REKONSTRUKSI USHUL FIKIH PERSPEKTIF H{ASAN AL-TURAs dan Istis}h}a>b)

TESIS Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Megister Agama dalam Bidang Hukum Islam

Oleh: Ahmad Mas’ari NIM: 10.2.00.1.01.01.0105 Pembimbing: Dr. Phil. Asep Saefuddin Jahar, MA

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1433 H/ 2012 M

KATA PENGANTAR PENULIS

‫بسم اهلل الرمحن الرحيم‬ Puji beserta syukur dipersembahkan kehadirat Allah SWT., atas limpahan rahmat dan nikmat yang telah diberikan-Nya, sehingga penulis mampu menyelesaikan tesis ini. Shalawat dan salam semoga senatiasa tercurah kepada ruh junjungan dan suri tauladan kita, Nabi Muhammad SAW., keluarganya, dan para sahabatnya, serta para pengikutnya yang loyal terhadap ajaran yang dibawa beliau. Belakangan ini isu pembaharuan kembali gencar terdengar. Seiring dengan bangkitnya reformasi, isu ini kembali semarak dibicarakan. Hal ini kemudian menjalar ke segala bidang, baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial-budaya bahkan juga dalam ranah keilmuan dan pemikiran. Sebut saja fikih, Ushul Fikih, filsafat, dan lain sebagainya. Hal ini tentu tidak bisa kita pandang sebelah mata saja. Terlebih lagi, akulturasi kebudayaan antara Barat dan Timur, menjadi salah satu faktor yang menumbuhkembangkan fenomena ini. Dalam konteks keagamaan, Islam sebagai agama yang luwes dan fleksibel tentunya selalu up to date dengan perkembangan zaman. Syariat Islam tak pernah lekang oleh waktu. Dia akan terus tetap tumbuh dan berkembang. Di sinilah peran kita sebagai akademisi Muslim untuk menghidupkan kembali ajaran Islam tersebut yang oleh sebagian kalangan saat ini dianggap kaku dan jumud. Maka tak salah kiranya jika pembaharuan menjadi sebuah keniscayaan. Dalam tulisan ini, penulis mengambil Ushul Fikih sebagai salah satu contoh untuk ditelaah dan dikaji dalam kaitannya dengan terma pembaharuan mengingat masih minimnya pengkaji dalam bidang ini. Ushul Fikih adalah salah satu ilmu yang sangat diperlukan oleh siapa saja yang mempunyai kepentingan di dalam proses pengambilan hukum dalam syariat Islam. Artinya, sebuah produk hukum yang dihasilkan fikih, tidak akan mudah bisa dicapai tanpa terlebih dahulu mempelajari ilmu ini. Seorang pembaharu agama dituntut untuk memahami ilmu ini dengan baik. Para ulama telah meletakkan ilmu Ushul Fikih ini sebagai bekal i

untuk menjawab setiap permasalahan yang akan terus mencuat dan berkembang sesuai dengan perubahan waktu dan tempat. Dengan demikian, selain telah mampu menjawab berbagai masalah yang terjadi pada masa silam dan pada saat ini, ilmu ini juga dipersiapkan untuk generasi masa depan. Maka tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa Ushul Fikih erat kaitannya dengan peradaban Islam. Namun demikian, lantas apakah Ushul Fikih juga harus mengalami pembaharuan seiring dengan perkembangan zaman. Menyikapi hal ini tentu bukanlah sebuah perkara yang gampang. Bahkan para ulama dan kalangan akademisi sendiri banyak yang berbeda pendapat mengenai pembaharuan dalam bidang Ushul Fikih. Memang, ketika fikih menghadapi perkembangan zaman dan lingkungan yang berbeda mampu berganti dan berkembang sesuai dengan perbedaan itu, akan menimbulkan pertanyaan apakah Ushul Fikih juga dapat berubah dengan alasan yang sama dan ketika ijtihad merupakan solusi terhadap hal-hal yang baru, maka hal yang baru ini dapatkah terjadi pada Ushul Fikih yang kebanyakan ulama beranggapan bahwa Ushul Fikih merupakan asas dasar yang tetap (tha>bit). Hal ini kemudian menjadi sebuah permasalah yang menarik diperbincangkan. Hal ini pula yang memotivasi penulis untuk meneliti konstruksi pemikiran Ushul Fikih yang ditawarkan oleh cendikiawan asal Sudan ini, H{asan alTura>bi>. Buku yang berada di tangan saudara merupakan modifikasi dari tesis penulis sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar magister (S2) dalam bidang Hukum Islam Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis tentu mendapatkan hambatan, tantangan, dan godaan, namun berkat pertolongan Allah SWT. dan dukungan serta motivasi dari berbagai pihak, akhirnya segala hambatan itu bisa dilewati, sehingga tesis ini bisa diselesaikan. Selama penulisan tesis tersebut ini, penulis merasa banyak sekali mendapatkan bimbingan, bantuan serta motivasi dari berbagai pihak, maka sangat wajar penulis mengucapkan rasa hormat dan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada: Bapak Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Kepada Bapak Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Direktur ii

Sekolah pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta seluruh deputi di lingkungan Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Kepada Bapak Dr. Phil. Asep Saefuddin Jahar, MA sebagai dosen pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan motivasi kepada penulis sehingga tesis ini bisa terselesaikan. Pihak Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan pelayanan dan penyediaan buku-buku referensi. Kepada segenap dosen yang selama ini telah memberikan tetesan ilmu dari samudra ilmu yang begitu luas kepada penulis. Teristimewa ucapan terima kasih penulis haturkan kepada kedua orang tua penulis tercinta; Ayahanda Mahmud Husein dan Ibunda Siti Halimah. Berkat kasih sayang, pengorbanan, dorongan, dan doanya, sehingga penulis dapat menyelesaikan studi ini. Semua ini penulis persembahkan untuk Ayahanda dan Ibunda tercinta. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada keluarga besar penulis, adikadik tercinta yang penulis sayangi (Ahmad Ridho dan Abuzar alGhifari), serta keluarga penulis yang lain yang senantiasa memberikan motivasi. Kepada keluarga besar Yayasan Masjid Agung al-Jihad Ciputat, yang telah berkenan memberikan kesempatan kepada penulis untuk berdedikasi. Kepada Diktis Kementrian Agama RI yang telah berkenan memberikan Bantuan Biaya Pendidikan, penulis sangat merasa terbantu dengan bantuan tersebut. Kepada Pemerintah Provinsi Riau dan Pemerintah Kabupaten Kampar yang telah memberikan bantuan finansial, sehingga studi ini bisa penulis selesaikan. Semua pihak yang telah membantu penulis, karena keterbatasan ruang dalam tesis ini, tanpa mengurangi rasa terima kasih- tidak bisa disebutkan namanya satu persatu. Akhir kata besar harapan penulis, semoga buku ini dapat berguna bagi pembaca serta dapat memberikan sumbangan khazanah pemikiran bagi dunia akademis.

Jakarta, 1 Oktober 2012 M 15 Dzulqa‘dah 1433 H

Ahmad Mas'ari iii

PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI Yang bertandatangan di bawah ini: Nama

: Ahmad Mas’ari

TTL

: Pulau Jambu-Riau, 19 Juni 1984

NIM

: 10.2.00.1.01.01.0105

Menyatakan bahwa seluruh isi tesis ini adalah murni hasil karya penulis, kecuali bagian-bagian tertentu yang penulis kutip dari sumbernya. Jika terbukti ditemukan plagiasi dalam tulisan ini, maka penulis siap menerima sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 1 Oktober 2012

Ahmad Mas’ari

iii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Tesis dengan judul ‚Rekonstruksi Ushul Fikih Perspektif H{asan al-Tura>bi> (Kajian Konsep Qiya>s dan Istis}h}a>b)‛ yang ditulis oleh Ahmad Mas’ari dengan nomor pokok: 10.2.00.1.01.01.0105, setelah diperbaiki sesuai dengan masukan-masukan dalam ujian pendahuluan tesis pada hari Jum‘at, tanggal 12 Oktober 2012 M/ 26 Dhulqa‘dah 1433 H, maka tesis yang bersangkutan sudah dapat diajukan ke sidang ujian tesis terbuka (Promosi Magister).

Pembimbing,

Dr. Phil. Asep Saefuddin Jahar, MA Tanggal:

iv

PERSETUJUAN PENGUJI/ KETUA SIDANG

Tesis dengan judul ‚Rekonstruksi Ushul Fikih Perspektif H{asan al-Tura>bi> (Kajian Konsep Qiya>s dan Istis}h}a>b)‛ yang ditulis oleh Ahmad Mas’ari dengan nomor pokok: 10.2.00.1.01.01.0105, setelah diperbaiki sesuai dengan masukan-masukan dalam ujian pendahuluan tesis pada hari Jum‘at, tanggal 12 Oktober 2012 M/ 26 Dhulqa‘dah 1433 H, maka tesis yang bersangkutan sudah dapat diajukan ke sidang ujian tesis terbuka (Promosi Magister).

Penguji/ Ketua Sidang,

Dr. Yusuf Rahman, MA Tanggal:

v

PERSETUJUAN PENGUJI

Tesis dengan judul ‚Rekonstruksi Ushul Fikih Perspektif H{asan al-Tura>bi> (Kajian Konsep Qiya>s dan Istis}h}a>b)‛ yang ditulis oleh Ahmad Mas’ari dengan nomor pokok: 10.2.00.1.01.01.0105, setelah diperbaiki sesuai dengan masukan-masukan dalam ujian pendahuluan tesis pada hari Jum‘at, tanggal 12 Oktober 2012 M/ 26 Dhulqa‘dah 1433 H, maka tesis yang bersangkutan sudah dapat diajukan ke sidang ujian tesis terbuka (Promosi Magister).

Penguji,

Prof. Dr. Said Agil Husin Al-Munawwar, MA Tanggal:

vi

PERSETUJUAN PENGUJI

Tesis dengan judul ‚Rekonstruksi Ushul Fikih Perspektif H{asan al-Tura>bi> (Kajian Konsep Qiya>s dan Istis}h}a>b)‛ yang ditulis oleh Ahmad Mas’ari dengan nomor pokok: 10.2.00.1.01.01.0105, setelah diperbaiki sesuai dengan masukan-masukan dalam ujian pendahuluan tesis pada hari Jum‘at, tanggal 12 Oktober 2012 M/ 26 Dhulqa‘dah 1433 H, maka tesis yang bersangkutan sudah dapat diajukan ke sidang ujian tesis terbuka (Promosi Magister).

Penguji,

Dr. JM. Muslimin, MA Tanggal:

vii

Abstrak

Tesis ini membuktikan bahwa reformulasi dan rekonstruksi Ushul Fikih selama ini sesungguhnya tidak pernah terjadi. Adapun yang terjadi hanyalah modifikasi-modifikasi dalam legal teori saja. Hal ini bisa dilihat dari gagasan pembaruan Ushul Fikih yang di wacanakan oleh H{asan al-Tura>bi>. Pembaruan Ushul Fikih yang dilakukan oleh al-Tura>bi> belum menyentuh aspek substantif dan masih dalam tataran retorika dan diskursus semata. Penelitian ini menguatkan kesimpulan Wael B. Hallaq dan ‘Ali> Jum‘ah yang mengatakan bahwa rekonstruksi al-Tura>bi> baru sebatas wacana dan belum menyentuh rekonstruksi dalam Ushul Fikih itu sendiri. Al-Tura>bi> tidak menjelaskan tema mana saja yang sudah tidak sesuai dengan konteks kekinian dan juga tema apa yang perlu ditambahkan agar lebih sesuai dengan situasi dan kondisi kekinian. Tesis ini juga mendukung Abdulwahhab elAffandi yang mengatakan bahwa al-Tura>bi> tidak dapat dikatakan telah menawarkan sebuah konsep hukum baru. Tesis ini membantah pendapat D{iya> Rashwan yang mengatakan bahwa selain seorang politisi ulung, al-Tura>bi> juga memiliki konsep brilian tentang pembaruan hukum Islam. Teori pembaruan hukum al-Tur>abi> ini masih sangat umum dan tidak jelas. Penjelasan tentang konsep pembaruannya tidak dielaborasi secara memadai. Prinsip qiya>s ekspansif (qiya>s wa>si‘) dan istis}h}ab> ekspansif (istis}h}ab> wa>si‘) yang beliau tawarkan itu sangat diperlukan penjelasannya lebih detil. Bagaimana aplikasi dari konsep qiya>s ekspansif (qiya>s wa>si‘) dan istis}h}ab> ekspansif (istis}h}ab> wa>si‘) dalam tataran praktis juga tidak jelas karena tidak diikuti oleh contoh kasus. Selain itu, terdapat inkonsistensi antara konsep dan implemetasi. Sumber utama dalam penelitian ini adalah buku yang ditulis oleh H{asan al-Tura>bi> seperti: Tajdi>d Us}ul> al-Fiqh al-Isla>mi>, Tajdi>d al-Fikr al-Isla>mi>, Qad}a>ya> al-Tajdi>d Nah}wa Manhaj Us}ul> i>, dan lainlain. Dalam penelitian ini menggunakan beberapa pendekatan, yaitu; pendekatan sejarah, pendekatan interpretasi, dan pendekatan normatif. Jenis penelitian yang digunakan sepenuhnya bersifat kepustakaan (library research). Dalam penelitian ini digunakan viii

metode analisis sejarah sosial pemikiran. Data-data dideskripsikan untuk menjelaskan konsep-konsep H{asan al-Tura>bi> secara utuh, khususnya yang terkait dengan pembaruan Ushul Fikihnya. Data primer dan sekunder yang terkumpul diklasifikasi dan dianalisis dengan memberikan penafsiran dan komentar terhadap gagasan yang diteliti, yang juga dilengkapi dengan pendapat tokoh lainnya. Setelah data dideskripsikan apa adanya, maka dilakukan analisis dengan cara membandingkan secara insidental pendapat H{asan alTura>bi> dengan pendapat tokoh reformis hukum Islam lainnya. Hal ini dilakukan untuk menemukan perbedaan dan persamaan antara beberapa obyek penelitian.

ix

‫مجرد البحث‬ ‫اسرخٍصد ٘زٖ اٌشساٌح أْ ذجذ‪٠‬ذ أص‪ٛ‬ي اٌفمٗ ٌُ ‪٠‬ر‪ٛ‬لغ حر‪ ٝ‬اٌحاضش‪.‬‬ ‫إّٔا ذ‪ٛ‬لغ ٘‪ ٛ‬ذؼذ‪ ٚ ً٠‬ذى‪١١‬ف ف‪ ٟ‬اٌحىُ‪ٔ .‬سرط‪١‬غ سأ‪٘ ٞ‬زا ِٓ ٔظش‪٠‬ح ذجذ‪٠‬ذ‬ ‫أص‪ٛ‬ي اٌفمٗ ػٕذ حسٓ اٌرشات‪ .ٟ‬ذجذ‪٠‬ذ أص‪ٛ‬ي اٌفمٗ اٌز‪ ٞ‬لاَ تٗ اٌرشات‪ٌُ ٟ‬‬ ‫‪٠‬رؼذ إٌ‪ٌ ٝ‬ة األِش ‪ٚ‬ال ‪٠‬ض‪٠‬ذ إال ػٍ‪ ٝ‬اٌّجاي إٌظش‪ٚ ٞ‬اٌجذٌ‪ ٟ‬فمط‪.‬‬ ‫٘زا اٌثحس ‪٠‬ؤوذ سأ‪ٚ ٞ‬ائً اتٓ حالق ‪ ٚ‬ػٍ‪ ٟ‬جّؼح اٌز‪ ٓ٠‬لاال أْ ِا‬ ‫لاٌٗ حسٓ اٌرشات‪ ٟ‬إّٔا ٘‪ِ ٛ‬جشد اٌىالَ ‪ ٚ‬رٌه ألٔٗ ِا ‪٠‬ث‪ ٓ١‬أ‪٠‬ح اٌّ‪ٛ‬ض‪ٛ‬ػاخ‬ ‫اٌر‪ ٟ‬ال ذٕاسك اٌؼصش ‪ ٚ‬أ‪٠‬ح اٌّ‪ٛ‬ض‪ٛ‬ػاخ اٌر‪ ٟ‬ال تذ ِٓ اٌض‪٠‬ادج ٌرٕاسم‪ٙ‬ا‬ ‫تاألح‪ٛ‬اي ‪ٚ‬اٌظش‪ٚ‬ف‪٠ .‬ؤوذ ٘زا اٌثحس أ‪٠‬ضا سأ‪ ٞ‬ػثذ اٌ‪٘ٛ‬اب األفٕذ‪ٚ ٞ‬‬ ‫اٌز‪ ٞ‬لاي أْ اٌرشات‪ ٟ‬ال ‪ٕ٠‬ثغ‪ ٟ‬أْ ‪٠‬ماي اٌشجً اٌز‪ ٞ‬ػشض فىشج جذ‪٠‬ذج ف‪ٟ‬‬ ‫اٌحىُ‪.‬‬ ‫٘زا اٌثحس ‪٠‬شد ػٓ سأ‪ ٞ‬ض‪١‬اء سش‪ ْٛ‬اٌز‪ ٞ‬لاي أْ غ‪١‬ش أٔٗ س‪١‬اس‪ٟ‬‬ ‫ف‪ ٛٙ‬أ‪٠‬ضا سجً ػٕذٖ ٔظش‪٠‬ح ِّراصج ف‪ ٟ‬خجذ‪٠‬ذ األحىاَ اإلسالِ‪١‬ح‪.‬‬ ‫فىشج ذجذ‪٠‬ذ اٌحىُ اٌرشات‪ِ ٟ‬ا صاي ِجّال ‪٠ ٌُ ٚ‬ىٓ ِفصال‪ .‬ت‪١‬اْ ٘زا‬ ‫اٌشأ‪٠ ٌُ ٞ‬ىٓ ِسر‪ٛ‬ف‪١‬ا‪ٔ .‬ظش‪٠‬ح اٌم‪١‬اط اٌ‪ٛ‬اسغ ‪ٚ‬اإلسرصحاب اٌ‪ٛ‬اسغ ذحراج‬ ‫إٌ‪ ٝ‬ت‪١‬اْ أوثش ذفص‪١‬ال‪ٚ .‬و‪١‬ف‪١‬ح ذطث‪١‬ك ٘زا اٌشأ‪ِ ٞ‬ا صاٌد غّ‪ِٛ‬ح ‪ ٌُٚ‬ذرضح‬ ‫تسثة ػذَ ِماسٔح تاٌ‪ٛ‬لائغ ‪ٚ‬األحذاز‪ٚ ,‬غ‪١‬ش أْ ٕ٘ان ػذَ إٌّاسثح ت‪ٓ١‬‬ ‫إٌظش‪٠‬ح ‪ ٚ‬اٌرٕف‪١‬ز‪.‬‬ ‫المصادر الرئيسية للبحث هي الكتب التي كتبها حسن الترابي بنفسه‪،‬‬ ‫مثل تجديد أصول الفقه اإلسالمي و تجديد الفكر اإلسالمي و قضايا التجديد‬ ‫نحو منهج األصول وغيرها‪ .‬استعمل هذا البحث تقريبات‪ ,‬وهي تقريب‬ ‫التاريخي‪ ,‬وتقريب تفسيري‪ ,‬و تقريب النصي‪ .‬أما نوع البحث هو بحث‬ ‫مكتبي‪ .‬واستخدم أيضا هذا البحث المنهج تحليلي التفكيري اإلجتماعي‬ ‫التاريخي‪ .‬وشرحت بيانات ٔظش‪٠‬ح حسن الترابي‪ ,‬خصوصا لما يتعلق‬ ‫بتجديد أص‪ٛ‬ي اٌفمٗ‪ .‬والبيانات مجموعة سواء كانت رئيسية أم ثانوية قسمت‬ ‫وحللت بإتيان التفسيرات والتعليقات‪ ,‬والمستكمل بأراء مجددين األخرين‪.‬‬ ‫وبعد استعرض البيانات فقام التحليل بمقارنة ٔظش‪٠‬ح حسن الترابي بأراء‬ ‫مجددين األخرين‪ .‬وهذا كله إليجاد الفرق ‪ٚ‬اٌرسا‪ ٜٚ‬ت‪ِٛ ٓ١‬ض‪ٛ‬ع اٌثحس‪.‬‬

‫‪x‬‬

Abstract

This thesis that the reformulation and reconstruction in Ushul Fiqh during decade are only modification in legal theory. It can be see through reformation concept which promoted by H{asan al-Tura>bi>. Tura>bi>’s reformation did not cover Ushul Fiqh substantively. This reformation only relied on discourse and rhetoric. This research supported the previous opinion by Wael B. Hallaq and ‘Ali> Jum‘ah that al-Tura>bi> did not merely reconstruct the Ushul Fiqh yet. In another word, al-Tura>bi> did not explain which themes that need an improvement and do not suit to the present circumtances. This thesis also supported Abdulwahhab elAffandi who stated that a-Tura>bi> did not offer a new concept of law yet. This thesis opposed D{iya> Rashwan who said that al-Tura>bi> is not only a great politition but also a brilliant reformer of Islamic law. Al-Tura>bi>’s theory is very common and obsecure. The explanation of renewal concept is not adequately explained. Qiya>s expansive (qiya>s wa>si‘) and istis}ha>b expansive (istis}h}ab> wa>si‘) principles need detail explanation. In addition, their application are not clear since there is not any supported sample case. Besides, there are inconsistencies between concept and implementation. The primary data were gathered from books written by alTura>bi> for example:Tajdi>d Us}ul> al-Fiqh al-Isla>mi>, Tajdi>d al-Fikr al-Isla>mi>, Qad}a>ya> al-Tajdi>d Nah}wa Manhaj Us}ul> i>, etc. This research uses several approaches, namely; historical approach, interpretation approach, and normative approach. This research is library research. This study uses social historical thought analysis method. The description of data are to explain the whole H{asan Tura>bi>’s concept especially those relating to reformation of Ushul Fiqh. The primary and secondary data were classified and analysed by providing interpretation and comments. This study is also equipped with other expert opinion about reformation of Ushul Fiqh. After describing the data, the reseacher analyzed xi

them by comparing H{asan Tura>bi>’s opinion with other reformers incidentally to find out differencies and similarities in the object among of the research.

