melakukan pemikiran lebih jauh dan dalam mengenai relasi antara Demokrasi dengan segenap isu yang melingkupinya dengan nilai-nilai dan ajaran Islam. Karena banyak tudingan bahwa Islam tidak compatible dengan demokrasi, sebagaimana penilaian Huntington dan Fukuyama setelah merujuk pada berbagai bentuk dan sistem sosial-politik yang ada di Negara-negara Islam di Timur Tengah yang dianggap sebagai representasi dari ajaran Islam. Atas kenyataan ini, maka muncul reaksi balik dari para pemikir Islam dan sebagian intelektual Barat yang mengkaji Islam. Esposito misalnya menyatakan bahwa “bias-bias sekuler” Barat mempunyai andil atas kegagalan non muslim dalam memahami Islam secara benar. Dan kesalahan mereka itu terletak pada ketidak mampuan mereka untuk melihat bahwa Islam merupkan agama yang multitafsir.23

20

Muhammad Ayoob (1981), The Myth of the Monolith, dalam Mohammed Ayoub (ed.), The Politics of Islamic Reassertion, London, Croom Helm. 21 Data lebih lengkap lih. Samuel P. Huntington (1991), the Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century, Norman and London: University of Oklahoma Press. Lih. Juga tulisan Huntington, Democracy’a Third Weve, dalam Larry Diamond dan Marc F Flattner (eds.) (1993), The Global Resugence of Democracy, Baltimor and London: John Hopkins University Press. 22 Francis Fukuyama (1992), The End of History and the Last Man, New York, The Free Press. 23 John. L. Esposito (1993), Secular Bias and Islamic Revivalism, The Cronicle of higher Education, 29 Mei, Tidak Terbit. Di sini Esposito menyatakan: “kegiatan-kegiatan yang berbau kekerasan selalu

10

Najih Ayyubi (1991) melihat berkembangnya arus pemikiran yang ingin mendasarkan tatanan sosial politik pada ajaran Islam secara eksklusif, tanpa menyadari keterbatasan dan kendala-kendala yang bakal muncul dalam praktek. Ekspresi simbolik dari arus pemikiran seperti ini dikenal dengan sebutan “revivalisme Islam”, “kebangkitan Islam”, “revolusi Islam”, atau “fundamentalisme Islam”.24 Atas muncunya Arus demokrasi ini, menurut Arkound ada dua kelompok; mereka yang menikmati posisi sosial dan ekonomi bersedia untuk kompromi dan penganut pandangan-pandangan keislaman yang bersifat konservatif karena tidak memiliki akses modernitas pemikiran. Mereka yang belajar ilmu-ilmu tehnik cenderung untuk mendukung gerakan fundamentalisme mereka tidak memiliki kesadaran akan pandangan-pandangan kritis di bidang ilmu humaniora dan sosial, khususnya sejarah.25 Selanjutnya untuk menjawab tantangan modernitas, Arkound mengemukakan gagasannya mengenai penerapan teori pengetahuan melalui kritik metodologi. Pemikiran Arkoun mengenai penerapan teori pengetahuan ini terlihat jelas dalam karyanya yang berjudul Rethinking Islam. Buku ini merupakan jawaban atas berbagai pertanyaan yang diajukan oleh dua orang pemuda Prancis –yang merepresentasikan perspektif barat dalam melihat Islam—mengenai Islam. Meskipun persoalan yang diajukan sangat biasa, namun Arkoun berusaha tidak mengulang-ulang jawaban dengan argumentasi ala abad pertengahan (skolastik, apologetik dengan logika formal), melainkan mengkritisinya dengan pendekatanpendekatan yang disumbangkan oleh ilmu-ilmu kemanusiaan mutakhir (khususnya filsafat dan antropologi)26. Untuk merealisasikan jawaban tersebut Arkoun berusaha meletakkan dogma, interpretasi dan teks secara proporsional. Upaya ini dilakukan untuk membuka dialog yang terus menerus antara agama dengan realitas untuk menentukan wilayah-wilayah mana dari agama yang bisa didialogkan dan diinterpretasikan sesuai konteksnya. Pemikir Islam selanjutnya yang melakukan respon terhadap demokrasi modern adalah Abdullahi Ahmed an-Na’im yang menawarkan konsep “dekonstruksi

