BAJU-BAJU UMAR BIN KHATHAB Oleh : Drs. H. Abd. Salam, S.H. M.H. Keagungan nama Umar bin Al-Khathab telah dikaji oleh para akademisi dan ilmuwan sepanjang zaman dengan tiada habisnya, Mereka mengkajinya dari berbagai dimensi kehidupannya, biografinya, kedailannya, kejayaan agama yang dicapai oleh Islam sejak beliau masuk agama ini, kesempurnaanya dalam memimpin umat Islam, luasnya kekuasaan Islam dan jasa-jasanya, ijtihadnya dibidang fikih, keserhanaanya dan lain-lain. Pada tulisan ini sedikit kita perlu mengenal kesederhanaan dalam kehidupan kesehariannya, untuk kita jadikan ibrah atau pelajaran, karena diera yang serba digital ini hampir-hampir kita tidak mengenal lagi pola hidup sederhana. Keluarga Khalifah Umar bin Al-Khathab memiliki pola hidup sederhana. Saking sederhananya, konon kendati menjabat sebagai khalifah, pakaian yang dikenakan sendiri dan keluarganya hampir bisa disebut tidak layak sebagai baju keluarga khalifah. Sangat terkenal baju Umar sendiri memiliki empat belas tambalan, salah satunya ditambal dari rajutan kulit kayu. Demikian juga pakaian putranya Abdullah bin Umar, suatu ketika sepulang dari mainmain bersama teman-temannya, Abdullah bin Umar menangis di hadapan ayahnya, Umar bin Khattab. Umar pun bertanya, “Kenapa engkau menangis, anakku?” Abdullah menjawab "Teman-teman sepermainanku mengejek dan mengolok-olokku karena bajuku yang gak sebagus baju teman-temanku. Di antara mereka mengatakan, ‘Hai kawan-kawan, perhatikan baju Abdullah putra Amirul Mukminin itu’," ungkap Abdullah Ibnu Umar dengan nada sedih. Setelah mendengar keluhan putranya, Amirul Mukminin langsung bergegas menuju baitul mal (kas negara) dengan maksud akan meminjam beberapa dinar untuk membelikan baju anaknya. Karena tidak bertemu dengan pejabat bagian kas negara, ia pun menitipkan surat kepada penjaga kas negara tersebut yang isinya sebagai berikut: "Dengan surat ini, perkenankanlah aku meminjam uang kas negara sebanyak 4 dinar sampai akhir bulan, pada awal bulan nanti, gajiku langsung dibayarkan untuk melunasi utangku.” Setelah pejabat kas negara membaca surat pengajuan utang itu, dikirimlah surat balasan: ”Dengan segala hormat, surat balasan kepada junjungan khalifah Umar Bin Al-Khathab. Wahai Amirul Mukminin mantapkah keyakinanmu untuk hidup sebulan lagi, untuk melunasi utangmu, agar kamu tidak ragu meminjamkan uang kepadamu. Apa yang Khalifah lakukan terhadap uang kas negara, seandainya meninggal sebelum melunasinya?
Selesai membaca surat balasan dari pejabat kas negara, Khalifah pun langsung menangis, dan berseru kepada anaknya: “Hai anakku sungguh aku tidak mampu membelikan baju baru untukmu dan berangkatlah sekolah seperti biasanya, sebab aku tidak bisa meyakinkan akan pertambahan usiaku sekalipun hanya sesaat.” Anak itu pun menangis mendengar ujar ayahnya. Diriwayatkan, bahwa pada suatu hari Jum’at, jamaah kaum muslimin telah cukup menunggu kedatangan khalifah di masjid belum juga datang. Sejurus kemudian Umar bin Khathab sebagai khalifah yang berkewajiban menjadi Imam dan Khatib shalat Jum’at datang terlambat. Ketika salah seorang sahabat menanyakan kenapa terlabat ? Sang khalifahpun menjawab; “Aku menunggu keringnya baju, karena aku hanya punya sebuah baju yang pantas ku pakai untuk shalat Jum’at,,! Diriwayatkan suatu saat Umar bin Khathab hendak menyampaikan khutbah Jum’at di hadapan kaum muslimin. Baju Umar nampak masih baru. Setelah berdiri memuji Allah dan bershalawat atas nabinya, maka berdirilah salah seorang sahabat mengintrupsinya; “Demi Allah aku tidak akan mendengarkan dan mentaatimu sebelum Amirul Mu’minin menjelaskan kepada kami, dari mana anda mendapatkan pakaian yang cukup untuk menjadi bajumu, padahal bagianku dari Baitul Mal tidak cukup menutup badanku,,,! Umar menjawab: Adakah hadir ditempat ini anakku Abdullah,,, !, Maka berdirilah Abdullah bin Umar, menjelaskan: Bahwa kain yang menjadi jatahnya dari Baitul Mal juga diberikan kepada ayahnya (Umar) agar cukup buat baju ayahnya. Demikianlah sepenggal riwayat “baju-baju” Umar bin Khathab sang Khalifah yang terkenal itu. Kendatipun demikian sungguh banyak Ia banyak dipuji oleh Rasulullah. Diantaranya adalah Nabi pernah memujinya, “Andaikan ada seorang nabi sesudahku, maka Umarlah orangnya”, “Demi Allah syaitan tidak berani berpapasan dengan Umar, jika Umar memilih suatu jalan, maka syaithan menempuh jalan yang lain”.1
1
Abu Al-Faraj Abdurrahman bin Ali bin Muhammad bin Al-Jauzi, Sirah Umar bin Al- Khathab, Maktabah Tijariyah, Al-Kubra (Kairo) 1331 H