xii

PEDOMAN TRANSLITERASI Sistem transliterasi istilah-istilah yang berbahasa Arab yang digunakan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

‫ب‬

=

b

‫ز‬

=

z

‫ف‬

=

f

‫ت‬

=

t

‫س‬

=

s

‫ق‬

=

q

‫ث‬

=

th

‫ش‬

=

sh

‫ك‬

=

k

‫ج‬

=

j

‫ص‬

=

s}

‫ل‬

=

l

‫ح‬

=

h{

‫ض‬

=

d{

‫م‬

=

m

‫خ‬

=

kh

‫ط‬

=

t{

‫ن‬

=

n

‫د‬

=

d

‫ظ‬

=

z{

‫و‬

=

w

‫ذ‬

=

dh

‫ع‬

=



‫ه‬

=

h

‫ر‬

=

r

‫غ‬

=

gh

‫ء‬

=



‫ي‬

=

y

Catatan : 1. Vokal pendek - Vokal pendek untuk ‫ فتحة‬ditulis : a - Vokal pendek untuk ‫ كسرة‬ditulis : i - Vokal pendek untuk ‫ ضمة‬ditulis : u 2. Vokal panjang - Vokal panjang untuk ‫ فتحة‬ditulis : a> - Vokal panjang untuk ‫ كسرة‬ditulis : i> - Vokal panjang untuk ‫ ضمة‬ditulis : u> xiii

3. Diptong : ai = ‫ ; أ ي‬au = ‫أ و‬ 4. Huruf ta’ marbu>t}ah (‫ )ة‬ditulis dengan h. contoh: ‫ ﻋﻠة‬ditulis

‘illah

5. Kata sandang ‫ ال‬baik diikuti huruf shamsiyyah maupun qamariyyah ditulis dengan al, seperti ‫ الرجال‬ditulis dengan al-rija>l, ‫ الﺒﻴت‬ditulis dengan al-bait. 6. Penulisan syaddah dengan mendobelkan konsonan yang bersangkutan. 7. Hamzah (‫ )ء‬yang terletak di awal kata mengikuti vokalnya tanpa diberi tanda apapun, sedangkan jika terletak di tengah atau akhir kata ditulis dengan tanda (’). Adapun alif (‫ )ا‬selalu ditulis menurut vokalnya, kecuali alif dengan maddah ditulis (a>). 8. Khusus lafal ‫هللا‬, artikel ‫ أل‬tidak ditulis terpisah, tetapi tetap ditulis Allah, dan jika dikaitkan dengan nama seseorang maka penulisannya disambungkan, misalnya: ‫ ﻋﺒد هللا‬ditulis ‘Abdulla>h. Singkatan-singkatan: H M SM w SAW SWT Q.S H.R cet t.p t.t t.t.p Km cet dkk j vol

= Hijriah (tahun) = Masehi (tahun) = Sebelum Masehi (tahun) = wafat = Shalla> Alla>hu ‘alaih wa sallam = Subh}a>hu wa ta‘a>la = al-Qur’an Surat = Hadis Riwayat = cetakan = tanpa penerbit = tanpa tahun = tanpa tempat penerbit = Kilometer = cetakan = dan kawan-kawan = jilid = volume xiv

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ........................................................... PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI ................................... PERSETUJUAN PEMBIMBING DAN PENGUJI .............. ABSTRAK ............................................................................ PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................. DAFTAR ISI ......................................................................... BAB I

BAB II

: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah B. Permasalahan ...................................... 1. Identifikasi Masalah ....................... 2. Pembatasan Masalah ...................... 3. Perumusan Masalah ........................ C. Tujuan Penelitian ................................ D. Manfaat/ Signifikansi Penelitian ........ E. Penelitian Terdahulu yang Relevan .... F. Metodologi Penelitian ........................ 1. Pendekatan yang Digunakan .......... 2. Jenis Penelitian .............................. 3. Jenis Data ....................................... 4. Sumber Data .................................. 5. Teknik Analisis Data ..................... G. Teknik Penulisan ................................. H. Sistematika Penulisan .........................

i iii iv viii xiii xv 1 7 7 9 10 10 11 11 16 16 17 17 18 19 20 21

: RETROSPEKSI WACANA PEMBARUAN HUKUM ISLAM DALAM LINTASAN SEJARAH dan Realitas Sosial A. Ijtihad Kontemporer ....................................... 23 B. Sejarah Pembaruan Ushul Fikih dari Masa ke Masa ..................................... 33 C. Rekonstruksi Metodologi Ushul Fikih Modern ................................................ 44 xv

1. Konsep Naskh Mah}mu>d Muh}ammad T{a>ha ........................... 2. Teori Double Movement Fazlur Rahman .......................................... 3. Teori Batas Muh}ammad Shahru>r ... 4. Muh}ammad Arkoun ....................... BAB III

BAB IV

47 48 50 52

: BIOGRAFI DAN INTELEKTUALITAS

H{ASAN AL-TURAbi> ......... B. Al-Tura>bi> dan al-Ikhwa>n al-Muslimu>n C. Lingkungan Sosial dan Politik Sudan.

57 60 62

: PEMBARUAN PEMIKIRAN ISLAM PERSPEKTIF H{ASAN AL-TURAbi>............................................... B. Urgensi Pembaruan Pemikiran Islam.. C. Gagasan Formalisasi Syariat ..............

69 74 90

: REFORMULASI KONSEP QIYA<s ; dari Ekspansif ke Terbatas .............................................. B. Dari Istish}a>b terbatas ke Istish}a>b Ekspansif ............................................

117

: PENUTUP A. Kesimpulan ......................................... B. Rekomendasi .......................................

129 131

DAFTAR PUSTAKA ............................................................ GLOSSARIUM ...................................................................... INDEKS .................................................................................

132 142 146

BAB V

BAB VI

xvi

97

BIOGRAFI .............................................................................

xvii

152

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah H{asan al-Tura>bi> mengatakan bahwa masalah utama Ushul Fikih klasik dalam menghasilkan fikih untuk konteks sekarang demikian kaku dan menjelma sebagai doktrin-doktrin teoritis mandul dan tidak bisa melahirkan fikih sama sekali, dan bahkan justru melahirkan perdebatan yang tiada henti. Fikih harus tumbuh untuk menghadapi tantangan yang bersifat praktis, dan Ushul Fikih harus pula tumbuh sejalan dengan fikih yang dinamis tersebut. Langkah apapun tidak mungkin dapat maju kecuali dengan melakukan kajian mendalam terhadap tujuan-tujuan agama dalam kehidupan masyarakat modern.1 Dengan demikian menurut al-Tura>bi>, metode Ushul Fikih yang ada saat ini sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman, sementara permasalahan kontemporer sangat luas dan semakin kompleks. Jika memang ilmu Ushul Fikih adalah jawaban atas realitas sosial kemasyarakatan yang dipengaruhi oleh ruang dan waktu, maka untuk menjawab pelbagai tantangan yang terus meluas tersebut dibutuhkan Ushul Fikih yang lebih sesuai dengan perkembangan zaman. Al-Tura>bi> juga mengatakan bahwa metode Ushul Fikih yang ada saat ini merupakan hasil kajian ulama terdahulu dan sudah tidak relevan lagi untuk diterapkan di masa sekarang, tapi hanya sesuai untuk konteks masyarakat pada waktu itu.2 Selain al-Tura>bi>, banyak tokoh-tokoh lain yang juga mempertanyakan relevansi fikih klasik dalam konteks kekinian, dan menawarkan konsep Ushul Fikih baru sebagai metodologi penggalian hukum, agar fikih sebagai produk Ushul Fikih relevan untuk saat ini. Muh}ammad Shahru>r misalnya mengatakan, misi kenabian Muh{ammad (570-632 M) telah berjalan selama lebih dari 1

H{asan al-Tura>bi>, Tajdi>d Us}u>l al-Fiqh al-Isla>mi> (Kharthoum: Maktabah Da>r al-Fikr, 1400 H/ 1980 M), cet. ke-1, 3-4. Lihat Juga. Al-Tura>bi>, Qad}a>ya> alTajdi>d Nah}wa Manhaj Us}u>li> (Beiru>t: Da>r al-Ha>di, 1421 H/ 2000 M), cet. ke-1, 155. 2 Al-Tura>bi>, Tajdi>d Us}u>l, 9-13.

1

empat belas abad yang lalu. Kita sekarang memasuki awal abad ke-21 M, setelah dunia mulai berubah secara nyata menjadi sebuah dunia yang kecil. Dengan demikian, wajarlah jika kita bertanya, di mana letak kesesuaian risalah Muh}ammad setelah 14 abad berlalu.3 Yu>suf al-Qarad}a>wi> juga berpendapat, suatu hal yang berlebihan bila mengatakan bahwa buku-buku karya ulama terdahulu sudah cukup memadai untuk memberikan jawaban terhadap setiap persoalan baru, karena setiap zaman itu memiliki problematika sendiri, konteks realitas dan pelbagai kebutuhan yang senantiasa muncul.4 Hukum Islam –sebagaimana yang dikatakan oleh Joseph Schacht- adalah sekumpulan aturan keagamaan yang mengatur perilaku kehidupan kaum Muslimin dalam keseluruhan aspeknya, baik yang terkait individual ataupun kolektif. Karena karakteristik yang serba mencakup ini, hukum Islam menempati posisi penting dalam pandangan umat Islam. Bahkan sejak awal hukum Islam menempati posisi penting dalam pandangan umat Islam. Hukum Islam telah dianggap sebagai suatu posisi yang belum pernah dicapai teologi. Ia menilai, para pengamat Barat mustahil bisa memahami Islam tanpa memahami hukum Islam.5 Islam meyakini perubahan sebagai suatu realitas yang tidak bisa dipungkiri. Agama berjalan beriringan bersama dengan lajunya kehidupan. Tugas agama adalah mengawal perubahan secara benar untuk kemaslahatan hidup manusia. Di sinilah sesungguhnya diperlukan usaha mengawal perubahan secara benar untuk kemaslahatan hidup manusia. Tugas seorang cendekiawan Muslim adalah merumuskan pendekatan dan metodologi yang tepat sesuai dengan konteks yang melingkupinya agar agama menjadi fungsional dan bisa membumi. Dalam hukum Islam, perubahan sosial budaya dan letak geografis menjadi variabel 3

Muh}ammad Shahru>r, Nah}wa Us}u>l al-Jadi>dah li al-Fiqh al-Isla>mi> (Damaskus: al-Aha>b li al-T{iba>‘ah li al-Nashr wa al-Tauzi>‘, 1425 H/ 2004 M), cet. ke-2, 51. 4 Yu>suf al-Qarad}a>wi>, al-Ijtiha>d al-Mu‘a>s}ir baina al-Inz}iba>t} wa al-Infira>t} (Kairo: Da>r Tauzi>‘ wa al-Nashr al-Isla>miyyah, 1414 H/ 1994 M), cet. ke-2, 5-6. 5 Joseph Schacht, An Introduction of Islamic Law (London: Oxford University Press, 1971), 2.

2

penting yang ikut memengaruhi adanya perubahan hukum, serta dalam mewujudkan dan meniadakan hukum. Banyak sekali fenomena realitas yang muncul di era modern, yang menurut di antara cendikiawan tidak cukup penjelasannya hanya dengan menggunakan perangkat metodologi hukum Islam klasik, bahkan menuding bahwa kerangka teoritis Ushul Fikih klasiklah penyebab kemunduran Islam di masa sekarang. Oleh sebab itu menurut mereka reformulasi tersebut harus menyentuh level yang fundamental yaitu dasar-dasar teoritis hukum Islam atau yang dikenal dengan Ushul Fikih. Al-Na>‘im misalnya mengatakan, bahwa kemunduran yang dialami oleh fikih Islam dewasa ini diduga kuat disebabkan oleh kurang relevannya perangkat teoritik ilmu Ushul Fikih untuk memecahkan problem kontemporer.6 Selain itu, Ibn ‘Ar menyerukan untuk meninggalkan Ushul Fikih klasik karena hanya bersifat z}anni> dan hanya akan mengakibatkan adanya perdebatan-perdebatan dalam masalahmasalah furu>‘ (fikih).7 Terkait hal ini juga, al-‘Ashmawi> menuding bahwa salah satu penyebab kemunduran umat Islam adalah sikap terlalu mengagungkan pemikiran ulama mazhab fikih sehingga pintu ijtihad menjadi tertutup, padahal perkembangan zaman menuntut adanya pembaruan di bidang hukum Islam dengan cara menginterpretasikan kembali ajaran Islam agar relevan dengan konteks kekinian.8 Adapun kelemahan Ushul Fikih klasik menurut para pengusung pembaruan di antaranya adalah karena Ushul Fikih klasik hanya memusatkan perhatiannya pada upaya penafsiran literal al-Qur’an dan sunnah. Hal ini -sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibn ‘Ar- kebanyakan ahli Ushul Fikih terlalu menyibukkan diri dalam membahas dan berdebat pada kaidah yang digunakan untuk menganalisa masalah, sehingga mereka lupa 6

Lihat ‘Abdulla>hi Ah}med al-Na>‘im, Toward an Islamic Reformation; Civil Liberties, Human Right and International Law (New York: Syracuse University Press, 1990), 39. 7 Muh}ammad T{a>hir ibn ‘Ar, Maqa>s}id Shari>‘ah al-Isla>miyyah (Jordan: Da>r Nafa>’is, 1427 H/ 2006 M.), cet. ke-2, 166. 8 Muh}ammad Sa‘i>d al-‘Ashmawi>, Us}u>l al- Shari>‘ah (Beiru>t: Da>r Iqra>’, 1404 H/ 1983 M), cet. ke-2, 87.

3

untuk membahas persoalan yang penting, yakni maksud dan hikmah dari syariat. Selain berkutat pada pembahasan kaidah, Ushul Fikih juga masih terpaku pada pembahasan bahasa atau lafaz semata.9 Al-T{u>fi> (w. 716 H) misalnya mengusung konsep mas}lah}ah sebagai konsideran tertinggi dalam penetapan hukum dan melampaui eksplisit literal Qur’an dan hadis seperti cara kerja Ushul Fikih klasik. Al-T{u>fi> –sebagaimana yang dikutip oleh al‘A- mengatakan bahwa jika al-Qur’an dan hadis tidak sejalan dengan perlindungan terhadap kemaslahatan manusia, maka perlindungan terhadap kemaslahatan tentunya menduduki prioritas di atas dua sumber tersebut (wa in kha>lafa> wajaba taqdi>m ri‘a>yah al-mas}lah}ah ‘alaihima>). Prioritas kepada perlindungan kemaslahatan manusia tidak dimaksudkan untuk menghentikan atau menyangkal secara total validitas dua sumber tersebut, tetapi menurut al-Tu>fi> adalah untuk menjelaskan fungsinya yang proporsional.10 Kelemahan lain, -sebagaimana yang dikatakan oleh Muhammad Roy- adalah masuknya unsur silogisme logika Aristoteles dalam qiya>s semenjak masa al-Sha>fi’i> (150-204 H/ 767-820 M), menjadikan konsep qiya>s kurang berkembang dan dinamis karena selalu mengikuti premis mayornya yang disimpulkan dari teks suci. Sebenarnya qiya>s merupakan suatu konsep penalaran yang dinamis, liberal, dan akomodatif dalam menyikapi perkembangan hukum di masyarakat.11 Abd. Moqsith Ghazali –aktivis JIL- mengatakan, Ushul Fikih ketika berdialog dengan tuntutan realitas menyisakan banyak problematika yang begitu kompleks. Ia menawarkan inovasi kaidah-kaidah Ushul 9

Lihat Ibn ‘Ar, Maqa>s}id Shari>‘ah, 4-6. Lihat ‘Abdullah Muh}ammad al-H{usain al-‘A, al-Thufi’s Refutation

10

of Traditional Muslim Juristic Sources of Law and His Viewe on the Priority of Regard for Human Welfare as the Highest Legal Sources or Principle (Canada: McGill University, 1993), 54-55. Untuk mengetahui lebih lengkap formulasi mas}lah}ah al-T{u>fi>, lihat dalam buku yang berjudul Risa>lah al-T}u>fi> fi> Ri‘a>yah al-

Mas}lah}ah. 11

Muhammad Roy, Ushul Fikih Mazhab Aristoteles; Percakapan Logika Aristoteles dalam Qiya>s Ushul Fikih (Yogyakarta: Safiria Insani Press, 2004), cet. ke-1, 214.

4

Fikih dalam upaya menutupi asumsi kelemahan dan kerapuhan metodologi klasik.12 Selain nama-nama di atas, tawaran Jama>l al-Banna> dalam kerangka pembaruan hukum Islam adalah dengan ‘mengoperasi’ sumber hukum Islam dengan cara merekonstruksi dan mereformulasi pemahaman konvensional dan tradisional selama ini dalam memahami sumber material sumber hukum Islam itu sendiri dan menggantinya dengan formulasi baru. Menurutnya, sumber hukum Islam adalah; akal, nilai-nilai universal al-Qur’an, sunnah, dan kebiasaan (’urf).13 Khaled M. Abou el-Fadl pun mengatakan, hukum Islam menentang kodifikasi dan penyeragaman. Metodologi hukum Islam memiliki ciri yang terbuka dan anti otoritarianisme. Inti dari karakteristiknya itu adalah proses penjelajahan, penyelidikan, dan penetapan hukum yang terus berkembang, serta sesuai dengan logikanya sendiri, menentang kepastian atau kemapanan. Hukum Tuhan sepenuhnya mewujud dalam pencarian hukum Tuhan itu. Hukum Islam terdiri dari seperangkat pendekatan metodologis, prinsip normatif, dan hukum positif yang selalu berevolusi.14 12

Abd. Moqsith Ghazali mengatakan bahwa ketidakberdayaan dan kerapuhan metodolgi klasik disebabkan: [1] Metodologi lama terlalu memandang sebelah mata terhadap kemampuan akal publik di dalam menyulih dan menganulir ketentuan-ketentuan legal-formalistik di dalam Islam yang tidak lagi relevan. Ditegaskan bahwa ketika terjadi pertentangan antara akal publik dan bunyi harfiah teks ajaran, metodologi lampau selalu mengambil cara penundukan terhadap akal publik. [2] Metodologi klasik kurang hirau terhadap kemampuan manusia di dalam merumuskan konsep kemaslahatan walau untuk umat manusia sendiri. Manusia tidak memiliki reputasi dan kedudukan apapun dalam ruang Ushul Fikih klasik, kecuali sebagai sasaran hukum yang tak berdaya (mukallaf) [3] Pemberhalaan teks dan pengabaian realitas merupakan ciri umum dari metodologi lama. Aktivitas ijtihad selalu digerakkan di dalam areal teks. Ijtihad yang tidak berkulminasi pada teks adalah ilegal, sebab teks merupakan aksis dari seluruh cara pemecahan problem. (Dikutip dari Abd. Moqshit Ghazali ‚Beberapa Kaidah Penafsiran al-Qur’an‛ yang disampaikan pada Konferensi Internasional ‚The Qur’an and Hadith Between Text and Context‛, 9-10 Desember 2010). 13 Lihat Jama>l al-Banna>, Nah}wa Fiqh Jadi>d (Kairo: Da>r al-Fikr al-Isla>mi>, 1420 H/ 1999 M), j. 3, 195-295. 14 Khaled M. Abou el-Fadl, Speaking in God’s Name; Islamic Law, Authority, and Women (Oxford: Oneworld Publications, 2003), cet. ke-3, 170.