dialamatkan ke Islam daripada ke penafsiran yang salah terhadap Islam oleh sementara [ihak atau gerakan politik tertentu”. 24 Nazih Ayyubi (1991), Politival Islam; Religion and Politics in The Arab World, London dan New York, Routledge. 25 Muhammad Arkound (1988), The Concept of Autrhority in Islamic Thought¸ dalam Klauss Ferdinand dan Mehdi Mudhaffari (eds.), Islam State and Society, London, Curzon Press. 26 Moh. Arkound. 1994, Nalar Islami dan Nalar Modern, INIS, Jakarta, Arkound (1993), Kearah Islamologi terapan, Syamsul Anwar (pent.

11

syari’ah”.27 Melalui konsep ini an-Na’im bereksperimen melampaui absolutisme (fundamentalisme) dan sekularisme umat Islam dalam menjawab tantangan discourse kontemporer seperti keadilan, demokrasi, kebebasan manusia, HAM, sebagai individu dan kewajibannya terhadap lingkungan. Tampak jelas, jawaban yang diberikan umat Islam itu belum memadai (untuk tidak mengatakan mengecewakan). Jawaban fundamentalistik diajukan sebagai upaya menegaskan bahwa Islam memang sempurna dan telah memberi jawaban lengkap atas setiap masalah. Sementara jawaban sekularisme seakan-akan ingin melarikan diri dari kenyataan, seolah agama hanyalah urusan ritus belaka. Gagasan An-Nai’im ini tidak saja menjawab persoala demokrasi modern tetapi juga berbagai persoalan yang datang menyertainya termasuk HAM, kesetaraan gender, pluralism dan sebagainya. Kritik

teks

Hassan

Hanafi.

Hassan

Hanafi

menyatakan,

untuk

memperbaharui masyarakat Islam yang mengalami ketinggalan dalam segala hal, pertama-tama diperlukan analisis sosial. Menurutnya, pemikiran tradisional Islam, dalam rangka menganalisis masyarakat, selama ini mengandalkan pada otoritas teks dan bertumpu pada metodologi yang hanya mengalihkan teks ke dalam kenyataan. Dia menemukan kelemahan mendasar dalam metodologi ini. Pada titik ini dia memberikan kritik tajam terhadap metode tradisional tentang teks. Kritik tersebut adalah: teks bukanlah realitas, ia hanya sebuah teks yang merupakan ekspresi linguistik yang menggambarkan realitas, tetapi bukan realitas itu sendiri. Oleh karenanya teks perlu keyakinan dalam dirinya, yang kontras dengan rasio atau kontras dengan pengalaman manusia. Karena itu kebenaran pembuktian atas teks hanya untuk orang-orang yang mempercayainya. Teks bertumpu pada otoritas kitab, bukan rasio. Otoritas kitab bukan bukti, karena ada beberapa teks yang disakralkan, sementara di sisi lain ada realitas dan ada akal. Teks juga memerlukan interpretasi terhadap acuan realitas yang ditunjukkannya, yaitu peristiwa yang ditandai teks. Tanpa itu, teks menjadi tak bermakna. Konsekuensinya akan terjadi interpretasi dari luar, terjadi kejumbuhan, kesalahpahaman dan penggunaan teks di luar konteksnya. Kondisi sosial seorang penafsir adalah dasar bagi pilihan-pilihan atas teks. Karena itu akan terjadi saling dorong antara para penafsir yang berbeda-beda dan ini 27

Secara sederhana, dekonstruksi dapat dipahami sebagai suatu cara baca yang sangat intoleran terhadap pembekuan dan pembakuan teks. Oleh karena itu, pembacaan dekonstruktif selalu mengejutkan, bahkan sering menjadi subversif. Karena ia membongkar-menembus ke dalam teks, untuk menampilkan watak arbitrer dan ambigu-nya yang (senantiasa) terkubur oleh “kepentingan” penulis pengucap teks. Padahal justru di atas “kuburan” watak-watak teks yang seperti itulah setiap kemapanan dibangun. Dan kita tahu, kemapanan adalah bagian dari kemandegan, di samping menjadi prasyarat dari kekuasaan. Lih. Abdullah Ahmed an-Na’im (1994), Dekonstruksi Syari’ah, Ahmad Su’aedi dan Amirudin (pent.), Yogyakarta, LKiS.

12

sesungguhnya penyebab terjadinya sikap saling dorong dalam masyarakat seiring dengan persaingan kekuatan di antara kelompok-kelompok28. Intelektual Islam yang merespon Isu feminism adalah Fatimah Mernissi29. Dia adalah pemikir Islam perempuan yang mencoba melakukan pengkajian kritis terhadap berbagai kemapanan pemikiran Islam, khususnya yang berkaitan dengan masalah perempuan. Menurutnya ada pemerkosaan terhadap nash-nash untuk melegitimasi suatu kepentingan. Dalam hal ini dia menyatakan :“Tidak hanya nashnash suci saja yang senantiasa dimanipulasi, tetapi manipulasi terhadapnya telah merupakan ciri struktural praktek kekuasaan di masyarakat muslim. Karena semua kekuasaan, sejak abad ke-7 hingga seterusnya, hanya dilegitimasi oleh agama, maka kekuatan-kekuatan politik dan kepentingan ekonomi telah mendorong terjadinya pemalsuan hadits” . Pemikiran seperti inilah yang mendorongnya melakukan penelusuran terhadap hadits-hadits --sebagai sumber legitimasi sikap dan pikiran keagamaan—secara cermat dan jeli, untuk menemukan otentisitas dan validitasnya. Dia masuk ke dalam wilayah-wilayah terlarang yang selama ini dijaga dan dipagari secara ketat oleh rambu-rambu yang menggunakan bahasa agama. Jalan-jalan sejarah yang jarang dilewati orang, yang masih perawan (karena kekuasaan tidak menempuh rute ini), perlu dijelajah dan dibuka agar khazanah muslim dapat berkembang dengan baik. Apa yang dilakukan oleh Mernissi merupakan contoh dari cara dan sikap yang sehat dalam mengembangkan tradisi berpikir. Di bidang theology muncul Asghar Ali Engineer. Dalam hal ini ia menganjurkan agar orang mempertimbangkan pengaruh sosiologis ketika menginterpretasikan sebuah kitab suci. Tidak ada interpretasi, betapapun tulusnya, yang bisa bebas dari pengaruh semacam itu. Oleh karenanya, rumusan-rumusan dan interpretasi ulama abad pertengahan –yang telah dianggap final dan mapan—harus dilihat dalam perspektif sosiologis mereka. Misalnya ketika perempuan dipandang sebagai tidak lebih dari alat untuk melanjutkan keturunan, membesarkan anak dan memberikan kesenangan pada suami, adalah contoh bagaimana ketetapan alQur’an diinterpretasikan secara salah.30Dengan demikian, lanjut Asghar, apakah pandangan-pandangan kita sendiripun tidak dipengaruhi oleh kondisi-kondisi kita 28

29 30

Hassan Hanafi, (1988), Min al-‘Aqidah ila al-Tsaurah, Vol. I: al-Muqaddimat al-Nadzriyah, Maktabah Madbuli, Kairo; (1987), 1987, Agama, Ideologi dan Pembangunan, Masdar F. Mas’udi (pent.), Jakarta, P3M; Kazuo Simogaki, (1993), Kiri Islam; Antara Modernisme dan Postmodernisme: Telaah Kritis Atas Pemikiran Hassan Hanafi, M. Imam Aziz dan M. Jadul Maula (pent.), Yogyakarta, LKiS. Fatimah Mernissi (1994), Wanita di Dalam Islam, Yaziar Radianti (pent.), Bandung, Pustaka. Asghar Ali Engineer (1994), Hak-Hak Perempuan Dalam Islam, Cici Farcha dan Farid Wajdi (pent.), Yogyakarata, LSPPA