5

Demikianlah tanggapan dan komentar di antara cendikiawan Muslim yang merasakan ketidakberdayaan teori Ushul Fikih klasik dalam menghasilkan fikih dan menjawab persoalan kontemporer, sehingga dibutuhkan pembaruan Ushul Fikih sebagai kerangka kerja dalam menghasilkan fikih yang relevan untuk konteks kekinian. Berangkat dari kondisi dan asumsi seperti ini memengaruhi H{asan al-Tura>bi> sebagai seorang intelektual yang menekuni bidang hukum Islam untuk menawarkan pembaruan pemikirannya di bidang hukum Islam. Al-Tura>bi> tidak hanya berhenti pada tataran dekonstruksi. Setelah berhasil mengklasifikasi kelemahan Ushul Fikih klasik, beliau memberikan tawaran untuk keluar dari masalah ini, yaitu apa yang disebutnya dengan Ushul Fikih baru. Di negerinya, Sudan, H{asan al-Tura>bi> dikenal sebagai seorang pemikir, ulama, intelektual, sekaligus politikus terkemuka. Ia merupakan arsitek utama Republik Islam Sudan. Karir politiknya dimulai semenjak ia memimpin al-Ikhwa>n al-Muslimu>n Sudan pada 1964 dan menjabat Sekjend Islamic Charter Front. AlTura>bi juga pernah menjabat Jaksa Agung pada rezim Numeiri pada 1979 sampai 1982, dan menjadi kepala penasihat masalahmasalah hukum dan luar negeri hingga 1985. Ia juga pernah menjadi Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri, serta ketua parlemen Sudan. Gagasan H{asan al-Tura>bi> mengenai seruan tajdi>d us}u>l dapat dilihat dalam karyanya Tajdi>d Us}ul> al-Fiqh al-Isla>mi>. Hal yang sama juga bisa dilihat dalam bukunya yang berjudul Qad}a>ya> alTajdi>d Nah}wa Manhaj Us}ul> i> khususnya pada bab IV dan dalam bukunya Tajdi>d al-Fikr al-Isla>mi> pada bab III. Walaupun demikian, bangunan epistemologis H{asan al-Tura>bi> sendiri masih perlu dikaji lebih mendalam. Dalam karyanya Tajdi>d al-Fikr al-Isla>mi> dan Qad}a>ya> al-Tajdi>d Nah}wa Manhaj Us}ul> i> secara esensial mengulangi gagasan yang ia jelaskan dalam Tajdi>d Us}u>l al-Fiqh al-Isla>mi>. Adapun pokok-pokok pikiran al-Tura>bi> dalam bukunya tersebut di antaranya adalah mengeritik konsep qiya>s tradisional. Menurutnya, qiya>s tradisional tidak memadai bagi kebutuhan saat ini karena keterbatasan yang dimilikinya sebagai refleksi penggunaan kreteria logika formal. Qiya>s mesti ditinjau kembali untuk meningkatkan kualitasnya dan menjadikannya sebagai 6

sarana kebangkitan fikih. Di samping itu, al-Tura>bi> juga menjelaskan apa yang disebutnya dengan konsep istis}ḥa>b ekspansif (al-istis}hạ >b al-wa>si‘).15\ Selain itu menurutnya, ilmu Ushul Fikih perlu direkonstruksi dengan cara mengkombinasikan antara ilmu-ilmu naql dengan ilmu-ilmu rasional.16 Berbeda dengan al-Tura>bi>, Muh}ammad Sali>m al-‘Awwa> masih setuju terhadap konsep ilmu Ushul Fikih klasik, tapi ketika berhadapan dengan realita yang berbeda, maka Ushul Fikih harus menyesuaikan diri sehingga akan menghasilkan fikih yang berbeda pula. Ilmu Ushul Fikih klasik masih dapat memberikan jawaban terhadap realitas kontemporer tanpa harus merubah bahkan menghancurkan kerangka dasar ilmu Ushul Fikih itu sendiri.17 Intinya al-Tura>bi> menganggap bahwa metodologi penggalian hukum Islam (Ushul Fikih) klasik sudah tidak relevan untuk mendukung pembaruan hukum Islam secara progresif. Jika ini benar, di mana letak kelemahannya dan apa faktor progresivitas konstruksi pemikiran metodologi Ushul Fikih al-Tura>bi>? Jika ini tidak benar, maka kemungkinan keduanya sama-sama memiliki spirit progresif. Atas dasar latar belakang di atas, penulis tertarik untuk meneliti dan mengkaji konstruksi pemikiran pembaruan hukum Islam, khususnya dalam pembaruan Ushul Fikih yang ditawarkan oleh H{asan al-Tura>bi> ini. Berdasarkan paparan di atas, penulis ingin menuangkan masalah tersebut dalam sebuah karya ilmiah yang kemudian dikemas dengan judul: Rekonstruksi Ushul Fikih Perspektif H{asan al-Tura>bi> (Kajian Konsep Qiya>s dan Istis}h}ab> ). B. Permasalahan 1. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah perdebatan antara pengusung pembaruan teori yurisprudensi hukum Islam (Ushul Fikih) dengan pendukung teori Ushul Fikih klasik. Ibn ‘Ar 15

Lihat al-Tura>bi>, Tajdīd Us}ūl, 45-46. Lihat juga al-Tura>bi>, Qad}a>ya> al-

Tajdi>d, 167-168. 16

Lihat al-Tura>bi>, Tajdīd Us}ūl, 191. Lihat Muh}ammad Sali>m al-‘Awwa>, al-Fiqh al-Isla>mi> fi> T}ari>q al-Tajdi>d (Beiru>t: al-Maktabah al-Isla>mi>, 1419 H/ 1998 M), cet. ke-2, 23. 17

7

misalnya mengatakan bahwa kebanyakan ahli Ushul Fikih terlalu menyibukkan diri dalam membahas dan berdebat pada kaidah yang digunakan untuk menganalisa masalah, sehingga mereka lupa untuk membahas persoalan yang penting, yakni maksud dan hikmah dari syariat. Selain berkutat pada pembahasan kaidah, Ushul Fikih juga masih terpaku pada pembahasan bahasa atau lafaz. Al-‘Ashmawi> juga mengatakan bahwa salah satu sebab kemunduran umat Islam adalah sikap terlalu mengagungkan pemikiran ulama mazhab fikih sehingga pintu ijtihad menjadi tertutup, padahal perkembangan zaman menuntut adanya pembaruan di bidang hukum Islam dengan cara menginterpretasikan kembali ajaran Islam agar relevan dengan konteks kekinian. Muhammad Roy mengatakan bahwa masuknya unsur silogisme logika Aristoteles dalam qiya>s semenjak masa alSha>fi‘i>, menjadikan konsep qiya>s kurang berkembang dan dinamis karena selalu mengikuti premis mayornya yang disimpulkan dari teks suci. Sebenarnya qiya>s merupakan suatu konsep penalaran yang dinamis, liberal, dan akomodatif dalam menyikapi perkembangan hukum di masyarakat. Sementara permasalahan kontemporer semakin luas dan sangat kompleks. Selain nama-nama di atas, Abd. Moqsith Ghazali juga mengatakan bahwa Ushul Fikih ketika berdialog dengan tuntutan realitas yang menyisakan banyak problematika yang begitu kompleks. H{asan al-Tura>bi> juga mengatakan, Ushul Fikih saat ini sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman. Ushul Fikih klasik hanya merupakan jawaban terhadap problematika umat yang berkembang pada saat itu, yang masih sangat sederhana. Namun sebaliknya di antara cendikiawan lain memandang Ushul Fikih klasik merupakan acuan bagi hukum dan aturan yang merupakan kerangka teoritis dan metodologis yang sangat canggih, dalam bentuk kaidah-kaidah rasional namun tetap praktis, untuk selanjutnya dijadikan sebagai acuan baku dalam menjawab masalah-masalah kontemporer yang dihadapi generasi berikutnya. Mayoritas pemikir Muslim memandang metodologi klasik tanpa cacat epistemologi 8

apapun. Metodologi yang telah dikerangkakan oleh para ulama dahulu memang sudah tuntas, sempurna, dan final, sehingga kewajiban umat yang datang kemudian bukan untuk mengubahnya, tetapi mengikuti dan melaksanakannya. Menanggapi ide al-Tura>bi> ini, ‘Ali> Jum‘ah mengatakan bahwa apa yang dilontarkan oleh H{asan al-Tura>bi> baru sebatas wacana karena tidak menjelaskan tema mana saja yang sudah tidak sesuai dengan konteks kekinian dan juga tema apa yang perlu ditambahkan agar lebih sesuai dengan situasi dan kondisi.18 Selain itu, Jama>l Ba>ru>t misalnya, menyangkal tuduhan bahwa Ushul Fikih klasik hanya terpaku pada pembahasan teks dan mengabaikan tujuan syariat (maqa>s}id al-shari>‘ah).19 Ba>ru>t juga membantah bahwa al-Sha>fi‘i> terlalu mengenyampingkan akal dalam proses istinba>t}. Menurutnya, penerimaan al-Sha>fi‘i> terhadap qiya>s dan menolak istih}sa>n merupakan bukti bahwa al-Sha>fi‘i> telah memadukan antara naql dan aql. Sikap al-Sha>fi‘i> adalah moderat (wasi>t}iyyah) dan kompromi (al-taufi>q) antara pandangan kelompok hadis (ahl athr) dan kelompok rasional (ahl ra’y). Al-Sha>fi‘i> memihak pada ahl athr dalam menetapkan kedudukan teks dan prioritasnya, yaitu al-Qur’an dan sunnah, namun di sisi lain ia cenderung pada ahl ra’y dalam mendasarkan prinsip qiya>s.20 2. Pembatasan Masalah Melihat dari sosok dan kiprah al-Tura>bi> ini, banyak sisi dari beliau yang dapat diteliti, baik sebagai politisi, pemikir, ahli hukum, aktivis, dan lain-lain. Namun karena keterbatasan space dalam penelitian ini dan agar tesis ini terarah dan dapat memberikan hasil yang maksimal serta sesuai dengan

18

Lihat ‘Ali> Jum‘ah, Qad}iyyah Tajdi>d Us}u>l al-Fiqh (Kairo: Da>r alHida>yah, 1413 H/ 1993 M), cet. ke-2, 21-22. 19 Lihat komentar Jama>l Ba>ru>t atas makalah al-Raishu>ni> dalam Ah}mad al-Raishu>ni> dan Jama>l Ba>ru>t, al-Ijtiha>d; al-Nas}, al-Wa>qi‘, al-Mas}lah}}ah (Damaskus: Da>r al-Fikr, 1421 H/ 2000 M), 64 . 20 Lihat al-Raishu>ni> dan Ba>ru>t, al-Ijtiha>d; al-Nas}, al-Wa>qi‘, al-Mas}lah}}ah, 98.

9

tujuannya, maka penulis membatasi kajian ini fokus pada ide rekonstruksi Ushul Fikih dan implikasinya terhadap fikih saja. Kemudian penulis merumuskan argumentasiargumentasi beliau, baik yang bersifat normatif maupun rasional yang digunakan untuk melegitimasi gagasannya tersebut. Dengan kata lain, permasalahan pokok yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah pemikiran al-Tura>bi> mengenai identifikasi kelemahan metodologi Ushul Fikih klasik dan formulasinya dalam memperbarui hukum Islam, yang meliputi konsep al-Tura>bi> mengenai dasar-dasar metodologi dan rumusan metodisnya. Selanjutnya dikomparasikan dengan formulasi sumber hukum Islam dan gagasan pembaruan hukum Islam lainnya yang sudah ada. Dengan demikian akan diketahui apakah metodologi dan formulasi yang ditawarkan al-Tura>bi> benar-benar orisinil dari pemikirannya sendiri, atau hanya melegitimasi pendapat tokoh yang mengusung ide pembaruan sebelumnya, atau hanya sekedar mengadopsi metodologi yang sudah ada kemudian dikemas dengan nama yang berbeda. 3. Perumusan Masalah Berdasarkan pembatasan masalah yang ada, pembahasan yang akan dilakukan dirumuskan dalam pertanyaan sebagai berikut: 1. Apa kelemahan Ushul Fikih klasik menurut al-Tura>bi>, dan bagaimana konsep rekonstruksi Ushul Fikihnya? 2. Bagaimana posisi dan distingsi rekonstruksi Ushul Fikih al-Tura>bi> dengan cendikiawan lain? 3. Bagaimana implikasi Ushul Fikih al-Tura>b>i terhadap fikih dan relevansinya dalam konteks kekinian? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui kelemahan Ushul Fikih klasik dan konsep rekonstruksi Ushul Fikih yang ditawarkan oleh al-Tura>bi>? 2. Untuk mengetahui posisi dan distingsi rekonstruksi Ushul Fikih al-Tura>bi> dengan cendikiawan lain. 3. Untuk mengetahui implikasi Ushul Fikih al-Tura>b>i terhadap 10

fikih dan relevansinya dalam konteks kekinian. D. Manfaat/ Signifikansi Penelitian Adapun manfaat atau signifikansi penelitian ini sebagai berikut: 1. Untuk memperkaya literatur khazanah pemikiran keislaman. 2. Diharapkan dapat memberikan kontribusi sebagai suatu model kajian komparatif dalam metodologi dan formulasi istinba>t} hukum Islam. 3. Eksplorasi terhadap kelebihan dan kekurangan masingmasing rumusan metodologi, baik klasik maupun teori reformulasi yang ditawarkan H{asan al-Tura>bi>, serta rumusan tokoh pembaru hukum Islam lainnya. E. Penelitian Terdahulu yang Relevan Dalam hal gagasan pembaruan hukum Islam, H{asan alTura>bi> memang bukanlah orang yang pertama dan satu-satunya. Tokoh seperti Muh}ammad Arkoun, Fazlur Rahman, Shahru>r, Mah}mu>d Muh}ammad T}aha, al-‘Ashmawi> adalah di antara sederetan nama pemikir Islam yang juga memiliki pemikiran sama untuk pembaruan hukum Islam walaupun dengan konsep dan metodologi yang berbeda dengan H{asan al-Tura>bi>. Gagasan pemikiran pembaruan hukum Islam akan terus menjadi wacana dan sebagai topik pembicaraan hangat dari waktu ke waktu. Penelitian seputar wacana gagasan pembaruan hukum Islam atau kajian analisis terhadap pemikiran tokoh yang mengusung pembaruan, penulis mendapati beberapa hasil penelitian, di antaranya; Pertama, al-Ijtiha>d; al-Nas}, al-Wa>qi‘, al-Mas}lah}}ah karya Ah}mad al-Raishu>ni> dan Muh}ammad Jama>l Ba>ru>t. Buku ini merupakan transkrip perdebatan antara dua cendikiawan yaitu Ah}mad al-Raishu>ni> (ulama asal Maroko) dan Muh}ammad Jama>l Ba>ru>t (ulama asal Syiria) tentang korelasi antara teks, realitas dan kemaslahatan sosial.21

21

Lihat Ah}mad al-Raishu>ni> dan Muh}ammad Jama>l Baru>t, al-Ijtiha>d; alNas}, al-Wa>qi‘, al-Mas}lah}}ah (Damaskus: Da>r al-Fikr, 1421 H/ 2000 M).

11

Kedua, al-Tajdi>d fi> Us}ul> al-Fiqh karya Jama>luddi>n ‘At}iyyah dan Wahbah al-Zuh}aili>. Penulis memuat kriteria pembaruan hukum Islam (fikih) yang mencakup pembaruan dari segi substansi, metodologi, dan pembaruan pada buku-buku fikih. Menurut ‘At}iyyah, pembaruan hukum Islam yang ideal harus mencakup keberanian melakukan ijtihad terhadap hal-hal baru atau masalah lama yang hukumnya sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Buku ini juga memuat tanggapan Wahbah al-Zuh}aili> atas tesis ‘At}iyyah. Menurut al-Zuh}aili>, pembaruan dapat dilakukan pada persoalan-persoalan yang tidak ada nash atau ijtihad yang menjelaskannya saja. Pembaruan hukum merupakan suatu karakteristik dari setiap masa. Di samping itu, al-Zuh}aili> juga menjelaskan beberapa sikap dari para sahabat dalam berijtihad yang patut dicermati.22 Ketiga, Shari‘a; Islamic Law in the Contemporary Context, Abbas Amanat dan Frank Giffel sebagai editor. Buku ini merupakan kumpulan tulisan dari: Abbas Amanat, Frank Giffel, Gudrun Kramer, Felicitas Opwis, David L. Johnston, Noah Feldman, Shahrough Akhavi. Esai-esai dalam buku ini memuat pelbagai isu, dari wacana Islam modern tentang keadilan, hukum alam, dan kebaikan umum, demokrasi, kontrak sosial, dan otoritas ahli hukum terkemuka. Buku ini juga membahas konsep mas}lah}ah, baik perspektif ulama periode klasik (abad ke-11 M – ke-14 M). Dalam periode klasik ini penulis mengemukakan mas}lah}ah perpektif al-Ghaza>li> dan Fakhruddi>n al-Ra>zi. Periode modern (abad 19 M- 20 M) seperti Jama>luddi>n al-Qa>simi> (1866 M-1914 M), Rashi>d Rid}a (1865 M-1935 M). Selanjutnya al-T{u>fi> dan alShat}ibi> disebut oleh penulis sebagai generasi awal merekonstruksi konsep mas}lah}ah tersebut. Selain itu penulis juga menyinggung alFa>si> (1910 M-1974 M), al-Qara>fi> (w. 648 H), ‘Abdul Wahha>b Khalla>f (1888 M-1956 M), Muh}ammad Sa‘i>d Ramad}a>n al-Bu>t}i>.23 Keempat, Pemikiran Fazlul Rahman Tentang Metodologi Pembaruan Hukum Islam yang ditulis oleh Ghufron Ajib Mas‘adi. Penelitian utama dalam penelitian ini dapat dirumuskan dalam 22

Lihat Jama>ludi>n ‘At}iyyah, Tajdi>d al-Fiqh al-Isla>mi> (Damaskus: Da>r alFikr, 1421 H/ 2000 M). 23 Lihat Abbas Amanat dan Frank Giffel (ed), Sharia; Islamic Law in The Contemporary Context (Stanford: Stanford University, 2007).

12

pertanyaan ‚Adakah kesinambungan dan pengembangan pemikiran Rahman tentang metodologi hukum Islam dari dan terhadap pemikiran Ushul Fikih klasik‛? Adapun metode Rahman dalam kerangka pembaruan hukum Islam adalah dengan mengonsep ulang pemahaman terhadap sumber hukum Islam (Qur’an, hadis, ijma>‘, dan qiya>s).24 Kelima, Pemikiran Fazlul Rahman tentang Konsep Pembaruan Pemahaman Hukum-hukum al-Qur’an dan Relevansinya dengan Tantangan Kehidupan Era Globalisasi, disertasi yang ditulis oleh M. Lutfi Yusuf. Kesimpulan penulis di antaranya adalah bahwa Fazlur Rahman berusaha membongkar formalisme sebagian hukum-hukum al-Qur’an melalui pendekatanpendekatannya, di antaranya; pertama, pendekatan historis yang berguna untuk menemukan makna teks al-Qur’an. Kedua, pendekatan kontentual, yaitu pendekatan yang digunakan dalam menemukan sasaran dan tujuan yang terkandung dalam ayat yang legal-spesifik. Ketiga, pendekatan sosiologis, yang berguna untuk menguatkan hasil temuan pendekatan kontentual, atau untuk menemukan sasaran dan tujuan yang tidak dapat ditemukan oleh pendekatan kontentual.25 Keenam, Metodologi Fikih Islam Kontemporer Menurut Muh}ammad Shahru>r, tesis yang ditulis oleh Arip Purkon. Fokus tulisan ini adalah untuk menjawab dua hal penting, yaitu dalil-dalil fikih apa yang yang digunakan oleh Shahru>r dalam menjawab masalah-masalah kontemporer, serta bagaimana metode penggunaan dalil-dalil fikih dimaksud. Peneliti berkesimpulan bahwa metodologi yang digunakan Shahru>r dalam mengeluarkan pendapatnya tentang hukum Islam tampak belum komprehensif serta kurang adanya pengkombinasian antara sumber atau dalil hukum yang selama ini digunakan oleh para ulama. Disamping itu menurut penulis ada beberapa kesalahpahaman Shahru>r tehadap 24

Lihat Gufron Ajib Mas‘adi, Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi Pembaruan Hukum Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997).

25

Lihat M. Lutfi Yusuf, ‚Pemikiran Fazlul Rahman tentang Konsep Pembaruan Pemahaman Hukum-hukum al-Qur’an dan Relevansinya dengan Tantangan Kehidupan Era Globalisasi,‛ disertasi Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004.

13

beberapa konsep yang dikemukakan oleh para ulama dalam hukum Islam.26 Ketujuh, Pembaruan Hukum Islam Menurut Jama>l al-Banna>,> oleh Mufidah Saggaf Aljufri. Penelitian ini menyimpulkan bahwa secara komprehensif ruang lingkup pengertian pembaruan hukum meliputi pembaruan substansi, metodologi, pelaksanaan, dan sumber materinya. Pembaruan dalam metodologi hukum Islam secara global dilakukan dengan dua cara: pertama, tidak bertaklid kepada suatu metode kecuali dengan dalil dan selalu terbuka untuk mentarjih di antara beberapa pendapat. Kedua, memperluas kaidah-kaidah yang menjadi bahasan dalam ilmu Ushul Fikih. Jama>l al-Banna> menawarkan kontruksi pemikiran hukum dengan berlandaskan kepada Ushul Fikih guna memahami hukum Islam secara komprehensif. Langkah pertama yang dilakukan Jama>l alBanna> dalam pembaruannya adalah dengan merekonstruksi sumber hukum Islam dengan meletakkan secara maksimal peran akal dalam berijtihad yang mengacu pada prinsip terwujudnya kemaslahatan. Bagi Jama>l, yang terpenting dalam langkah sebuah pembaruan bukanlah menafsirkan al-Qur’an, akan tetapi mengangkat nilai revolusioner al-Qur’an. Inti al-Qur’an adalah nilai-nilai universal ajarannya. Peran akal dan kondisi sosial bagi Jama>l al-Banna> merupakan dua landasan pokok bagi pemahaman dan penafsirannya terhadap al-Qur’an.27 Selain penelitian-penelitian di atas, tentu masih banyak penelitian-penelitian lainnya terkait tema-tema pembaruan hukum Islam lainnya. Adapun penelitian terkait langsung dengan H{asan al-Tura>bi> di antaranya adalah; pertama, Revolutionary Sudan; H{asan alTura>bi> and The Islamist State, 1989-2000 yang ditulis oleh Millard Burr dan Robert O. Collins. Buku ini menyelidiki tujuan, kegiatan, dan dekade kesuksesan dan kegagalan oleh perwira militer dan sipil Islam untuk menciptakan pemerintahan Islam pertama di Afrika setelah kudeta oleh Brigadir ‘Umar H{asan 26

Lihat Arip Purkon, ‚Metodologi Fikih Islam Kontemporer Menurut Muh}ammad Shahru>r,‛ tesis Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008. 27 Lihat Mufidah Saggaf Aljufri, Pembaruan Hukum Islam Menurut Jama>l al-Banna> (Jakarta: Gaung Persada Press, 2010).

14

Ah}mad al-Bashi>r. Buku ini juga menggambarkan dan menganalisis peran yang dimainkan oleh H{asan al-Tura>>bi> di Sudan, dunia, dan pemerintah revolusioner. Buku ini merekam kegiatan al-Tura>bi> sebagai pemimpin ideologis dan aktivis revolusi yang menggunakan pengaruhnya sebagai cendekiawan Muslim yang kharismatik untuk melancarkan sebuah revolusi Islam sampai kejatuhannya dan disingkirkan dari pemerintahan pada tahun 2000 oleh orang-orang yang sebenarnya ia harapkan mendukung ideologi Islamnya.28 Kedua, Spokesmen for The Despised; Fundamentalist Leaders of The Middle East, karya R. Scott Appleby. Dalam buku ini penulis membicarakan tokoh-tokoh yang dianggap sebagai fundamentalis di Timur Tengah, salah satunya adalah H{asan alTura>bi>.29 Ketiga, The Blackwell Companion to Contemporary Islamic Thought, yang dieditori oleh Ibra>hi>m M. Abu> Rabi>‘. Di dalam buku ini ada salah satu bab dengan judul ‚H{asan al-Tura>bi> and the Limits of Modern Islamic Reformis,‛ yang ditulis oleh Abdelwahhab el-Affandi. Dalam tulisannya, penulis menerangkan peran H{asan al-Tura>bi dalam pentas politik Sudan. Selain itu juga membahas peran al-Tura>bi sebagai tokoh pembaruan di Sudan, tapi tidak menyebutkan gagasan al-Tura>bi tersebut secara spesifik.30 Keempat, The Spectrum of Islamist Movements, Vol.1, Diyā Rashwān sebagai editornya. Buku ini merupakan kumpulan essai dari beberapa orang penulis. Salah satu essai yang dimuat dalam buku ini berjudul ‚H{asan al-Tura>bi>; The Man and His Ideas.‛ Penulis memaparkan kiprah al-Tura>bi> yang dimulai dari sebagai pemikir hingga sebagai politisi. Penulis juga memuat tentang kepribadian dan kepemimpinannya. Selain itu penulis juga menulis mengenai ide pembaruannya tentang konsep ijtihad yang 28

Lihat Millard Burr dan Robert O. Collins, Revolutionary Sudan; H{asan al-Tura>bi> and The Islamist State, 1989-2000 (Leiden: Koninklijke, 2003). 29 Lihat R. Scott Appleby, Spokesmen for The Despised; Fundamentalist Leaders of The Middle East (Chicago: Chicago Universty Press, 1997). 30

Lihat Abdelwahhab el-Affandi, ‚H{asan al-Tura>bi> and the Limits of Modern Islamic Reformis,‛ dalam The Blackwell Companion to Contemporary Islamic Thought (Oxford: Blackwell Publishing, 2006), 145-160.

15

harus lebih memperhatikan realitas serta sangat mendorong dibukanya pintu ijtihad. Dalam tulisan ini penulis juga mengulas pemikiran al-Tura>bi> yang ada dalam bukunya ‚Tajdi>d al-Fikr al-

Isla>mi>.‛ 31

Kelima, The Red Sea Terror Triangle; Sudan, Somalia, Yemen, and Islamic Terror, yang ditulis oleh Shaul Shay dan Rachel Liberman. Penulis memaparkan peran al-Tura>bi> sebagai politisi dan pemimpin National Islamic Front, serta perannya dalam perkembangan Islam di Sudan.32 Dengan demikian, berdasarkan penelusuran peneliti terhadap hasil penelitian-penelitian yang sudah ada, tidak ditemukan hasil penelitian yang fokus dan intensif mengkaji gagasan rekonstruksi Ushul Fikih ala al-Tura>bi> ini. Adapun distingsi penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah dari segi objek tokoh (H{asan al-Tura>bi>) dan sisi yang dikaji dari tokoh tersebut (gagasan pembaruan Ushul Fikihnya). F. Metodologi Penelitian 1. Pendekatan yang Digunakan Dalam penelitian ini menggunakan beberapa pendekatan, di antaranya pendekatan sejarah (historical approach). Guna melihat latar belakang pemikiran hukum H{asan al-Tura>bi> secara umum, dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan sejarah. Pentingnya pendekatan semacam ini, mengingat pemikiran seorang tokoh akan melibatkan unsur-unsur biografis yang sangat berkaitan dengan setting sosial, sifat, watak, pengaruh pikiran, dan idenya.33 Selain itu, penelitian ini juga menggunakan pendekatan interpretasi, yakni menyelami pemikiran seorang tokoh yang tertuang dalam karya-karyanya guna menangkap nuansa makna dan pengertian yang dimaksud hingga tercapai

31

Lihat D{iyā Rashwān, The Spectrum of Islamist Movements (Kairo: Markaz al-Dira>sah al-Siya>sa>t wa al-Istira>tijiyya>t, 2007), vol. 1, 375-399. 32 Lihat Shaul Shay dan Rachel Liberman, The Red Sea Terror Triangle; Sudan, Somalia, Yemen, and Islamic Terror (USA: Interdiciplinary Center Herliza Project, 2007), 27-31. 33 Moh. Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), 62.

16

suatu pemahaman yang benar,34 dengan menggunakan pola induktif-deduktif sebagai metode analisis data.35 Kemudian, mengingat masalah yang diteliti adalah pemikiran seorang tokoh tentang metode pembaruan hukum Islam, maka penulis juga menggunakan pendekatan normatif yang terimplementasi pada Ushul Fikih klasik. 2. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan sepenuhnya bersifat kepustakaan (library research),36 yang menggunakan sumbersumber kepustakaan untuk membahas masalah-masalah yang telah dirumuskan. Data-data yang dihimpun terdiri atas bahan-bahan tertulis yang telah dipublikasikan dalam bentuk buku, majalah, hasil penelitian, dan internet, yang berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan penelitian ini. 3. Jenis Data Guna menghasilkan data yang dibutuhkan dalam penelitian ini, maka penulis akan mempergunakan teknik pengumpulan data penelitian dokumentasi, yaitu teknik pengumpulan data yang digunakan untuk mengumpulkan data berupa pemikiran-pemikiran atau konsep-konsep, yang dalam hal ini bersumber dari sumber primer dan sekunder yang memuat pemikiran-pemikiran H{asan al-Tura>bi>.

34

Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), 42. 35 Logika atau penalaran secara umum dibagi dua macam, yaitu deduktif dan induktif. Deduktif adalah menggunakan statemen atau asumsi yang bersifat umum untuk ditarik pada kasus yang bersifat khusus. Sedangkan induktif adalah menarik kesimpulan yang bersifat umum dari kasus yang bersifat khusus. Lihat Bergan Evans dan Cornelia Evans, A Dictionary of Contemporary American Usege (New York: Randon House, 1957), 242. 36 Penelitian kepustakaan (library research) adalah serangkaian kegiatan penelitian yang berkaitan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan penelitian. Lihat Noeng Muhadjir, Metode Penelitian Kualitatif (Jakarta: Rake Sarasin, 1998), 51. Lihat juga Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004), 3.

17

Penelitian ini akan menghasilkan data yang bersifat deskriptif, yang hasilnya akan disajikan dalam bentuk kualitatif.37 Oleh karena itu, penelitian ini bersifat kualitatif yang menekankan pada penggalian nilai yang terkandung pada gagasan-gagasan H{asan al-Tura>bi> dengan cara melihat dan mengkaji gagasan yang terkandung dalam karya-karyanya. 4. Sumber Data Secara umum ada dua sumber data yang digunakan, yaitu primer38 dan sekunder39: 1. Data primer, yaitu buku-buku yang ditulis oleh H{asan al-Tura>bi> seperti: Tajdi>d Us}u>l al-Fiqh al-Isla>mi>, Tajdi>d

al-Fikr al-Isla>mi>, Qad}a>ya> al-Tajdi>d Nah}wa Manhaj 37

Sebagaimana yang dikutip oleh Lexy J. Moleong dari Bogdan dan Taylor- kualitatif yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Lihat Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2004), 3. Adapun penggunaan metode kualitatif dalam penelitian ini -dengan meminjam kerangka berpikir Mufidah Saggaf Aljufri dalam disertasinya- didasari atas pertimbangan sebagai berikut: [1] Pemahaman dan pengalaman atas nilai-nilai agama sulit diukur secara kuantitatif. [2] Data yang dikumpulkan sebagian besar berupa kata-kata yang tertulis yang berhubugan dengan pemahaman serta pengamalan nilai-nilai agama. [3] Metode ini dapat digunakan untuk memahami pelbagai keadaan, pemahaman, dan sifat individu secara holistik. [4] Metode kualitatif memungkinkan untuk memahami tokoh secara personal dan memandang dia sebagaimana dia sendiri mengungkapkan pandangannya serta memungkinkan menangkap pengalamannya dalam kehidupan dalam lingkungannya. [5] Metode ini memungkinkan penulis melakukan verifikasi dan eksplanasi secara mendalam serta mencatatnya ketika menemukan masalah baru dari obyek penelitian yang secara teoritik dinilai menyimpang dari apa yang seharusnya. (Lihat. Mufidah Saggaf Aljufri, ‚Pembaruan Hukum Islam menurut Jama>l alBanna>,‛ Disertasi SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010, 23-24). 38 Data primer adalah data yang langsung dari subjek penelitian. Lihat Saifuddin Azwar, Metode Penelitian (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), 91. Lihat juga Rianto Adi, Metode Penelitian Sosial dan Hukum (Jakarta: Granit, 2004), 57. 39 Data sekunder adalah data yang erat hubungannya dengan data primer dan dapat dipergunakan untuk membantu menganalisis dan memahami data primer. Lihat Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, 92. Lihat juga Rianto, Metode Penelitian Sosial dan Hukum, 57.

18

Us}ul> i>, al-H{arakah al-Isla>miyyah fi> al-Sudan; alTat}awwu>r wa al-Kash wa al-Manhaj, dan lain-lain. 2. Data sekunder, yaitu buku-buku yang ditulis oleh para tokoh yang mengusung ide pembaruan atau buku yang ditulis oleh peneliti yang konsen terhadap isu-isu pembaruan, seperti: Turabi’s Revolution; Islam and Power in Sudan karya Abdelwahhab el-Affandi, A

History of Islamic Legal Theories; An Introduction to Sunni Us}ul Fiqh karya Wael B. Hallaq, al-Fiqh al-Isla>mi> fi> T{ari>q al-Tajdi>d karya Muh}ammad Sali>m al-‘Awwā, Nash’ah al-Fiqh al-Ijtiha>di> wa At{wa>ruh karya ‘Ali> alSa>yis, Al-Kita>b wa al-Qur’a>n; Qira>’ah Mu‘a>s}irah dan Dira>sa>h Isla>miyyah Mu‘a>s}irah; Nah{wa Us}ul> Jadi>dah li al-Fiqh al-Isla>mi> karya Muh}ammad Shahru>r, Us}ul> alShari>‘ah karya Muh}ammad Sa‘i>d al-‘Ashmawi>, Toward and Islamic Reformation; Civil Liberties, Human Right, and International Law karya ‘Abdulla>hi Ah}med alNa>‘im, al-Thufi’s Refutation of Traditional Muslim Juristic Sources of Law and His Viewe on the Priority of Regard for Human Welfare as the Highest Legal Sources or Principle karya ‘Abdulla>h Muh}ammad alH{usain al-A, dan lain-lain. Selain itu penulis juga memperkaya dengan pelbagai tulisan ilmiah, laporanlaporan jurnalistik (media massa) dan buku-buku yang ada korelasi dan relevansinya dengan tema karya tulis ini. 5. Teknik Analisis Data Dalam penelitian ini digunakan metode analisis40 sejarah sosial pemikiran. Data dideskripsikan berupa pernyataan verbal. Analisis data deskriptif ini dimaksudkan untuk menjelaskan kembali konsep-konsep H{asan al-Tura>bi> secara utuh, khususnya yang terkait dengan pembaruan Ushul Fikih

40

Analisis data merupakan merupakan proses penyusunan, pengategorian data, dan pencarian pola atau tema dengan maksud untuk memahami maknanya. Lihat Lihat Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, 5.

19

dengan mengikuti alur permasalahan-permasalahan yang disusun dalam penelitian ini. Guna mendukung hal di atas, maka dirasa perlu juga untuk melibatkan aspek kesejarahan, yang erat kaitannya dengan perjalanan, gerakan, dan pemikiran H{asan al-Tura>bi. Jenis penelitian yang sering kali dipakai dalam hal ini adalah penelitian biografis.41 Data primer dan sekunder yang terkumpul diklasifikasi dan dianalisis sesuai dengan sub bahasan masing-masing dan dibahas dengan memberikan penafsiran dan komentar terhadap gagasan yang diteliti, yang juga dilengkapi dengan pendapat tokoh lainnya. Data yang terkumpul berupa gagasangagasan H{asan al-Tura>bi> tentang suatu topik dijelaskan bersama argumentasinya. Setelah data dideskripsikan apa adanya, maka dilakukan analisis dengan cara membandingkan secara insidental pendapat H{asan al-Tura>bi> dengan pendapat tokoh reformis hukum Islam lainnya. Hal ini dilakukan untuk menemukan perbedaan dan persamaan antara beberapa obyek penelitian. Langkah selanjutnya menyimpulkan hasil penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan sehingga terlihat keunggulan, kelemahan, titik singgung serta distingsi dari pemikiran H{asan al-Tura>bi> dengan pemikiran tokoh lain, seperti al-Sha>t}ibi> dan al-T{u>fi> (ulama abad pertengahan), dan Fazlur Rahman, Sharu>r, Mah}mu>d T}aha>, (cendikiawan abad modern). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa corak sajian datanya berbentuk deskriptif-analitis-komparatif. G. Teknik Penulisan Penulisan tesis ini mengacu pada Buku Pedoman Penulisan Bahasa Indonesia, Transliterasi, dan Pembuatan Notes dalam Karya Ilmiah yang diterbitkan oleh Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2011 dan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, tahun 1999. Adapun 41

Penelitian biografis yaitu penelitian terhadap kehidupan seseorang dalam hubungannya dengan masyarakat, sifat-sifat, watak, pengaruh pemikiran dan ide-idenya serta pembentuk watak tokoh tersebut selama hayatnya. Lihat Moh. Nazir, Metode Penelitian, 62.

20

untuk transliterasi Bahasa Arab ke Bahasa Indonesia berpedoman kepada Arab-Latin ALA-LC Romanization Tables. H. Sistematika Penulisan Bab pertama, berupa pendahuluan, yang di dalamnya membahas latar belakang, identifikasi, pembatasan, dan perumusan masalah. Selain itu juga memuat tujuan dan signifikansi penelitian, penelitian terdahulu yang relevan, metodologi penelitian, teknik penulisan, dan sistematika penulisan. Bab pertama ini merupakan bentuk kerangka pikir dan kerangka kerja yang akan dilaksanakan dalam menyelesaikan penelitian ini. Bab kedua, membahas retrospeksi wacana pembaruan hukum Islam dalam lintasan sejarah, yang meliputi ijtihad dan realitas sosial kontemporer, sejarah pembaruan Ushul Fikih dari masa ke masa, dan rekonstruksi metodologi Ushul Fikih Modern. Bab kedua ini memaparkan pembaruan metodologi hukum Islam yang pernah digagas oleh para utilitarianis agama dan oleh para liberalis agama. Ini berguna untuk mengetahui persamaan dan perbedaan serta corak tokoh sentral yang teliti dalam penelitian ini (H{asan alTura>bi>) dengan metodologi para reformis hukum Islam lainnya. Bab ketiga, membahas biografi dan intelektualitas H{asan alTura>bi>, yang mencakup riwayat hidup, karya-karya, keterkaitannya dengan organisasi al-Ikhwa>n al-Muslimu>n, serta lingkungan sosial dan politik di Sudan. Kegunaan bab ini adalah untuk mengenal objek tokoh dalam penelitian ini, terkait lingkungan semasa kecilnya dan lingkungan sosial dan politik yang melatarbelakangi lahirnya gagasan pembaruan tersebut. Bab keempat, membahas pembaruan pemikiran Islam perspektif H{asan al-Tura>bi>, yang mencakup kelemahan pemikiran Islam, urgensi pembaruan pemikiran Islam, dan gagasan formalisasi syariat. Bab ini merupakan penjelasan tentang latar belakang mengapa al-Tura>bi> merasa perlu untuk melakukan pembaruan. Pembaruan pemikiran Islam dalam bab ini fokus pada gagasan al-Tura>bi>. Bab kelima, membahas reformulasi konsep qiya>s dan istis}h{a>b dari tradisional ke liberal, yang mencakup pergeseran qiya>s dari ekspansif ke terbatas dan dari istish}a>b terbatas ke 21

istish}a>b ekspansif. Dalam bab ini akan diuraikan latar belakang sejarah qiya>s, dari pra al-Sha>fi‘i hingga pasca al-Sha>fi‘i>. Selain itu juga akan dijelaskan konsep is}tis}h}ab> perspektif Ibn H{azm, di mana al-Tura>bi> sangat memuji fikih Ibn H{azm tersebut. Bab keenam, berisi penutup yang mencakup kesimpulan dan rekomendasi. Dalam bab ini akan disimpulkan temuan-temuan dari penelitian tentang judul tesis ini yang akan dikemas dengan bahasa yang singkat dan padat. Selanjutnya akan dilengkapi dengan rekomendasi.

22

BAB II RETROSPEKSI WACANA PEMBARUAN HUKUM ISLAM DALAM LINTASAN SEJARAH Kebutuhan kita terhadap ijtihad sebagai cara menggali sebuah hukum merupakan kebutuhan abadi selama masih ada kejadian yang baru muncul, kondisi masyarakat yang selalu berubah dan berkembang, agar syariat Islam selalu cocok di setiap situasi dan kondisi. Sebagai kerangka acuan ijtihad tersebut, para cendikiawan berbeda pendapat antara bersikukuh dengan metodologi yang telah dibangun oleh ulama terdahulu, atau harus dengan metodologi baru. Wacana pembaruan hukum Islam di dunia Islam bukanlah hal baru, baik wacana pembaruan dari segi materi fikih, sumber materi fikih (kitab fikih), maupun pembaruan dalam hal metodologi fikih (Ushul Fikih). Dalam bab ini, akan diuraikan sejarah pembaruan, terutama pembaruan dalam Ushul Fikih yang pernah ada dalam sejarah perkembangan hukum Islam, mulai dari periode awal pembentukan teori Ushul Fikih, hingga pembaruan-pembaruan yang ditawarkan oleh tokoh reformis hukum Islam kontemporer. A. Ijtihad dan Realitas Sosial Kontemporer Timbulnya penemuan baru akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, berakibat pula menggeser cara pandang dan membentuk pola alur berpikir yang membawa konsekuensi dan membentuk norma dalam kehidupan masyarakat. Tidak semestinya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta peradaban manusia itu dihadapkan secara konfrontatif dengan nash, tapi harus dicari pemecahannya secara ijtihadi. Sementara itu nash telah berakhir (final) dan persoalan-persoalan baru senantiasa muncul berkesinambungan, maka untuk memecahkannya diperlukan ijtihad1 dan pembaruan pemikiran

1

Secara bahasa, kata ijtihad (Arab; ijtiha>d) adalah mencurahkan kemampuan dan mengerahkan segala kekuatan dalam suatu perbuatan. Sedangkan secara istilah yaitu, mujtahid mengerahkan segala kemampuannya untuk mengetahui hukum-hukum syariat dengan cara istinba>t}. Lihat ‘Abdul

23

hukum Islam. Jika tidak ada keseimbangan dinamika masyarakat dan hukum, lazimnya akan memunculkan social leg (ketimpangan sosial). Oleh karena itu sudah seharusnya ada kesejajaran antara perkembangan masyarakat akibat kemajuan dan peradaban manusia dengan dinamisasi perkembangan hukum, tidak terkecuali pula hukum Islam. Ijtihad disesuaikan pula dengan mas}lah}ah yang timbul. Abd. Salam Arief mengutip statement Mah}mu>d Shalt}u>t} yang mengatakan:

‫تخلف المصلحة فيه بتغيير األزمنة و األمكنة و األشخاص ومه هنا‬ .‫وجذ اإلجتهاد‬ (Perbedaan suatu mas}lah}ah dalam suatu produk hukum itu tergantung pada perubahan zaman, tempat, individu, dan dari sini timbulnya suatu ijtihad).2 Terkait hal ini, Abu> Zahrah juga mengatakan:

.‫إن النصىص تتناهى ولكه الحىادث ال تتناهى‬ (Sesungguhnya nash itu telah berakhir, sedangkan peristiwa itu tidak pernah berakhir).3 Guna menjawab problematika kehidupan yang begitu kompleks dan dinamis ini, di samping meneliti cakupan ayat dan sunnah, perlu dikembangkan usaha penelitian cakupan ayat dan sunnah dan pengembangan prinsip-prinsip dasar, yang kemudian dikenal dengan ijtihad. Kebutuhan terhadap ijtihad timbul dari karakteristik Qur’an dan sunnah yang mesti dihadapkan kepada kenyataan sosial. Tanpa adanya usaha ijtihad, dapat dipastikan akan terdapat kesulitan dalam membuktikan keyakinan bahwa Islam cocok untuk segala waktu dan tempat. Secara historis, dalam perkembangan hukum Islam sebagian besarnya telah dibentuk oleh kegiatan bentuk ini (ijtihad). Kari>m Zaida>n, al-Waji>z fi> Us}u>l al-Fiqh (Beiru>t: Mu’assasah al-Risa>lah, 1407 H/ 1987 M), 401. 2 Abd. Salam Arief, Pembaruan Pemikiran Hukum Islam Antara Fakta dan Realita; Kajian Pemikiran Hukum Syeikh Mah}mu>d Shalt}u>t} (Yogyakarta: LESPI, 2003), cet. ke-1, 178. 3 Abu> Zahrah, Ta>ri>kh al-Madha>hib al-Isla>miyyah fi> al-Siya>sah wa al‘Aqa>’id wa Ta>ri>kh al-Madha>hib al-Fiqhiyyah (Kairo: Da>r al-Fikr, 1409 H/ 1989 M), 16.