13

sekarang ? Dan jika memang demikian, apakah itu salah ? Jika pandanganpandangan klasik dirumuskan dalam lingkungan intelektual pada zamannya, apakah salah memasukkan nilai-nilai dan etos modern sebagai tuntutan kekinian ? Apakah yang demikian akan dianggap melanggar prinsip-prinsip Islam ? Dapatkah orang melihat prinsip-prinsip dan nilai-nilai hanya sebagai ajaran abstrak yang mengatasi semua pengaruh lingkungan intelektual seseorang ? Atas persoalan ini kemudian dia menawarkan konsep teologi pembebasan. Konsep ini bertolak pada empat ciri utama, pertama, menekankan pada kehidupan kemanusiaan pada konteks kekinian dan kedisinian dan tidak sekedar keakhiratan. Kedua, tidak mendukung status quo, dengan kata lain teologi pembebasan terbentuk sebagai antitesis terhadap kemapanan, baik dalam agama maupun politik. Ketiga, tidak akan mengambil peran dalam tindakan sekelompok masyarakat yang melakukan penekanan dan menggunakan kekuatan ideologi sebagai senjata untuk menyerang lawan-lawan mereka. Keempat, teologi pembebasan tidak sekedar memihak pada salah satu dari polarisasi metafisika nasib yang melampaui proses sejarah, tetapi juga mengambil tanggung jawab sisi lain dari polarisasi tersebut, misalnya kebebasan manusia untuk menentukan nasibnya secara temporal.31 Inilah beberapa contoh intelektual Islam yang memberikan respon terhadap kuatnya desakan arus Demokrasi, HAM, Pluralisme dan gender sebagai produk dari modernism Barat. Selain mereka masih ada Ahmad Mohammad Thoha, Ibn Abid Aljabbiri, Abu Fadhal dan lain sebagainyaq. Pemikir-pemikir ini adalah yang memberikan respon modernism secara kritis, baik kepada pemikiran Islam (bukan ajaran) sebelumnya maupun kepada mofernisme itu sendiri. Karakter para pemikir Islam ini lebih membumi, tidak seperti perdebatan klasik dan pertengah yang melangit karena memperbindangkan soal Tuhan dan Akherat sama sekakli tidak terkait dengan relitas kehidupoan nyata. Mereka melihat perdebatan teologis adalah elitis, hanya untuk memenuhi kebutuhan intelektual sama sekali tidak terkait dengan proble riil masyarkat.

Sementara para pemikir Islam kontemporer

memperdebatkan hak-hak yang sifatnya riil dan berkautan langsung dengan problem kehidupan manusia. Sedangkan para pemikir yang menolak modernism diantaranya adalah Mahdi akif (mersyid ‘am ke tujuh Ikhwan Tarbiyah), Abdullah Azzam, Aiman Al Zawahiri, Syeikh Muhammad al Maqdasyi dan sebagainya yang merupakan generasi penerus pemikiran Sayyid Qutb dan Hasan al-Banna.

31

Asghar Ali Engineer, (1993), Islam dan Pembebasan, Hairussalim HS dan Imam Baehaqi (pent.), Yogyakarta, LKiS