24

Produk-produk ijtihad telah diakui sepanjang masa, dan telah membentuk tatanan hidup masyarakat Islam. Hal ini berarti bahwa meskipun dalam bobot yang relatif rendah, namun hasil ijtihad itu telah turut membentuk sejarah umat Islam di samping ajaran yang secara tegas terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah. Sebagai kegiatan intelektual yang tidak boleh lepas dari tuntunan wahyu, ijtihad memerlukan seperangkat kaidah atau metode. Metode inilah yang kemudian dikenal dengan Ushul Fikih. Meskipun Ushul Fikih sebagai satu disiplin ilmu baru tersusun secara sistematis pada abad ke-2 H, namun pada praktiknya ia telah tumbuh dan berkembang bersamaan dengan tumbuh dan berkembangnya hukum fikih sebagai produk ijtihad.4 Ijtihad memegang peranan sangat penting dalam menggali dan mengembangkan hukum Islam dan ilmu-ilmu keislaman lainnya. Begitu penting peranannya, sehingga Harun Nasution menjadikan ijtihad sebagai sumber ketiga dari hukum Islam setelah al-Qur’an dan sunnah. Harun mengatakan bahwa pada hakikatnya ijtihadlah yang menjadi kunci dinamika Islam.5 Sebagai alat penggali hukum dan kunci dinamika Islam, ijtihad telah dipraktikkan sejak periode Nabi, periode sahabat, dan terutama banyak digunakan pada masa ta>bi‘i>n (generasi setelah sahabat) atau yang disebut periode ijtihad dan kemajuan Islam. Nabi sendiri apabila menghadapi masalah atau ada pertanyaan dari umat Islam ketika itu tentang pelbagai persoalan juga sering melakukan ijtihad. Pada periode sahabat, daerah yang dikuasai Islam bertambah luas dan termasuk di dalamnya daerah-daerah di luar semenanjung Arab yang telah mempunyai kebudayaan tinggi dan susunan masyarakat yang tidak sederhana dibandingkan dengan masyarakat Arabia ketika itu. Dengan demikian, tentu saja persoalan-persoalan kemasyarakatan yang timbul di daerah-daerah baru itu pada periode ini lebih sulit penyelesaiannya dari pada persoalan-persoalan yang timbul di masyarakat semenanjung 4

Lihat Satria Effendi M. Zein, Kata Pengantar, dalam M. Baqir al-Shadr dan Murtadha Muthahhari, Pengantar Ushul Fikih dan Ushul Fikih Perbandingan (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1993), cet. ke-1, 11. 5 Lihat Harun Nasution, ‚Ijtihad Sumber Ketiga Ajaran Islam,‛ dalam Haidar Baqir dan Syafiq Basri (ed), Ijtihad dalam Sorotan (Bandung: Mizan, 1988), cet. ke-1, 108.

25

Arabia sendiri. Guna mencari penyelesaian bagi persoalanpersoalan baru tersebut, para sahabat kembali kepada al-Qur’an dan sunnah yang ditinggalkan Nabi.6 Setelah periode sahabat, datanglah periode ijtihad dan kemajuan, yang masanya bersamaan dengan periode kemajuan Islam I (700-1000 M). Periode ini adalah masa ijtihad atau fatwa sahabat dan ta>bi‘i>n, atau disebut juga masa pembukuan fikih dan penyempurnaannya. Pada periode ini perluasan daerah Islam semakin bertambah. Sesuai dengan bertambah luasnya daerah Islam, pelbagai bangsa masuk Islam dengan membawa pelbagai macam adat-istiadat, tradisi dan sistem kemasyarakatan. Untuk mengatasinya, para ulama banyak mengadakan ijtihad. Ijtihad mereka berdasarkan atas al-Qur’an, sunnah Nabi, dan pendapat sahabat. Dengan demikian timbullah ahli-ahli hukum atau mujtahid yang disebut dengan ima>m atau faqi>h dalam Islam. Namun, setelah periode ijtihad dan kemajuan Islam, datanglah periode taklid dan penutupan ijtihad. Di abad ke-4 H (abad ke-9 M) bersamaan dengan mulainya masa kemunduran dalam sejarah kebudayaan Islam, maka berhentilah perkembangan hukum Islam.7 Dari fakta sejarah yang telah diungkapkan di atas membuktikan bahwa di periode ijtihad, perkembangan hukum Islam mengalami kemajuan yang sangat pesat dan melahirkan ulama-ulama mujtahid besar kenamaan. Hal ini disebabkan terutama karena para ulama pada waktu itu sangat giat dan bersemangat melakukan ijtihad dalam pelbagai persoalan yang dihadapi, terutama dalam bidang hukum Islam. Sebaliknya di periode taklid dan penutupan ijtihad, perkembangan hukum Islam dan ilmu-ilmu Islam lainnya terhenti, atau paling tidak mengalami stagnasi. Faktor utama penyebab terjadinya hal tersebut adalah karena terhentinya kegiatan ijtihad para ulama pada waktu itu dan meluasnya sikap taklid umat Islam kepada para ulama masa lampau serta ditutupnya pintu ijtihad oleh sebagian ulama. Jika sejak periode taklid pintu ijtihad dinyatakan tertutup dan berlangsung terus sampai sekarang, sedangkan masyarakat 6

Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: Bulan Bintang 1974), cet. ke-1, j. 2, 10. 7 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, 12-13.

26

terus berkembang dan mengalami pertumbuhan serta persoalanpersoalan baru terus bermunculan, terutama karena ditimbulkan oleh pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, niscaya persoalan-persoalan baru yang terus bermunculan itu tidak ada kepastian hukumnya atau bebas hukum. Padahal sudah disepakati oleh para pakar hukum Islam bahwa setiap peristiswa dan kejadian ada ketentuan-ketentuan hukumnya, baik berdasarkan nash yang tegas atau nash yang tidak tegas, maupun tidak berdasarkan nash. Oleh karena itu, untuk mendapatkan kepastian hukum bagi persoalan-persoalan baru yang terus bermunculan, sekaligus untuk mengembangkan hukum Islam itu sendiri agar tetap aktual dalam kehidupan masyarakat, maka pelaksanaan ijtihad di zaman sekarang ini dan untuk masa-masa mendatang mutlak diperlukan. Munculnya konsep ijtihad adalah karena adanya persentuhan ajaran Islam di satu pihak dengan tuntutan realitas kehidupan umat manusia di lain pihak. Oleh karena itu, hukum Islam yang kita warisi sampai akhir abad ini merupakan hasil konstruksi para fuqaha>’ selama tiga abad pertama setelah kelahiran Islam, sekaligus berasal dari sumber-sumber ilahiyyah fundamental Islam (Qur’an dan hadis), dan hukum Islam tersebut tidak lagi bercorak ilahiyyah karena ia adalah hasil tafsiran manusia terhadap sumber itu. Lagi pula proses konstruksi melalui tafsiran manusia ini terjadi dalam konteks historis spesifik yang sama sekali berbeda dengan masa kita.8 Tidak spesifik dan lengkapnya al-Qur’an dan hadis menjelaskan segala hal, bukan berarti mengurangi keagungan ajaran Agama Islam itu sendiri, melainkan -sebagaimana Iqba>l mengatakan- kesempurnaan agama Islam justru terletak pada nilainilai universal yang dikandungnya. Kesempurnaan agama juga pada kandungannya yang mendorong umat Islam untuk menggunakan kemampuan melakukan ijtihad. Oleh karena itu, kesempurnaan agama tidak dipahami bahwa agama telah mengatur segalanya, tetapi kesempurnaannya terletak pada nilai universal 8

‘Abdulla>hi Ah}med al-Na>‘im, Toward an Islamic Reformation; Civil Liberties, Human Right and International Law (New York: Syracuse University Press, 1990), 82.

27

yang dikandungnya dan peluang mujtahid untuk berijtihad atas dasar perintah agama.9 Dalam perjalanan sejarahnya sejak awal, hukum Islam atau fikih merupakan suatu kekuatan yang dinamis dan kreatif. Hal ini dapat dilihat dari munculnya sejumlah mazhab hukum yang memiliki corak sendiri-sendiri, sesuai dengan latar sosio-kultural dan politik di mana mazhab hukum itu tumbuh dan berkembang. Menurut Taufik Adnan Amal, perkembangan yang dinamis dan kreatif ini setidak-tidaknya didorong oleh empat faktor utama. Pertama, adalah dorongan keagamaan. Karena Islam merupakan sumber norma dan nilai normatif yang mengatur seluruh aspek kehidupan kaum Muslim, maka kebutuhan untuk membumikan norma dan nilai tersebut serta mengintegrasikan kehidupan kaum Muslim ke dalamnya selalu muncul ke permukaan. Demikian juga hukum Islam yang bersifat serba mencakup harus selalu dapat memberikan pemecahan terhadap problem-problem baru yang dihadapi masyarakat. Jadi, perubahan sosial memang merupakan sebab langsung terhadap perkembangan hukum Islam, akan tetapi perkembangan itu tidak bisa dilepaskan dari dorongan keagamaan yang ada dalam diri individu-individu yang terlibat di dalamnya, dan tentu saja intensitas pemahaman keagamaan mereka akan sangat menentukan hal ini. Dorongan keagamaan selalu eksis sepanjang sejarah Islam dan mengambil bentuk dalam konsep ijtihad yang secara tepat disebut oleh Iqba>l sebagai prinsip gerak dalam struktur Islam.10 Kedua, dengan meluasnya domain politik Islam pada masa khalifah kedua, ‘Umar ibn Khatta>b, terjadi pergeseran-pergeseran sosial yang pada gilirannya menimbulkan sejumlah besar problem baru sehubungan dengan hukum Islam. Ketiga, independensi para spesialis hukum Islam itu dari kekuasaan politik. Kemandirian ini telah menyebabkan mereka mampu mengembangkan pemikiran hukumnya tanpa mendapat rintangan, selaras dengan pemahaman masing-masing. Keempat, fleksibelitas hukum Islam itu sendiri Muh}ammad Iqba>l, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (New Delhi: Kitab Bhavan, 1981), 89. 10 Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas; Studi atas Pemikiran Hukum Fazlul Rahman (Bandung: Mizan, 1996), 33. 9

28

yang memampukannya untuk berkembang mengatasi ruang dan waktu.11 Yu>suf al-Qarad{a>wi> mengatakan bahwa kebutuhan kita terhadap ijtihad12 merupakan kebutuhan yang berkesinambungan, di mana realita kehidupan ini senantiasa berubah, begitu pula kondisi masyarakatnya yang senantiasa mengalami perubahan dan perkembangan. Terutama pada masa sekarang ini, kita sangat memerlukan ijtihad melebihi masa-masa sebelumnya, karena telah terjadi perubahan cukup besar dalam corak kehidupan masyarakat setelah lahirnya revolusi industri, perkembangan teknologi, dan hubungan-hubungan secara internasional. Ulama-ulama terdahulu menetapkan bahwa fatwa dapat berubah karena perubahan zaman, pada hal kehidupan zaman terdahulu rata-rata berlangsung teratur dan stabil. Perbedaan pendapat yang terjadi antara Abu> H{ani>fah dan kedua muridnya yaitu Muh}ammad al-Shaiba>ni> dan Abu> Yu>suf misalnya disebabkan perbedaan zaman, bukan disebabkan oleh perbedaan dalil dan argumentasi. Kalau mereka berbeda pandapat karena perbedaan zaman, lalu bagaimana dengan perbedaan zaman sekarang ini dibandingkan dengan masa hidup para mujtahid tempo dulu. Bahkan sejauh manakah perbedaan zaman sekarang dengan zaman para pakar fikih kontemporer seperti Ibnu ‘An al-H{anafi> (w. 1202 H), al-Sha>wi al-Ma>liki> (w. 1241 H) atau alShaukani> (w. 1255 H) seorang mujtahid mutlak, pada hal mereka hidup pada periode yang berdekatan dan tidak seperti zaman kita sekarang ini.13 Lanjut al-Qarad}a>wi>, kita memiliki kebutuhan dan menghadapi problem-problem yang belum pernah dihadapi oleh 11

Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas, 34-35. Menurut al-Qarad>a>wi>, ada dua bentuk ijtihad kontemporer yang bisa dilakukan untuk saat ini adalah; [1] Ijtiha>d intiqa>’i>, yaitu ijtihad dengan cara memilih pendapat ahli fikih terdahulu dalam masalah tertentu, seperti yang terdapat dalam kitab-kitab fikih klasik dengan menyeleksi mana yang paling kuat dalilnya dan lebih relevan untuk diterapkan dalam kondisi sekarang. [2] Ijtiha>d insha>’i>, yaitu mengambil konklusi hukum baru dalam suatu permasalahan yang belum pernah dikemukakan oleh para ulama fikih terdahulu. Lihat Yu>suf al-Qarad}a>wi>, al-Ijtiha>d fi> al-Shari>‘ah al-Isla>miyyah ma‘a Naz}ara>t Tah}li>liyyah fi> Ijtiha>d al-Mu‘a>s}ir (Kairo: Maktabah Wahbah, 1407 H/ 1987 M) 13 Yu>suf al-Qarad{a>wi>, al-Ijtiha>d al-Mua‘s}ir baina al-Inz}iba>t} wa al-Infira>t} (Kairo: Da>r Tauzi>‘ wa al-Nas}r al-Isla>miyyah, 1414 H/ 1994 M), cet. ke-2, 5-8. 12

29

orang-orang sebelum kita. Kita dituntut untuk berijtihad berkenaan dengan masalah kita, bukan mereka yang telah meninggal beberapa abad yang lalu berijtihad untuk kebutuhan zaman kita. Sekiranya mereka itu hidup pada zaman kita sekarang ini dan mereka menyaksikan pelbagai persoalan yang kita saksikan saat ini, mereka mungkin akan meninjau kembali pendapatpendapat mereka. Tidak mustahil juga mereka akan mengubah sebagaian besar ijtihad mereka, karena pendapat-pendapat mereka itu disampaikan pada zaman di mana mereka hidup saat itu, bukan untuk zaman kita sekarang ini. Bahkan kita melihat seorang imam mazhab seperti al-Sha>fi‘i> yang telah mengadakan perubahan terhadap ijtihadnya pada dua masa yang berdekatan, yaitu masa sebelum dan sesudah berdomisili di Mesir. Mazhab beliau itu dikenal dalam sejarah fikih, mazhab lama (qadi>m) dan mazhab baru (jadi>d).14 Dengan demikian, kebutuhan umat Islam kepada ijtihad merupakan kebutuhan abadi selama masih ada kejadian baru. Hal ini tidak berarti bahwa kita menganggap remeh dan memandang enteng terhadap keagungan fikih dari pelbagai mazhab, melainkan meletakkan fikih pada proporsinya, bahwa fikih hanyalah salah satu dari beberapa bentuk produk pemikiran hukum Islam. Karena sifatnya sebagai produk pemikiran, maka fikih tidak boleh resisten terhadap pemikiran baru yang muncul kemudian.15 Sejarah menunjukkan pada periode formulatifnya, fikih merupakan suatu kekuatan yang dinamis dan kreatif. Ia tumbuh dan berkembang sebagai hasil interpretasi terhadap prinsip-prinsip yang ada dalam al-Qur’an dan hadis sesuai dengan struktur dan konteks perkembangan masyarakat waktu itu, merupakan refleksi logis dari situasi dan kondisi di mana ia tumbuh dan berkembang. Kondisi yang demikian ini ditandai dengan munculnya mazhab yang mempunyai corak sendiri-sendiri. Mazhab H{anafi> bercorak rasional, Ma>liki> cenderung tradisional, Shafi‘i> yang moderat serta H{anbali> yang fundamental, bukan karena pembawaan kepribadian masing-masing, tetapi merupakan refleksi logis dari situasi dan Al-Qarad}a>wi>, al-Ijtiha>d al-Mu‘a>s}ir, 137-138. Muhammad Atho’ Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad; antara Tradisi dan Liberasi (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998), 92-93. 14 15

30

kondisi masyarakat di mana fikih itu tumbuh. Berdasarkan kenyataan inilah, ulama-ulama terdahulu menetapkan bahwa tidak dapat dipungkiri bahwa berubahnya hukum karena perubahan waktu.16 Fazlur Rahman mengatakan, ijtihad tidak sekedar kerja bahasa melalui seperangkat kaidah kebahasaan, sekalipun perangkat kerja kebahasaan ini sangat diperlukan juga. Kerja ijtihad tersebut memerlukan keterlibatan perangkat kerja sainssains kesejarahan untuk mengungkapkan tata kehidupan masyarakat Arab pra Islam dan masyarakat Muslim masa Nabi sebagai latar belakang sosiologis al-Qur’an dari segala aspek kehidupan aktual mereka, baik agama, politik, ekonomi, dan pranata sosial lainnya. Selain itu juga memerlukan keterlibatan sains-sains sosial modern untuk mengungkapkan situasi dan kondisi kehidupan aktual sekarang ini dalam segala aspek.17 Ibn Qayyim (w. 751 H) dalam kitabnya A‘la>m alMuwaqqi‘i>n mengafirmasi untuk berpikir bebas dalam menyingkap hukum-hukum syara‘ terhadap persoalan-persoalan yang termasuk dalam ranah ijtihad (z}anniyya>t), memberantas sikap taklid, fanatik mazhab, dan mempermainkan hukum agama melalui h}i>lah.18 Menurut Iqba>l,19 kemunduran umat Islam pada hakikatnya disebabkan oleh kebekuan dalam perkembangan pemikiran. Sebab 16

Abdul Halim, ‚Ijtihad Kontemporer; Kajian Terhadap Beberapa Aspek Hukum Keluarga Islam Indonesia,‛ dalam Ainurrofiq (ed), Mazhab Jogja; Menggagas Paradigma Ushul Fikih Kontemporer (Yogyakarta: Arruz Press, 2002) , 231. 17 Fazlur Rahman, ‚Toward Reformulating the Methodology of Islamic Law‛, New York University Journal of International Law and Politics, vol. 12, (1979), 227. 18 Ibn Qayyim al-Jauziyyah, A‘la>m al-Muwa>qi‘i>n ‘an Rabb al-‘An (Beiru>t: Da>r al-Jail, 1973), j. 1, 66. 19 Muh}ammad Iqba>l adalah seorang penyair dan filosof Muslim dari India yang juga dikenal sebagai bapak Negara Pakistan. Iqba>l adalah salah seorang pembaru Islam di India yang sangat berpengaruh, walaupun dalam beberapa hal dia berbeda dengan tokoh-tokoh pembaru lainnya di India. Ia lahir pada 1876 di Sialkot salah satu kota di Punjab, India. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah di Sialkot, Iqba>l melanjutkan pendidikannya ke Government College, sebuah perguruan tinggi di Lahore pada 1985. Di sini Iqba>l banyak belajar tentang esensi-esensi kebudayaan Islam, kesusasteraan dan

31

utama dari kebekuan tersebut adalah kehancuran Baghdad sebagai pusat dan simbol kebudayaan dan peradaban Islam abad ke-13 H. Akibatnya hukum dalam Islam telah sampai pada keadaan statis. Umat Islam hanya berpedoman pada hukum-hukum yang telah ditentukan oleh ulama terdahulu. Para ulama ortodoks berpendapat bahwa mengakui keabsahan ijtihad akan membuka pintu bagi munculnya penafsiran kembali secara perorangan dan timbulnya perpecahan. Lebih parah lagi mereka sampai pada kesimpulan bahwa pintu ijtihad telah ditutup dan tidak akan pernah dibuka kembali. Pengaruh zuhd yang terdapat pada ajaran tasawuf juga menjadi penyebab lain dari kemunduran ini, karena dalam praktiknya, zuhd harus memusatkan diri pada Tuhan dan apa yang ada di balik alam materi. Keadaan ini akhirnya membawa kepada kondisi umat yang kurang mementingkan soal kemasyarakatan dalam Islam.20 Islam pada hakikatnya mengajarkan dinamisme. Al-Qur’an sendiri menganjurkan pemakaian akal terhadap tanda-tanda yang terdapat dalam alam ini. Iqba>l menyatakan bahwa orang yang tidak peduli dan tidak memperhatikan tanda-tanda itu, akan buta terhadap masa yang akan datang. Konsep Islam mengenai alam adalah dinamis dan senantiasa berkembang. Kemajuan serta kemunduran dibuat Tuhan silih berganti di antara bangsa-bangsa yang mendiami bumi ini. Ini semua menurut Iqba>l mengandung arti dinamisasi. Prinsip yang dipakai Iqba>l dalam soal gerak dan perubahan itu adalah ijtihad. Konsep ijtihad menurut Iqba>l adalah ‚prinsip gerak dalam struktur Islam‛ (principle of movement in the structure of Islam). Iqba>l menganggap ijtihad suatu kemestian. Oleh karena itu, umat Islam harus terus-menerus melakukan ijtihad agar umat Islam maju dan berkembang sebagaimana pemikiran Barat. Atas dorongan dan bimbingan Thomas Arnold, ahli Islamologi terkenal, ia memperdalam filsafat Barat. Pada 1905, Iqba>l memasuki Universitas Cambridge, Inggris di bawah bimbingan Prof. Mac Taggart. Dua tahun kemudian ia melanjutkan studinya ke Universitas Munchen (Munich) Jerman. Di sini ia memperoleh gelar doktor dalam bidang tasawuf dengan disertasinya berjudul: ‛The Development of Metaphysics in Persia.‛ Lihat Wilfred Cantwell Smith, Modern Islam in India (Princeton: Princeton University Press, 1957), 17-118. 20 Iqba>l, The Reconstruction or Religious Thought in Islam,145.