14

Pemikiran ini masuk di Indonesia dan ditangkap oleh para pemikir Indonesia saat ini. Maka lahirlah berbagai pemikir Muslim Indonesia. Sebagai resonansi dari perkembangan pemikiran Islam dunia, maka peta pemikiran Islam Indonesia kontemporer tidak jauh berbeda dengan kondisi peta global (transnasional) yaitu bercorak puritan-fundamentalis, liberal dan akomodatif-kritis. Yang bercorak puritan tercermin pada kelompok HTI, MMI, JAT dan sejenisnya dengan tokohnya Abu Bakar Ba’asyir, Yazid Jawaaz, Al-Khattath, Abu Jibril dan sebagainya32. Sedngkan yang modern liberal seperti terlihat dalam kelompok liberal modernis dengan tokohnya Nur Kholis Majid, Ahmad Wahib dan sejenisnya yang rata-rata menjadi aktivis LSM dan gerakan sosial. Sedangkan sikap akomodatif kritis terlihat pada pemikiran Gus Dur. Sebagaimana disebutkan di atas, dalam menghadapi tekanan arus demokrasi modern melalui strategi “pribumisasi modernitas” yaitu sekap menerima modernisasi sejauh bisa mengokomodir nilai-nilai tradisional yang telah dilakukan aktualisasi. Artinya Gus Dur melakukan eksplorasi atas keduanya kemudian mendialogkan untuk mencari titik temu atau menentukan batasan terjauh yang bisa menyandingkan keduanya. Dengan cara ini Gus Dur berhasil meyakinkan kaum tradisional untuk menerima modernitas sekaligus “memaksa” modernitas untuk menerima tradisionalitas. Apa yang dilakukan Gus Dur mirip dengan yang dilakukan Sunan Kalijaga ketika menerima desakan arus budaya India (Hindu-Buddha) seperti tercermin dalam Mahabarata-Ramayana. Pada saat itu hampir sulit menolak kenyataan itu, dengan nalar kritis para wali menerima realitas cultural itu namun isi dan substansinya diganti degan nilai-nilai dan ajaran Islam. Akibatnya arus budaya India yang sarat dengan nilai-nilai Hindu-Buddha yang masuk secara massif melalui wayang justru dijadikan sarana untuk mensosialisasikan ajaran Islam. Hal yang sama juga dilakukan oleh Gus Dur , ketika arus demokrasi, HAM, pluralism telah mendesak dan mengepung dari segala penjuru sehingga tidak ada tempat dan waktu untuk mengelak, maka Gus Dur menerima semua itu dengan suka cita. Namun secara kreatif Gus Dur memasukkan nilai-nilai dan ajaran Islam dengan menggunakan perangkat budaya yang sekarang sedang menjadi arus besar. Sebagaimana kita ketahui akar filosofis-paradigmatik dari demokrasi adalah liberalism-humanisme yang bermuara pada nilisme-agnostisme. Namun oleh Gus Dur kerangka demokrasi yang produk Barat itu diambil dan dimasukkan nilai-nilai Islam dengan melakukan aktualisasi khazanah pemikiran Islam klasik seperti yang 32

Lih. As’ad Said Ali (2014), Al-Qaeda; Tujuan Sosial-Politik dan Sepak terjangnya, Jakarta, LP3ES.

15

terdapat pada kitab Asbah wa nadlaair, Ahkamus Shulthaniyah, prinsip ad dhoruriyatu khosah dan sebagainya. Melalui cara ini Gus mampu menunjukkan kelenturan dan elastisitas ajaran Islam sehingga tidak mudah patah dan retak menghadapi tekanan peradaban. Di tengah belantara pemikiran yang makin terbuka seperti sekarang ini, ada baiknya kita belajar kepada para leluhur bagaimana menghadapi berbagai tekanan dengan sikap kritis dan bijak yang dikenal dengan Islam Nusantara. Tanpa ini kita akan menjadi generasi yang hilang karena hanyut dalam belantara peradaban dan derasnya arus budaya yang ditawarkan oleh orang lain, sehingga kita hanya menjadi pemulung ide dan pengais gagasan dari perdaban bangsa lain. Semoga peta yang masih sederhana ini bisa membuka mata kita semua sehingga bisa menjadi pembuka jalan selanjutnya untuk mengarungi belantara pemikiran intelektual muslim. Semoga tidak tersesat di tengah jalan.****

MAKALAH PETA PEMIKIARAN ISLAM NUSANTARA.pdf ...

jaringannya. Kelompok lain yang berbeda gerakannya meski berangkat dari pemikiran. keislaman yang sama dengan IM yaitu Hizbut Tahrir (HT). Kelompok ini sama-sama. memperjuangkan khalifah dan daulah Islamiayah, namun tidak seperti gerakan. tarbiyah yang menerima sistem modern (demokrasi), atau melakukan ...

184KB Sizes 10 Downloads 282 Views

Recommend Documents

peta pledges her cleavage allegiance peta jensen.pdf
Peta jensen archives duckporn. Page 3 of 3. peta pledges her cleavage allegiance peta jensen.pdf. peta pledges her cleavage allegiance peta jensen.pdf. Open.

Blindfold peta jensen
In this quiet blindfold petajensen, not quite night, yetstill not day, onelone ... Neverwinter nights 2 gold. ... Vermeerand the Delft School(Art PaintingEbook).pdf.

peta dakap - malaysia.pdf
mengajarkannya kepada ahli kumpulan anda. Semoga Berjaya!! Page 2 of 2. peta dakap - malaysia.pdf. peta dakap - malaysia.pdf. Open. Extract. Open with.

Blindfold peta jensen
Vermeerand the Delft School(Art PaintingEbook).pdf.Complete Portable Applications (AIO). ... poor harvests..980120973941268247. 4g6hrfc- Simpsons 1 - 27.

Makalah MOG.pdf
Retrying... Download. Connect more apps... Try one of the apps below to open or edit this item. Makalah MOG.pdf. Makalah MOG.pdf. Open. Extract. Open with.

Makalah akuntansi.pdf
Ta'ala yang telah melimpahkan rahmat, taufik, hidayah, dan inayah-Nya, sehingga. penyusun dapat menyelesaikan tugas makalah Akuntansi Keuangan ...

Makalah Resensi.pdf
Untuk mengetahui langkah-langkah meresensi buku. 6. untuk mengetahui apa saja unsur-unsur resensi. Page 3 of 32. Makalah Resensi.pdf. Makalah Resensi.

Makalah Xampp.pdf
XAMPP dapat dijalankan di sistem operasi Windows 2000/XP/Vista/7 dan sistem operasi lain. Kekurangan: Software lain yang sejenis dengan XAMPP. Apache.

Makalah Visual Basic 6 - MAKALAH PEMROGRAMAN VISUAL BASIC ...
(Integrated Development Environment) untuk membuat bahasa ... Displaying Makalah Visual Basic 6 - MAKALAH PEMROGRAMAN VISUAL BASIC 6.0.pdf.

peta pelbagai alir.pdf
mengajarkannya kepada ahli kumpulan anda. Semoga Berjaya!! Page 2 of 2. peta pelbagai alir.pdf. peta pelbagai alir.pdf. Open. Extract. Open with. Sign In.

Makalah Vitamin.pdf
Page 1 of 22. Makalah Vitamin ... sedangkan Vitamin yang larut Lemak yaitu Vitamin A,D,E dan K. Setiap vitamin. larut lemak A ... Displaying Makalah Vitamin.pdf.

Makalah akuntansi.pdf
Ta'ala yang telah melimpahkan rahmat, taufik, hidayah, dan inayah-Nya, sehingga. penyusun dapat menyelesaikan tugas makalah Akuntansi Keuangan ...

makalah pariwisata.pdf
Indonesia yang memiliki potensi wilayah yang luas dengan daya. tarik wisata yang cukup besar, banyaknya keindahan alam, aneka. warisan sejarah budaya ...

MAKALAH PRAGMATISME.pdf
Please enter this document's password to view it. Password incorrect. Please try again. Submit. MAKALAH PRAGMATISME.pdf. MAKALAH PRAGMATISME.pdf.

Makalah Wawancara.pdf
Page 1 of 12. Makalah Wawancara. WAWANCARA. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Pemahaman Individu Teknik Non Tes. Dosen Pengampu : Dr.

Makalah-ITIL.pdf
MAKALAH. Information Technology Infrastructure Library. (ITIL). Disusun oleh : 131111459 – Imal Zaya Harahap. 131111106 – Dwi Herydo Gultom. 131112055 ...

Makalah Kewirausahaan.pdf
There was a problem previewing this document. Retrying... Download. Connect more apps... Try one of the apps below to open or edit this item. Makalah ...

ngeblat peta di arcview 1a.pdf
hendak dijiplak. Kemudian klik Ok dan akan muncul layar seperti gambar berikut ini. Page 3 of 15. Main menu. Displaying ngeblat peta di arcview 1a.pdf.

peta-to-zari-anagnwsh-dyslexia.pdf
dyslexiaathome.blogspot.gr. Page 1 of 1. peta-to-zari-anagnwsh-dyslexia.pdf. peta-to-zari-anagnwsh-dyslexia.pdf. Open. Extract. Open with. Sign In. Main menu.

makalah ulumul qur'an.pdf
... Fa Sumatera, 1978) hal 216. 2 . Al-Zarkasyi, al-Burhan fi Ulum al-Qur‟an, (Mesir: Isa al-Baby al-Halaby, tt), hal 40. Page 3 of 15. makalah ulumul qur'an.pdf.