32

bangsa-bangsa lain di dunia. Ia berprinsip bahwa pintu ijtihad selalu terbuka dan tidak pernah tertutup. Yang menyebabkan ijtihad tidak lagi berkembang adalah karena adanya keyakinan bahwa hukum Islam semuanya telah termaktub pada pendapatpendapat ulama tersebut dan telah terformulasi menjadi suatu mazhab yang diikuti serta menempatkan ide ijtihad penuh dengan pelbagai syarat yang hampir saja mustahil dilakukan seseorang.21 Demikianlah pendapat dan komentar para tokoh tentang urgensi ijtihad. Ijtihad adalah motor dinamisasi hukum dan kehidupan manusia. Dengan demikian, ijtihad adalah kebutuhan manusia sepanjang masa. B. Sejarah Pembaruan Ushul Fikih dari Masa ke Masa H}asan H{anafi>22 dalam bukunya Dira>sah Isla>miyyah menulis, hampir semua pakar konsensus menetapkan bahwa Muh}ammad ibn Idri>s al-Sha>fi‘i> (w. 204 H) adalah peletak dasar ilmu Ushul Fikih.23 Ilmu pengetahuan ini muncul dari dalam lingkungan Islam dengan perkembangan dialektik, kemunculan terminologiterminologi ilmu, tema-tema, dan bentuk-bentuknya yang tidak ada pengaruh eksternal sedikitpun. Setelah itu al-Dabbu>si> (w. 430 H) menulis Taqwi>m al-Adillah dan Ta’si>s al-Naz}ar. Dalam karya 21

Iqba>l, The Reconstruction or Religious Thought in Islam,147. H{asan H{anafi> adalah seorang pemikir hukum Islam dan profesor filsafat terkemuka di Mesir. Ia dilahirkan di Kairo tanggal 13 Februari 1956. Mengantongi gelar doktor dari La Sorbonne, salah satu universitas terkemuka di Prancis. Lihat H{asan H{anafi>, Qad}a>ya> Mu‘a>s}irah fi> Fikrina> al-Mu‘a>s}ir (Beiru>t: Da>r al-Tanwi>r li al-T{iba>‘ah al-Nashr, I983), 7. 23 Terjadi perbedaan pendapat mengenai siapa pendiri Ushul Fikih pertama kali. Ada pendapat yang mengatakan bahwa Ushul Fikih telah ada dan berkembang sejak sebelum al-Sha>fi‘i>. Al-Sha>fi‘i> hanya sebagai salah satu dari sejumlah ulama yang berperan dalam perkembangan Ushul Fikih, bukan sebagai pendiri. Lihat Mus}t}afa Ibra>hi>m al-Zalami>, Dala>lah al-Nus}u>s} wa T{uru>q Istinba>t} al-Ah{ka>m fi> D}au’ Us}u>l al-Fiqh al-Isla>mi> (Baghdad: Mat}ba‘ah Asad, 1398 H/ 1973 M), 4. Namun pendapat lain mengatakan bahwa al-Sha>fi‘i> adalah pendiri Ushul Fikih. Meskipun sebelumnya sudah ada Ushul Fikih, namun sebagai sebuah ilmu yang sistematis yang memenuhi syarat-syarat ilmu baru terbentuk pada masa al-Sha>fi‘i>. Lihat Abu> Zahrah, Ushu>l al-Fiqh (Kairo: Da>r al-Fikr al‘Arabi>, 1407 H/ 1987 H), 13. Lihat juga Muh}ammad Hashi>m Kamali>, Principle of Islamic Yurisprudence; The Islamic Text Society (Cambridge: 5 Green Street, 1991), 5. 22

33

itu, ilmu Ushul Fikih hadir sebagai kreativitas Islam murni. Kemudian Abu> al-H{asan al-Bas}ri> (w. 430 H) menulis al-Mu‘tamad fi> Us}ul> al-Fiqh. Beliau adalah satu-satunya yang menulis tentang ilmu Ushul Fikih Mu’tazilah pasca dominasi al-Ash‘ari (w. 324 H/935 M) dalam mayoritas karya-karya ilmu Ushul ini. Ibn H{azm (w. 456 H) menyusun al-Ih}ka>m fi> Us}ul> al-Ah}ka>m dengan bahasa retorika yang kuat, bentuk kritik yang dominan, penolakan terhadap ijma>‘ umum dan hanya menerima ijma>‘ sahabat, penolakan terhadap proses rasionalisasi (ta‘li>l) dan segala bentuk penalaran analogis (qiya>s), di antaranya adalah istih}sa>n, istis}ha>b, dan istis}la>h. Karya ini adalah representase Ushul Fikih z}a>hiri>. Ima>m H{aramain al-Juwaini> (w. 478 H) menyusun karya besar, yaitu al-Burha>n dan sebuah kitab kecil yang berjudul al-Waraqa>t. Al-Bazdawi> (w. 482 H) menulis Kashf al-Asra>r yang terkenal dengan nama Us}ul> al-Bazdawi>. Kitab ini didominasi oleh analisis prinsip-prinsip linguistik dan mengulangi materi-materi yang lalu. Al-Sarkhasi> (w. 483 H) menulis karya yang terkenal dengan nama Us}ul> al-Sarkhasi> sebagai representasi Usul Fikih mazhab H{anafi>.24 Al-Ghaza>li> (w. 505 H) menulis al-Mustas}fa fi> ‘Ilm al-Us}ul> al-Fiqh. Di dalam buku ini al-Ghaza>li> membantah sekte Mu‘tazilah dan Ushul Fikih rasional, walaupun dalam pengantarnya yang panjang berbicara tentang logika sebagai introduksi bagi ilmu ushul. Sebelumnya al-Ghaza>li> menulis Tadhhi>b al-Us}ul> sebagai buku yang detil dan al-Mankhu>l sebagai ringkasannya. Al-Ra>zi> (w. 606 H) menulis al-Mah}s}u>l. Sa‘ati> (w. 614 H) menulis Bada>i‘ al-Niz}a>m, dan Baid}a>wi> (w. 615 H) menulis Minha>j al-Wus}u>l yang di dalamnya diakumulasikan materi ilmu ushul, bahkan menambahkannya. Al-Asnawi> (w. 772 H) memberikan sharh kitab itu dalam karya Niha>yah al-Su>l. Al-A (w. 631 H) menulis al-Ih}ka>m fi> Us}ul> al-Ah}ka>m yang memuat materi fundamental dan banyak mengakumulasikan teks-teks klasik. Al-Qara>fi> (w. 684 H) menulis karya Anwa>r al-Buru>q alNawa>’ al-Furu>q. Demikian pula al-Dhakhi>rah sebagaimana halnya dengan al-Nasafi> (w. 710 H) yang menulis al-Mana>r mengulang materi klasik itu. Kemudian Ibn Qayyim al-Jauziyyah (w. 751 H) H{asan H{anafi>, Islamologi 1; Dari Teologi Statis ke Anarkis , Terj. Fuad Mustafid (Yogyakarta: Lkis, 2003), 102. 24

34

menulis A’la>m al-Muwaqqi‘i>n yang didominasi oleh fikih dan dikombinasikan dengan prinsip-prinsip dan teori-teori. Al-Subki> (w. 771 H) menulis al-Jam‘u al-Jawa>mi‘. Al-Sha>t}ibi> (w. 790 H) menulis karyanya yang terkenal yaitu al-Muwa>faqa>t fi> Us}ul> alShari>‘ah. Di dalamnya ia mereformasi ilmu Ushul Fikih dan mengajukan ide maqa>s}id shari>‘ah, yaitu tujuan-tujuan al-Sha>ri‘ dan tujuan orang yang menanggung beban hukum (mukallaf). AlZarkashi> (w. 794 H) menyusun al-Bah}r al-Muh}i>t} sebagai ensiklopedi fundamental yang besar, yang memuat semua hal yang telah dikatakan oleh pakar-pakar klasik. Ibn al-Huma>m (w. 861 H) menyusun al-Tah}ri>r, seperti halnya Ibn ‘Abdushshuku>r (w. 1119 H) yang menulis Musallam al-Thubu>t yang telah diberi sharh oleh al-Ans}a>ri> dalam karya Fawa>ti>h al-Rah}amu>t. Keduanya adalah sharh dari karya al-Bih}a>ri> (1110 H). Terakhir al-Shauka>ni> (w. 1255 H) menulis Irsha>d al-Fuh}u>l.25 Melalui kajian dan analisa secara komprehensif terhadap karya-karya Ushul Fikih ini, maka berikutnya bermunculan sejumlah karya-karya parsial yang memuat sebagian tema-tema Ushul Fikih seperti penalaran analogis (qiya>s), konsensus (ijma>‘) atau yang mengritisi logika Aristotelian dan menempatkan Ushul Fikih pada posisinya yang dipandang sebagai logika Islam.26 Pembaruan dalam Ushul Fikih terjadi dari dua bentuk, yaitu segi corak dan dari segi materi. Pembaruan dari segi materi ini bisa berupa penambahan referensi, perubahan kerangka, pendalaman pembahasan, perluasan objek kajian, dan lain-lain. Kata tajdi>d yang berarti pembaruan pertama kali dijumpai dari Rifa‘ah alT{ah}t}a>wi> (w. 1873 M) dalam bukunya al-Qaul al-Sadi>d fi> al-Tajdi>d wa al-Taqli>d yang dicetak di Mesir pada 1287 H, tiga tahun sebelum ia meninggal. Buku ini merupakan kumpulan tulisantulisannya di harian ‚al-Raud}ah.‛ Sedangkan ide pembaruan Ushul Fikih pertama kali muncul pada awal-awal abad ke-20, yaitu melalui karya para pengajar sekolah al-Qad}a>’ al-Shar‘i> dan Da>r al‘Ulu>m. Pembaruan pada saat itu adalah dari segi gaya bahasa dan metode pemaparan. Muh}ammad al-Hud}ari> (w. 1927 M) menulis sebuah buku berjudul Us}ul> al-Fiqh yang diterbitkan pertama kali 25 26

H{asan H{anafi>, Islamologi 1, 104. H{asan H{anafi>, Islamologi 1, 105.

35

pada 1911 M/ 1329 H. Sebelum itu, pada 1906 M/1324 H sebenarnya Sultan Muh}ammad ‘Ali> telah menulis buku Khula>s}ah al-Us}ul> , tapi dalam bentuk ringkasan yang diterbitkan oleh penerbit ‚al-Wa‘i>z}‛, Kairo. Generasi berikutnya yang melanjutkan cara ini adalah Muh}ammad Beik Ibra>hi>m, ‘Abdul Wahha>b Khalla>f (w. 1955 M), Muh}ammad Abu> Zahrah (w. 1974 M), dan lainnya. Hal ini dilanjutkan oleh ulama-ulama al-Azhar setelah seruan Syeikh Muh}ammad Muh}ammad al-Madini> kepada ulama Fakultas Syariah untuk menulis buku dan tidak lagi berpedoman pada metode pengajaran yang lama, di mana hanya berbentuk mutu>n dan shuru>h saja.27 Pembaruan seperti ini tidak mendapatkan kritikan yang berarti dari kalangan ahli Ushul Fikih, meskipun mereka meragukan efektivitasnya. Mereka melihat, pembelajaran dengan memakai tura>th lebih bagus karena detil dan banyak kandungan ilmunya. Kritik pertama kali dilakukan oleh Syeikh Muh}ammad Darra>z (w. 1351 H/1932 M), yaitu dengan menulis buku dengan judul al-Tah}qi>qa>t al-Shari>fah, sebagai komentar atas buku yang ditulis oleh Ibn Rajab (w. 795 H). Kemudian Syeikh Yu>suf alMurs}ifi> menulis beberapa buku yang merupakan khashyah bukubuku tura>th, seperti Bughyah al-Muh}ta>j Sharh Muqaddimah alIsnawi> li al-Minha>j, Hashyah ‘ala Kita>b al-Tah}ri>r, dan lainnya. Kemudian, Syeikh Najja>r menulis buku Hashyah ‘ala al-Isnawi> tentang qiya>s, Syeikh Muh}ammad Bakhit} al-Mut}i>‘i> yang menulis Hashyah al-Isnawi> sebanyak empat jilid. Demikianlah hingga sampai pada masa Syeikh Muh}ammad Abu> al-Nu>r Zuhair (w. 1987) yang menulis Mudhakkirah fi> Us}ul> al-Fiqh sebanyak empat jilid.28 Kalangan ulama al-Azhar dulu beranggapan bahwa pemikiran dalam masalah us}u>liyyah telah tuntas dan tidak ada lagi permasalan yang baru, karena semua yang mungkin untuk dibahas telah dibicarakan, sehingga tidak ada pilihan bagi yang merasa memiliki suatu yang baru tersebut kecuali menyandarkan kepada ulama-ulama terdahulu. Pembaruan mungkin ada hanya pada sisi 27

Lihat ulasan ‘Abdurrahma>n al-Maghribi> al-Athari> atas buku Qa>d}iyyah

Tajdi>d Us}u>l al-Fiqh karya ‘Ali> al-Jum‘ah. 28

Lihat ulasan ‘Abdurrahma>n al-Maghribi>.

36

uslu>b (gaya bahasa) saja atau seperti dalam persoalan-persoalan usu>liyyah yang memunculkan pendapat yang baru, baik karena memang belum ada yang membahasnya maupun karena selama ini belum tergali, tetapi sudah ada. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh ‘Abdulla>h ibn al-S{iddi>q al-Ghumari> (w. 1413 H) dalam bukunya Wa>d}ih al-Burha>n yang mengatakan bahwa di antara hukum-hukum takli>fi> yang lima yang bisa di-nasakh hanyalah wajib, haram, dan mubah. Sedangkan mandub dan makruh tidak bisa di-naskh.29 Sejarah Ushul Fikih telah berlangsung cukup panjang dan mungkin melelahkan bila diikuti dari awal hingga saat ini. Dalam perjalanan sejarahnya, Ushul Fikih secara ontologis terus mengalami perluasan wilayah kajian, secara metodologis telah muncul pelbagai ide dan teori, secara aplikatif telah memunculkan ratusan ragam bahkan ribuan produk hukum sebagai konsekuensi diferensiasi dalam pelbagai aspek, dan secara prospektif Ushul Fikih memiliki kans sangat besar untuk menjawab tantangan modernitas atau bahkan postmodernitas.30 Para ulama fikih pada periode permulaan, mereka masih menggunakan istilah-istilah yang berbeda-beda satu sama lain. Mereka dalam menetapkan hukum masih berpegang pada kaidah yang pada gilirannya dikenal dengan mas}al> ih} al-mursalah, yang hanya bertujuan menghasilkan manfaat dan menghindarkan kemudaratan yang tidak tercantum hukumnya dalam nash sebagai sumber utama syariat, serta tidak tercantum hukumnya secara spesifik. Selain itu, mereka juga mengambil langkah sadd alzari>‘ah (tindakan preventif), yaitu menutup sebagian persoalan mubah, apabila hal itu akan membuka jalan bagi tindakan yang haram bagi orang yang melakukannya.31 Di bagian Barat dunia Islam termasuk Spanyol, studi Ushul Fikih baru dimulai pada zaman Ibn H{azm. Sebelum itu mazhab Ma>liki> yang menguasai wilayah tersebut berada dalam situasi analog dengan keadaan bagian Barat dunia Islam sebelum periode 29

Lihat ulasan ‘Abdurrahma>n al-Maghribi>. Ainurrofiq, ‚Bagaimana dengan Mazhab Jogja?; Sebuah Impian di Siang Bolong,‛ dalam Ainurrofiq (ed), Mazhab Jogja, 18. 31 Muh}ammad ‘Ali> al-Sa>yis, Nash’ah al-Fiqh al-Ijtihad wa At}wa>ruh (Kairo: Silsilah Buhu>th al-Isla>miyyah, 1390 H/ 1970 M), 86. 30

37

al-Sha>fi‘i> (w. 204 H), yakni pemecahan hukum yang bersifat ad hoc dengan tipikal respons yang terlepas dari elaborasi teoritis. Jadi fungsi Usul Fikih sesungguhnya memberi koherensi logis terhadap pelbagai detil yang berserak-serak dan kemudian memberikan cara memasukkan detil baru ke dalam sistem koheren tersebut sehingga cap syar‘i dapat dilekatkan padanya. Selain itu, pengembangan konsep-konsep penting dalam Ushul Fikih relatif lamban. Konsep mas}lah}ah yang merupakan salah satu konsep hukum Islam, meskipun telah dimulai oleh al-Ghaza>li> (w. 505 H), namun baru di tangan al-Sha>t}ibi> (w. 790 H) mendapat artikulasi yang lebih jelas lagi. Namun dalam perjalanan selanjutnya sepeninggal beliau, mas}lah}ah kemudian segera menghilang selama beberapa abad dan baru dihimpun oleh fuqaha>’ modern.32 Dengan mengutip T{a>ha Ja>bir al-‘Alwa>ni>, Amin Abdullah mengatakan bahwa Ushul Fikih merupakan metodologi terpenting yang ditemukan oleh dunia pemikiran Islam dan tidak dimiliki oleh umat lain. Sebenarnya ilmu ini tidak hanya menjadi metodologi baku bagi hukum Islam saja, tapi merupakan metodologi baku bagi seluruh pemikiran intelektual Islam. Tapi sejarah pemikiran Islam telah mempersempit wilayah kerjanya hanya dalam wilayah pemikiran hukum saja.33 Dalam perjalanan sejarah ilmu ini, al-Risa>lah karya al-Sha>fi‘i> (w. 204 H) dianggap buku rintisan pertama tentang ilmu ini. AlRisa>lah yang penulisannya bercorak teologis-deduktif itu kemudian itu diikuti oleh para ahli ushul mazhab mutakallimi>n (Sha>fi‘iyyah, Ma>likiyyah, Hana>bilah, dan Mu‘tazilah). Sementara itu ulama H{ana>fiyyah memiliki cara penulisan tersendiri yang bercorak induktif-analitis. Baik al-Risa>lah, buku-buku ushul mazhab mutakallimi>n, maupun mazhab H{ana>fiyyah memiliki kesamaan paradigma, yaitu paradigma literalistik dalam arti begitu dominannya pembahasan tentang teks, dalam hal ini teks berbahasa Arab, baik dari segi grammar maupun sintaksisnya dan

32

Kamsi, ‚Peran Aksiologis Ushul Fikih dalam Konstruksi Akademis,‛ dalam Ainurrofiq (ed), Mazhab Jogja, 63. 33 Amin Abdullah, ‚Paradigma Alternatif Pengembangan Ushul Fikih dan Dampaknya pada Fikih Kontemporer,‛ dalam Ainurrofiq (ed), Mazhab Jogja, 118.

38

mengabaikan pembahasan tentang maksud dasar dari wahyu yang ada di balik teks literal.34 Paradigma ini berlangsung selama kurang lebih lima abad (dari abad ke-2 H sampai abad ke-7 H) dan baru mengalami perbaikan dengan munculnya al-Sha>t}ibi> (w. 790 H)35 pada abad ke-8 H. yang menambahkan teori maqa>s}id al-shari>‘ah yang mengacu pada maksud Allah yang paling dasar sebagai pembuat hukum (sha>ri‘, law giver). Dengan demikian, ilmu Ushul Fikih tidak lagi hanya terpaku pada literalisme teks.36 Ahli Ushul Fikih bermadzhab Ma>liki> dari Granada, Spanyol ini secara sistematis menulis tentang konsep maqa>s}id al-shari>‘ah. Konsep itu ditulis dalam kitabnya yang terkenal, al-Muwa>faqa>t fi> Us}ul> al-Ahka>m, khususnya pada bab yang beliau namakan kitab al-Maqa>s}id. Menurut al-Sha>t}ibi>, pada dasarnya syariat ditetapkan untuk mewujudkan kemaslahatan hamba (mas}a>lih} al-‘iba>d), baik di dunia 34

Amin Abdullah, ‚Paradigma Alternatif Pengembangan Ushul Fikih,‛ dalam Ainurrofiq (ed), Mazhab Jogja, 119. Komentar Jama>l Ba>ru>t tentang alRisa>lah adalah bahwa al-Sha>fi‘i> melakukan penggabungan dalam legislasi hukum sebagai hasil dari pertentangan dari dua aliran fikih sekaligus yaitu penafsiran bersandarkan pada hadis dan penafsiran secara rasional. Al-Risa>lah al-Sha>fi‘i> adalah solusi dari krisis fikih Islam yang terjadi saat itu. Merekonstruksi dan meletakkan dasar prinsip-prinsip yurisprudensi Islam, serta menjadikan nash (teks) sebagai dasar fundamental. Al-Sha>fi‘i> juga merupakan yang pertama kali mentranspormasikan fikih dari kungkungan tradisi menuju ruang yang lebih luas seperti industri, ilmu pengetahuan, dan prinsip-prinsip universal. Dengan demikian pengaruh al-Sha>fi‘i> sangat besar terhadap ilmu Ushul Fikih, sebagaimana penisbatan Aristoteles terhadap ilmu logika seperti dikatakan Fakhruddi>n al-Ra>zi>. Lihat Ah}mad al-Raishu>ni> dan Muh}ammad Jama>l Ba>ru>t, al-Ijtiha>d; al-Nas}, al-Wa>qi‘, al-Mas}lah}ah (Damaskus: Da>r al-Fikr, 1421 H/ 2000 M), 48. 35 Nama lengkapnya adalah Abu> Ish}a>q Ibra>hi>m ibn Mu>sa ibn Muh}ammad al-Lakhami> al-Gharnat}i>. Ia dilahirkan di Granada pada tanggal dan tahun yang belum ditemukan. Ia meninggal dunia pada hari Selasa tanggal 8 bulan Sya’ban 790 H. Tidak ditemukan informasi akurat tentang aktivitas belajarnya di lembaga formal, sekalipun masa itu telah ada Universitas Granada, yang menjadi pusat kajian ilmiah. Lihat. Duski Ibrahim, Metode Penetapan Hukum Islam; Membongkar Konsep al-Istiqra>’ al-Ma‘nawi> (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), 25-26. 36 Untuk lebih jelasnya lihat T{a>ha Ja>bir al-‘Alwa>ni>, Source Methodology in Islamic Yurisprudence, (Virginia: International Institute of Islamic Thought, 1994), 79-80.

39

maupun di akhirat. Kemaslahatan inilah dalam pandangan beliau, menjadi maqa>s}id al-shari>‘ah. Dengan kata lain, penetapan syariat, baik secara keseluruhan (jumlah) maupun secara rinci (tafs}i>l), didasarkan pada suatu ‘illah (motif penetapan hukum), yaitu mewujudkan kemaslahatan hamba.37 Untuk mewujudkan kemashlahatan tersebut, al-Sha>t}ibi> membagi maqa>s}id menjadi tiga tingkatan, yaitu: maqa>s}id d}aru>riyya>t, maqa>s}id h}a>jiyya>t, dan maqa>s}id tah}si>niyya>t. Secara substansial maqa>s}id al-shari>‘ah mengandung kemashlahatan, baik ditinjau dari maqa>s}id al-sha>ri‘ (tujuan Tuhan) maupun maqa>s}id almukallaf (tujuan mukallaf). Pengetahuan tentang maqa>s}id alshari>‘ah adalah hal yang sangat penting yang dapat dijadikan alat bantu untuk memahami redaksi al-Qur’an dan hadis, menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan, dan yang sangat penting lagi adalah untuk menetapkan hukum terhadap kasus yang tidak terakomodasi dalam al-Qur’an dan hadis secara kajian kebahasaan.38 Namun menurut Amin Abdullah, kehadiran al-Sha>t}ibi> sama sekali tidak menghapus paradigma literal, tapi ingin lebih melengkapinya agar ilmu ini dapat lebih sempurna memahami perintah Allah. Dalam perspektif filsafat ilmu, al-Sha>t}ibi> sebenarnya tidak melakukan apa yang menurut Thomas Kuhn39 disebut dengan pergeseran paradigma (paradigm shift), tapi lebih hanya melengkapi paradigma saja, agar tidak terlalu literalisik. AlSha>t}ibi> dalam perspektif Kuhn, sesungguhnya tidak melakukan perubahan revolusioner pada bangunan ilmu Ushul Fikih.40 Lanjut Amin, enam abad kemudian, sumbangan al-Sha>t}ibi> pada abad ke-8 H/ 14 M itu direvitalisasikan oleh para pembaru Ushul Fikih di dunia modern, seperti Muh}ammad ‘Abduh (w. 1905 M),41 Rashi>d 37

Abu> Isha>q al-Sha>t}ibi>, al-Muwa>faqa>t fi> Us}u>l al-Shari>‘ah (Beiru>t: Da>r alMa‘rifah, 1417 H/ 1997 M), j. 2, 324. 38 Al-Sha>t}ibi>, al-Muwa>faqa>t , 325. 39 Untuk lebih jelasnya lihat Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: The University of Chicago Press, 1970). 76. 40 Amin Abdullah, ‚Paradigma Alternatif,‛ dalam Ainurrofiq (ed), Mazhab Jogja, 119. 41 Pandangannya tentang pembaruan Ushul Fikih dituangkan dalam bukunya yang diedit oleh Muh}ammad ‘Ima>rah, 6 juz, (Beiru>t: al-Mu’assasah al‘Arabiyyah li al-Dira>sah wa al-Nashr, 1392 H/ 1972 M). Menurut Hallaq,

40

Ri>d}a (w. 1935 M),42 ‘Abdul Wahha>b Khalla>f (w. 1956 M),43 ‘Allal al-Fa>si> (w. 1973 M),44 dan H{asan al-Tura>bi>.45 Sebelum al-Sha>t}ibi>, ahli Ushul Fikih yang tidak kalah fenomenal adalah Najmuddi>n al-T{u>fi>.46 Ulama abad ke-8 H (abad ke-14 M) ini menguraikan konsep kemaslahatan manusia (human welfare). Dalam semua hubungan kemanusiaan, baik masalah hukum, sosial, maupun politik, al-T{u>fi> menetapkan dan membela pendapat yang memandang kemaslahatan manusia harus atau mesti memiliki prioritas pertimbangan di atas semua bentuk teksteks keagamaan, baik al-Qur’an maupun hadis. Begitu juga sumber-sumber lain yang dipandang sebagai hukum oleh mazhabmazhab hukum tradisional, seperti konsensus (ijma>‘) dan analogi (qiya>s) yang didasarkan atas interpretasi-interpretasi hukum atas teks.

Muh}ammad ‘Abduh dianggap sebagai tokoh pembaru penting yang meletakkan dasar bagi ide-ide pembaruan modern. Sumbangannya adalah membangkitkan suatu ideologi yang penting untuk menyusun dan memperbaiki ide-ide hukum. Postulat utama teologi ‘Abduh adalah dipengaruhi oleh pemikiran Mu‘tazilah yang menyatakan bahwa akal mampu membedakan antara baik dan buruk, benar dan salah. Lihat Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories: An Introduction to Sunni Us}ul Fiqh (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), cet. ke-3, 314. 42 Pemikiran pembaruan ushulnya dapat dijumpai dalam karyanya Yusr Isla>m wa Us}u>l al-Tashri‘ al-‘Am (Kairo: Mat}ba‘ah Nahd}ah Mis}r, 1392 H/ 1972 M). 43 Lihat karyanya Mas}a>dir al-Tashri>‘ fi> ma> la> Nas}s}a fi>h (Kairo: Da>r alKita>b al-‘Arabi>, 1390 H/ 1970 M). 44 Lihat karyanya Maqas}i>d al-Shari>‘ah al-Isla>miyyah wa Makarimuha (Casablanca: Maktabah al-Wahdah al-‘Arabiyyah, 1391 H/ 1971). 45 Amin Abdullah, ‚Paradigma Alternatif,‛ dalam Ainurrofiq (ed), Mazhab Jogja, 121. 46 Nama lengkapnya adalah Najmuddi>n Abi> al-Rabi>‘ Sulaima>n ibn ‘Abd al-Qawiy ibn ‘Abdul Kari>m ibn Sa‘i>d al-T{u>fi>. Menurut riwayat, ia dilahirkan di Taufa sekitar pada 675 H/ 1276 M. dan meninggal di Palestina sekitar tahun 716 H/ 1316 M. Sumber lain menyebutkan bahwa ia lahir pada 657 H. Lihat ‘Abdullah Muh}ammad al-H{usain al-‘A, al-Thufi’s Refutation of Traditional

Muslim Juristic Sources of Law and His Viewe on the Priority of Regard for Human Welfare as the Highest Legal Sources or Principle (Canada: McGill University, 1993), 29.

41

Al-T{u>fi> menunjukkan bahwa teks al-Qur’an atau hadis ada yang bertentangan satu sama lain.47 Al-T{u>fi> juga mengatakan, bahwa para pengikut masing-masing mazhab hukum tradisional telah mengarang-ngarang format hadis sendiri yang mereka nisbatkan kepada Nabi untuk membela dan mengunggulkan para imamnya masing-masing dan mencela imam mazhab yang lain.48 Al-T{u>fi> berkesimpulan, baik teks maupun sumber hukum tradisional yang lain, seperti konsensus (ijma>‘) hukum dan analogi (qiya>s), merupakan sumber hukum yang memaksa, baik secara rasional maupun secara hukum. Sumber hukum tersebut bisa dipertimbangkan hanya ketika bersesuaian dengan perlindungan dan penghargaan terhadap kemaslahatan manusia. Sebab menurutnya, perlindungan terhadap kemaslahatan manusia merupakan sumber atau prinsip hukum paling tinggi dan paling kokoh, yang merupakan tujuan utama agama dan poros utama dari maksud syariah (qut}b maqa>shid al-shari>‘ah).49 Dengan demikian, perlindungan atau penegasan terhadap kemaslahatan dalam masalah-masalah hukum lebih didahulukan atas pertimbangan hukum lainnya. Artinya, ia memiliki prioritas atas seluruh sumber-sumber hukum tradisional, temasuk alQur’an, sunnah, ijma>‘, baik dari masyarakat Muslim atau para ahli mazhab-mazhab hukum, yang secara aktual tidak pernah terjadi dalam sejarah. Konsekuensi dari pandangannya tersebut, otoritas tertinggi atau hakim agung dari masalah hukum, sosial dan kemaslahatan politik manusia adalah manusia itu sendiri, yakni intelegensia dan akalnya. Sebab menurutnya, kemaslahatan hukum dan sosial manusia dapat diketahui melalui akal, pengalaman hidup, atau pengetahuan yang merupakan karunia Allah secara alami. Karena itu al-T{u>fi> mengatakan bahwa meninggalkan atau meremehkan pengetahuan bawaan manusia, berarti meremehkan intelegensi dan pengalaman hidup manusia sebagai pedoman untuk meraih kemaslahatan hukum, politik atau sosial. Al-T{u>fi> juga mengatakan 47

Najmuddi>n Abi> al-Rabi>‘ Sulaima>n ibn ‘Abd al-Qawiy ibn ‘Abdul Kari>m ibn Sa‘i>d al-T{u>fi>, Sharh} al-‘Arba‘i>n al-Nawawiyyah (Kairo: Da>r alKutub al-Misriyyah, t.t), 35. 48 Al-T{u>fi>, Sharh} al-‘Arba‘i>n al-Nawawiyyah, 38. 49 Al-T{u>fi>, Sharh} al-‘Arba‘i>n al-Nawawiyyah, 21.

42

bahwa baik nash maupun sumber hukum tradisional lain, termasuk ijma>‘, secara rasional bukanlah sumber hukum yang meyakinkan. Ijma>‘ hanya diperhitungkan dalam pandangannya hanya ketika bersesuaian dengan perlindungan terhadap kemaslahatan manusia.50 Lanjut al-T{u>fi>, teks itu tidak hidup dan hanya sekedar simbol-simbol bahasa, sebagaimana semua bahasa, bukan sesuatu yang riil atau aktual di dalam dirinya. Paling jauh teks hanya dapat menunjuk kepada fakta atau kebenaran yang ada di dalamnya. Adapun ijma>‘, jika didasarkan sebagaimana seharusnya, yaitu pada perlindungan terhadap kemaslahatan manusia, berarti ia sesuai dengan tuntutan akal dan tujuan syariat.51 Dengan kata lain, ijma>‘ sebagaimana teks dapat diperkenankan dalam masalah-masalah hukum, tetapi hanya ketika bersesuaian dengan perlindungan terhadap kemaslahatan manusia dalam logika. Tidak boleh mengatakan bahwa hukum agama, yakni teks-teks lebih mengetahui kemaslahatan manusia, oleh sebab itu ia harus diambil dari sumber-sumber tersebut, sebab kemaslahatan manusia adalah salah satu dari prinsip-prinsip hukum agama. Kemaslahatan sesungguhnya adalah prinsip-prinsip yang paling kokoh dan paling spesifik.52 Tidak seperti kemaslahatan dalam hukum dan kehidupan duniawi manusia, al-T{u>fi> mempersilahkan kemaslahatan keagamaan dan masalah ibadah diputuskan atau dibimbing oleh teks agama. Jika semua itu bertentangan, maka wajib memprioritaskan perhatian pada kemaslahatan manusia di atas nash dan ijma>‘ melalui jalan takhs}i>s} dan baya>n terhadap keduanya, tidak melalui penundaan keduanya dan membatalkan validitasnya, sebagaimana sunnah diprioritaskan atas al-Qur’an karena sunnah adalah penjelas bagi al-Qur’an tersebut.53 Walaupun demikian, mereka dianggap tidak menawarkan teori baru kecuali merevitalisasi prinsip maslah}ah. Wael B. Hallaq

50

Al-‘A, al-Thufi’s Refutation of Traditional Muslim Juristic Sources of Law, 98. 51 Al-T{u>fi>, Sharh} Mukhtasar al-Raud}ah, 55-57. 52 Al-T{u>fi>, Sharh} al-‘Arba‘i>n al-Nawawiyyah, 48. 53 Al-T{u>fi>, Sharh} Mukhtasar al-Raud}ah, 59.

43

mengategorikan para pembaru di bidang ushul ini ke dalam kelompok utilitarianisme agama.54 C. Rekonstruksi Metodologi Ushul Fikih Modern Mengapa para ahli hukum Islam kontemporer gagal dalam merumuskan formulasi hukum Islam yang sesuai dengan situasi dan kondisi pada saat ini? Di mana letak permasalahannya? Apa yang semestinya dilakukan? Menurut para teoritis hukum Islam, satu permasalahan krusial yang menghambat upaya pembaruan atau reformulasi hukum Islam yang diharapkan itu adalah karena miskinnya metodologi. Para ahli hukum Islam masih mengandalkan metodologi istinba>t55 } hukum lama yang sebenarnya dalam beberapa aspek sudah tidak lagi memadai. Berdasar analisis tersebut, langkah terpenting yang harus dilakukan apabila hendak melakukan pembaruan formulasi hukum Islam yang dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan, situasi, dan kondisi yang ada pada saat ini adalah harus menengok pula keberadaan metodologi istinba>t} hukumnya (Ushul Fikh). Karena itu mungkin Ushul Fikihlah yang menjadi letak permasalahannya, yakni perangkat keilmuan di dalamnya sudah tidak mampu menjelaskan dan menyelesaikan kompleksitas permasalahan hukum yang muncul.56 Pertanyaan krusial yang sama juga diajukan oleh al-Na>‘im yang mengatakan, memadaikah membuka pintu dan menggunakan ijtihad namun tetap di dalam kerangka prinsip-prinsip syariah yang ada? Apakah penggunaan ijtihad sekarang akan mampu memecahkan problem fundamental kaitannya dengan hukum publik syariah yang disoroti dalam studi ini tanpa menentang struktur syariah secara keseluruhan sebagaimana telah dibangun oleh para ahli hukum perintis?57 54

Hallaq, A History of Islamic Legal Theories, 316 Secara bahasa, kata istinba>t} (‫ )اﺴتنباﻄ‬berarti mengambil air dari mata air. Adapun menurut istilah syara‘ adalah menggali dan menetapkan hukum berdasarkan pengertian yang diambil dari nash dengan mengerahkan segala kemampuan dan kesungguhan. Lihat Muh}ammad al-Jurja>ni>, Kita>b Ta’ri>fa>t (Singapura: Jeddah al-Haramain, t.t), 22. 56 Amir Mu’allim dan Yusdani, Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer (Yogyakarta: UII Press, 2005), cet. ke-2, 43. 57 Al-Na>‘im, Toward and Islamic Reformation, 46. 55

44

Masa pembentukan hukum Islam dan perkembangannya sudah berlalu sekian abad yang lalu. Sejak abad ke-4 H., di mana telah terjadi suatu perubahan besar dalam masyarakat Muslim. Masalah yang dihadapi bukan hanya masalah perubahan sosial, tapi juga perubahan kebutuhan dalam pelbagai bentuknya yang selalu minta jawaban. Banyak masalah baru yang belum ada padanannya pada masa Rasulullah dan mazhab fikih terbentuk, yang semua itu merupakan tantangan berat bagi hukum Islam. Pelbagai sikap dalam menghadapi tantangan itu dapat diikuti dalam pelbagai literatur dan diskusi-diskusi ilmiah. Satu pihak secara ketat berpegang kepada tradisi dan penafsiran-penafsiran yang diwariskan oleh ulama-ulama mujtahid terdahulu yang ada dalam kitab fikih, sedangkan pihak lain berpendapat bahwa berpegang erat saja kepada penafsiran-penafsiran terdahulu tidak akan cukup dalam menghadapi perubahan sosial yang terjadi di abad modern ini. Penafsiran-penafsiran hendaklah diperbaharui sesuai dengan situasi dan kondisi masa kini. Di sisi lain kita melihat bahwa fikih Islam terbentuk berlandaskan kepada metodemetode istinba>t} yang telah dirumuskan oleh para mujtahid terdahulu. Oleh sebab itu, untuk mengevaluasi fikih, tidak dapat tidak kita harus mendalami metode istinba>t} tersebut. Bahkan lebih dari pada itu, untuk mengevaluasi fikih perlu diadakan peninjauan ulang kembali terhadap metode-metode yang digunakan oleh para mujtahid adalah penting untuk dilakukan. Jika tidak demikian, maka setiap usaha pembaruan yang dilandaskan kepada metode yang sama, hasilnya pun tidak akan jauh berbeda. Di situlah terbentuknya usaha pembaruan fikih Islam.58 Menyikapi hal ini, al-Na>‘im mengatakan bahwa dalam upaya menjawab tuntutan dan permasalahan yang dihadapi masyarakat era industrilisasi, maka perlu merumuskan kembali metodologi ijtihad untuk memperoleh teoritisasi hukum Islam dari al-Qur’an dan hadis. Kumpulan teoritisasi yang merupakan hasil kristalisasi dari pemahaman utuh atas al-Qur’an dan sunnah harus diterapkan dalam kehidupan kaum Muslimin dewasa ini dengan 58

Satria Effendi M. Zen, ‚al-Muwafaqa>t fi> Us}u>l al-Shari>‘ah Karya alShat}ibi>; Suatu Kajian tentang Pembaruannya dalam Ushul Fikih,‛ Ahkam No. 2 (Pebruari 1999), 24-25.

45

mempertimbangkan situasi lokal di mana prinsip-prinsip tersebut akan diaplikasikan.59 Selama kita tetap memakai kerangka kerja yurisprudensi syariah (Ushul Fikih) masa lalu, menurut al-Na>‘im kita tidak akan pernah benar-benar mencapai tingkat pembaruan dalam hukum publik Islam untuk konteks sekarang. Al-Na>‘im berkesimpulan bahwa apabila Ushul Fikih klasik tetap dipaksakan sebagai kerangka istinba>t} hukum, maka akan melahirkan problem yang amat serius. Sebagai alternatif, al-Na>‘im mendukung konsep naskh yang dikemukakan oleh gurunya, Mah}mu>d T{a>ha.60 Komentar-komentar dari kalangan modernis tersebut, selain mengidentifikasi sisi-sisi kelemahan pada metode klasik, mereka juga memberikan tawaran-tawaran atau teori-teori baru sebagai upaya pembaruan teori yurisprudensi hukum Islam (Ushul Fikih) agar selalu dapat memberikan nilai guna atau jawaban yang serasi dengan konteks zamannya. Inilah watak dan ciri ilmu yang tidak pernah mengalami finalisasi, karena itu bersifat terbuka atau inklusif, sehingga cocok untuk diangkat ke permukaan dan diapresiasi kembali untuk memecahkan persoalan keagamaan kontemporer. Upaya agar teks suci dapat dipahami dan kemudian dijalankan dalam konteks dunia modern -sebagaimana yang disebutkan oleh Wael B. Hallaq- juga ditawarkan oleh pemikir seperti Muh}ammad T}aha, Fazlur Rahman, Muh}ammad Shahru>r, dan Muh}ammad Arkoun. Hallaq menamakan kelompok ini dengan aliran liberalisme keagamaan (religious liberalism), karena coraknya yang liberal dan cenderung membuang teori-teori Ushul Fikih lama. Menurut Hallaq, upaya pembaruan di bidang ushul dari kelompok kedua ini dianggapnya lebih menjanjikan dan lebih persuasif. Kelompok ini dalam rangka membangun metodologinya ingin menghubungkan antara teks suci dan realitas dunia modern lebih berpijak pada upaya melewati makna eksplisit teks untuk menangkap jiwa dan maksud luas dari teks.61 Untuk lebih jelasnya,

59

al-Na>‘im, Toward an Islamic Reformation, 186. al-Na>‘im, Toward an Islamic Reformation, 88. 61 Hallaq, A History of Islamic Legal Theories, 214. 60

46

gagasan pembaruan para liberalis religious ini, berikut penulis paparkan pokok-pokok pikiran mereka: 1. Konsep Naskh Mah}mu>d Muh}ammad T{a>ha Mah}mu>d Muh}ammad T{a>ha62 menyerukan agar kembali ke ayat-ayat Makkiyah karna ayat-ayat Makkiyah mengandung nilai-nilai universal, tidak seperti ayat-ayat Madaniyyah yang sudah bercorak partikular. Mahmu>d T{ah> a mengajukan metodologi pembaruan yang revolusioner, yang ia gambarkan sebagai evolusi legislasi Islam, yang esensinya suatu jalan untuk membangun prinsip penafsiran baru yang memperbolehkan penerapan ayat-ayat al-Qur’an dan sunnah.63 Premis dasar T{a>ha adalah suatu pengujian secara terbuka terhadap al-Qur’an dan hadis yang melahirkan dua tingkat atau tahap risalah Islam, yaitu periode awal Makkah dan periode Madinah. Pesan Makkah menurutnya merupakan pesan Islam yang abadi dan fundamental, yang menekankan martabat inheren pada seluruh umat manusia, tanpa membedakan jenis kelamin (gender), keyakinan keagamaan, ras, dan lain-lain. Pesan ini ditandai dengan persamaan antara laki-laki dan perempuan dan kebebasan penuh untuk memilih dalam beragama dan keimanan. Sedangkan pesan Madinah adalah kompromi praktis dan realistik, ketika tingkat tertinggi dari pesan Makkah tidak dapat diterima oleh masyarakat sejarah abad ke-7 M. Oleh karena itu, kalau ayat-ayat yang turun dalam periode Makkah dapat disebut sebagai ayat-ayat universal-

62

Tidak ada data yang menyebutkan secara pasti mengenai tanggal dan tahun kelahirannya. Bahkan, ia sendiri tidak mengetahui tanggal dan tahun kelahirannya secara pasti. Akan tetapi, data yang dianggap kurang valid menginformasikan bahwa ia dilahirkan antara 1909 atau 1911 di kota Rufa>’ah, kota kecil di sebelah Timur Blue Nile, Sudan Pusat. Pendidikan teknik ia rampungkan di Universitas Khartoum, pada 1936, yang pada waktu itu masih bernama Gordon Memorial College. Lihat. Mah}mu>d Muh}ammad T{a>ha, Syariah Demokratik, Terj. Nurrachman (Surabaya: LSAD, 1996), 27. 63 Gagasan tentang konsep naskh ini ditulis oleh Mah}mu>d T{a>ha dalam Bahasa Arab dengan judul al-Risa>lah al-Tha>niyah min al-Isla>m yang kemudian diterjemahkan oleh muridnya ‘Abdulla>hi Ah}med al-Na>‘im ke dalam Bahasa Inggris dengan judul The Second Message of Islam.

47

egaliterian-demokratik, maka ayat Madinah dapatlah dinamai ayat-ayat sektarian-diskriminatif.64 Ketika secara umum masyarakat belum siap untuk melaksanakannya, maka pesan yang lebih realistik pada masa Madinah diberikan dan dilaksanakan. Dengan demikian, aspekaspek pesan periode Makkah yang belum siap untuk diterapkan dalam praktik pada konteks sejarah abad ke-7 M., ditunda dan diganti dengan prinsip-prinsip yang lebih praktis yang diwahyukan dan diterapkan selama masa Madinah. Aspekaspek pesan Makkah yang ditunda itu tidak akan pernah hilang sebagai sebuah sumber hukum. Ia hanya ditangguhkan pelaksanaannya dalam kondisi yang tepat di masa depan.65 2. Teori Double Movement Fazlur Rahman Pembaruan Fazlur Rahman66 ini dilatarbelakangi oleh bentuk pendekatan pemahaman terhadap al-Qur’an dan sunnah lewat pendekatan a historis, literalis dan atomistis yang disebut dengan doktriner normatif deduktif. Pendekatan semacam ini menurutnya telah menceraikan atau menyirnakan nilai alQur’an dan sunnah dari akar kesejarahannya serta mereduksi keduanya menjadi kompendia yang terdiri atas bagian-bagian yang terisolasi dan terpilah-pilah.67 Fazlur Rahman berpendapat tidak lagi cukup memadai untuk menggunakan teori fikih dan Ushul Fikih tentang qat}‘iyya>t dan z}anniya>t. Ia menawarkan istilah ideal moral dan legal spesifik sebagai pembagian awal tradisi Islam. Hal inilah yang mendorong Fazlur Rahman mencari jalan keluar yang dapat dipertanggungjawabkan secara intelektual dan ilmiah, yaitu dengan pendekatan doble movement atau gerak ganda 64

Lihat al-Na>‘im, Toward an Islamic Reformation, 90. Lihat al-Na>‘im, Toward an Islamic Reformation, 88-89. 66 Fazlur Rahman lahir pada 21 September 1919 di Malak yang letaknya di Hazara sebelum terpecahnya India, kini merupakan bagian dari Pakistan. Ia wafat pada 26 Juli 1988 di Chicago, Illinois Amerika Serikat. Strata Satu dan Masternya ia selesaikan di Punjab University. Sedangkan doktoralnya diselesaikannya di Oxford University, Amerika Serikat. Lihat Ibrahim Moosa, Revival and Reform in Islam (Oxford: Oneworld Publication, 2000), 3-4. 67 Lihat Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas, 186. 65

48

dengan langkah-langkah sebagai berikut; gerakan pertama dari dua gerakan metodis, yang terdiri dari dua langkah pada dasarnya merupakan penjabaran dari tiga pendekatan pemahaman dan penafsiran al-Qur’an, yakni pendekatan historis, isi (content), dan sosiologis. Rumusan gerakan pertama tersebut sebagai berikut; [1] Memahami arti dan makna suatu pernyataan (ayat) dengan mengkaji situasi atau problem historis di mana pernyataan al-Qur’an tersebut merupakan jawabannya. [2] Mengeneralisasikan respons-respons spesifik tersebut dan menyatakan sebagai ungkapan-ungkapan yang memiliki tujuan moral-sosial umum yang disaring dari ungkapan-ungkapan ayat spesifik berdasarkan latar belakang sosio-historis dan ‘illah hukum yang disebutkan. Ide pokok yang terkandung dalam gerakan pertama adalah penerapan metode berpikir induktif, yaitu berpikir dari ayat-ayat spesifik menuju kepada prinsip. Dengan kata lain, berpikir dari aturanaturan legal spesifik menuju kepada moral sosial yang bersifat umum yang terkandung di dalamnya. Adapun gerakan kedua, merupakan upaya perumusan prinsip-prinsip umum, nilai-nilai, dan tujuan-tujuan al-Qur’an yang telah disistematisasikan melalui gerakan pertama, terhadap situasi dan kasus aktual kontemporer.68 Dua gerakan Rahman tersebut dianggap akan menghasilkan keputusan-keputusan hukum yang baru jika dibandingkan dengan ketetapan fikih yang telah lebih dahulu dirumuskan oleh fuqaha>’, atau bahkan menghasilkan keputusan hukum yang menyimpang, sedikit atau banyak dari aturanaturan yang terkandung secara tekstual dalam ayat-ayat hukum, namun tidak mungkin akan menghasilkan keputusan hukum yang menyimpang dari prinsip umum al-Qur’an.

68

Fazlur Rahman, ‚Toward Reformulating the Methodology of Islamic Law‛, New York University Journal of International Law and Politics (1979): 221-224. Lihat juga Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, Terj. Anas Mahyudin, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1995), 7-10.

49

3. Teori Batas Muh}ammad Shahru>r Muh}ammad Shahru>r69 mempopulerkan ‚teori batas‛ (Naz}ariyyah al-H{udu>d) yang terinspirasi dari ilmu-ilmu kealaman dalam memahami perintah-perintah Tuhan dalam kitab suci. Secara umum, ‚teori batas‛ dapat digambarkan sebagai berikut; terdapat ketentuan Tuhan yang diungkapkan dalam al-Qur’an dan sunnah yang menetapkan batas bawah (alh}ad al-adna) dan batas atas (al-h}ad al-a‘la) bagi seluruh perbuatan manusia. Batas bawah merupakan batas minimal yang dituntut oleh hukum dalam kasus tertentu, sedangkan batas atas adalah batas maksimalnya. Perbuatan hukum yang kurang dari batas minimal dianggap tidak sah, demikian pula yang melebihi batas maksimal. Ketika batas-batas ini dilampaui, maka hukuman harus dijatuhkan menurut proporsi pelanggaran yang terjadi. Jadi manusia dapat melakukan gerak dinamis di dalam batas-batas yang telah ditentukan. Di sinilah menurut Shahru>r letak kekuatan hukum Islam. Dengan memahami teori ini, maka akan dapat dilahirkan jutaan ketentuan hukum darinya.70 Berdasarkan kajiannya terhadap ayat-ayat hukum, Shahru>r menyimpulkan adanya enam bentuk dalam teori batas; Pertama, ketentuan hukum yang hanya memiliki batas bawah (al-h}ad al-adna). Ini terjadi dalam hal; macam-macam perempuan yang tidak boleh dinikahi (QS. al-Nisa>’ 22-23), jenis-jenis makanan yang diharamkan (QS. al-Ma>’idah: 3, QS. al-An‘a>m: 145-156), hutang-piutang (QS. al-Baqarah: 283-284), 69

Muh}ammad Shahru>r adalah pemikir liberal asal Syiria. Ia dilahirkan pada 11 April 1938. Mengawali pendidikannya pada Sekolah Dasar dan menengah di al-Midan di sebelah Selatan Damaskus. Pada 1957 ia dikirim ke Saratow, dekat Moskow untuk belajar Teknik Sipil hingga tahun 1964. Sepuluh tahun kemudian (tahun 1968) ia dikirim kembali untuk belajar di luar negeri, yaitu di Universitas College di Dublin untuk memperoleh gelar MA dan Ph.D di bidang Mekanika Tanah dan Teknik Pondasi hingga 1972. Kemudian ia diangkat sebagai Professor jurusan Teknik Sipil di Universitas Damaskus. Lihat Kata Pengantar oleh Andreas Christman dalam Dirasa>h Isla>miyyah Mu‘a>sirah; Nah}wa Us}u>l al-Jadi>d edisi Bahasa Indonesia, terj. Sahiron Syamsuddin (Yogyakarta: Elsaq Press, 2004), 18-19. 70 Lihat Muh}ammad Shahru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n; Qira>’ah Mu‘a>s}arah (Damaskus: al-Aha>b li al-T}iba>‘ah li al-Nas}r wa al-Tauzi>‘, 1992), 472.

50

dan tentang pakaian wanita (QS. al-Nisa>’: 21). Kedua, ketentuan hukum yang hanya memiliki batas atas (al-h}ad ala‘la). Ini terjadi pada tindak pidana pencurian (QS. al-Ma>i’dah: 38) dan pembunuhan (QS. al-Isra>’: 33, QS. al-Baqarah: 178, QS. al-Nisa>’ 92). Hukuman potong tangan bagi pencuri misalnya merupakan hukuman yang paling berat sehingga tidak boleh memberikan hukuman yang lebih berat dari itu, tetapi bisa memberikan hukuman lebih rendah. Ketiga, ketentuan hukum yang memiliki atas dan bawah sekaligus, seperti berlaku pada hukum waris (QS. al-Nisa>’: 11-14, dan 176) dan poligami (QS. al-Nisa>’: 3). Keempat, ketentuan hukum di mana batas bawah dan batas atas berada pada satu titik. Ini berarti tidak ada alternatif hukum lain, tidak boleh kurang dan tidak boleh lebih dari yang telah ditentukan. Bentuk ketentuan ini hanya berlaku pada hukuman zina, yaitu seratus kali jilid (QS. al-Nu>r: 2). Kemudian berdasarkan ayat 3-10 dari surat yang sama, hukuman tersebut hanya dapat dijatuhkan dengan syarat adanya 4 orang saksi atau melalui li‘an. Kelima, ketentuan yang memiliki batas atas dan bawah tetapi kedua batas tersebut tidak boleh disentuh, karena dengan menyentuhnya berarti telah terjatuh pada larangan Tuhan. Hal ini berlaku pada hubungan pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang dimulai dari tidak saling menyentuh sama sekali antara keduanya (batas bawah) hingga hubungan yang hampir atau mendekati zina. Jadi, jika antara laki-laki dan perempuan melakukan perbuatan yang mendekati zina tetapi belum berzina, maka keduanya berarti belum terjatuh pada batas-batas (h}udu>d) Allah, karena zinalah yang merupakan batas-batas yang ditetapkan Allah yang tidak boleh dilanggar oleh manusia. Keenam, ketentuan hukum yang memiliki batas atas dan bawah, di mana batas atasnya bernilai positif (+) dan tidak boleh dilampaui sedangkan batas bawahnya bernilai negatif (-). Batas bawah ini boleh dilampaui yaitu dengan pelbagai bentuk sedekah, disamping zakat. Adapun posisi di tengah-tengah antara batas atas yang positif dan batas bawah yang negatif adalah nilai nol,

51

yakni dalam bentuk pinjaman kebajikan (al-qard} al-h}asan), memberi pinjaman tanpa memungut bunga (riba).71 Dengan teori batas yang diajukannya, ia meyakini bahwa risalah Muh}ammad akan betul-betul terbukti sebagai rahmah li al-‘a>lami>n dan s}a>lih} li kulli zama>n wa maka>n, karena berdasarkan teori hukum ini hukum-hukum Islam memiliki dinamika dan elastisitas yang sangat tinggi untuk menerima pelbagai bentuk perubahan zaman dan tempat dalam batasbatas tertentu. Di samping itu ia juga meyakini bahwa risalah ini memiliki sifat dasar yang sama dengan yang dimiliki oleh setiap benda di alam semesta, termasuk manusia, yang selalu bergerak dinamis dalam batas-batas tertentu, sehingga diyakini bahwa Islam akan hidup akan dapat hidup terus hingga hari kiamat. 4. Muh}ammad Arkoun Muh}ammad Arkoun72 menyatakan bahwa kenyataan Islam yang dialami masyarakat Muslim dewasa ini telah dikuasai oleh nalar islami yang memiliki karakter logosentris. Ada beberapa ciri yang menunjukkan adanya kenyataan itu. Pertama, nalar Islam dikuasai oleh nalar dogmatis dan sangat terkait dengan kebenaran abadi (Tuhan) yang tentu saja lebih bersifat estetis-etis daripada ilmiah. Kedua, nalar yang bertugas untuk mengenali kembali kebenaran (fungsi akal) telah menjadi sempit dan hanya berkutat di dalam wilayah tempat kelahirannya saja, misalnya bidang metafisika, teologi, moral, dan hukum. Ketiga, nalar hanya bertitik tolak dari rumusanLihat Shahru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n, 453-464. Lihat juga Amin Abdullah, ‚Paradigma Alternatif,‛ dalam Ainurrofiq (ed), Mazhab Jogja, 136. 72 Arkoun lahir pada 2 Januari 1928 dalam keluarga biasa di perkampungan Berber yang berada di sebuah desa di kaki gunung TaorirtMimoun, Kabilia, sebelah Timur Aljir, Aljazair. Pendidikan dasar Arkoun ditempuh di desa asalnya, dan kemudian melanjutkan sekolah menengah di kota pelabuhan Oran, sebuah kota utama di Aljazair bagian Barat, yang jauh dari Kabilia. Kemudian, Arkoun melanjutkan studi Bahasa dan Sastra Arab di Universitas Aljir (1950-1954). Arkoun melanjukan studi S3 nya tentang Bahasa dan Sastra Arab di Universitas Sorbonne, Paris, Prancis. Lihat Suadi Putro, Muh}ammad Arkoun, Tentang Islam dan Modernitas (Jakarta: Paramadina, 1998), cet. ke-1, 16-18. 71

52

rumusan umum dan menggunakan metode analogi, implikasi dan oposisi. Keempat, data-data empiris digunakan secara sederhana dan terus dikaitkan dengan kebenaran transendental, serta dimaksudkan sebagai alat legitimasi bagi penafsiran serta menjadi alat apologi. Kelima, pemikiran Islam cenderung menutup diri dan tidak melihat aspek kesejarahan, sosial, budaya dan etnik, sehingga cenderung dijadikan sebagai satusatunya wacana yang harus diikuti secara seragam dan taklid. Keenam, pemikiran Islam lebih mementingkan suatu wacana yang lahir di dalam ruang bahasa yang terbatas, sesuai kaidah bahasa dan cenderung mengulang-ulang sesuatu yang lama. Selain itu, wacana batin yang melampaui batas-batas logosentris, dalam arti kekayaan spiritual, cenderung diabaikan.73 Dari kondisi sedemikian ini, Arkoun mencoba melontarkan pemikirannya yang bercorak kritik epistemologis, dan membebankan beberapa tugas kepada kaum intelektual Muslim, termasuk dirinya sendiri. Pertama, melakukan klarifikasi historis terhadap kesejarahan umat Islam dan membaca al-Qur’an kembali secara benar dan baru. Kedua, menyusun kembali seluruh syariah sebagai sistem semiologis yang merelevankan wacana al-Qur’an dengan sejarah manusia, di samping sebagai tatanan sosial yang ideal. Ketiga, meniadakan dikotomi tradisional (antara iman dan nalar, wahyu dan sejarah, jiwa dan materi, ortodoksi dan heterodoksi dan sebagainya) untuk menyelaraskan teori dan praktik. Keempat, memperjuangkan suasana berpikir bebas dalam mencari kebenaran agar tidak ada gagasan yang terkungkung di dalam ketertutupan baru atau di dalam taklid.74 Namun bagaimanapun juga, tawaran pembaruan Ushul Fikih oleh mereka yang disebut Hallaq dengan kaum liberalis itu tetap saja menyisakan sejumlah kontroversi dan perdebatan. Tawaran itu hingga saat ini masih ditanggapi oleh mayoritas ulama ushul secara negatif bahkan penuh kecurigaan. Akar utama penyebab kontroversi itu adalah karena tawaran mereka tidak memiliki 73 74

Suadi Putro, Muh}ammad Arkoun, 38. Suadi Putro, Muh}ammad Arkoun, 14.

53

landasan kuat pada kerangka teoritik (theoritical frame) ilmu ushul yang telah ada sebelumnya. Padahal perkembangan suatu ilmu tidak harus berjalan secara evolutif yang selalu berpijak pada teori lama tapi bisa saja dengan cara revolutif, di mana sama sekali tidak berpijak pada teori-teori yang ada sebelumnya, tapi menawarkan sebuah paradigma yang sama sekali baru. Perkembangan ilmu semacam ini –dengan meminjam istilah Kuhndisebut ‚gestalt swich‛ atau ‚gestalt shift‛ atau pergeseran paradigma (paradigm shift) yang sangat dikenal dalam filsafat ilmu pengetahuan kontemporer.75 Demikianlah tanggapan dan konsep yang ditawarkan oleh para reformis Islam, khususnya pemikiran para liberalis agama. Dalam menanggapi gagasan pembaruan hukum Islam memang tidak seragam. John L. Esposito memetakan respon umat Islam terhadap pembaruan. Pertama, golongan yang menolak atau menarik dari realitas modernitas. Kedua, golongan yang menerima modernitas.76 Rahman mengatakan bahwa untuk kajian hukum Islam kedepan, kita harus berani melakukan proses dekonstruksi (pembongkaran) secara bertanggungjawab terhadap seluruh bangunan pemikiran hukum Islam klasik dan abad pertengahan, dengan tetap mengacu kepada sumber utama Islam; al-Qur’an dan hadis, tetapi dengan mempertimbangkan secara kritis situasi peradaban manusia di akhir abad ke-20 ini. Setelah proses dekonstruksi dilakukan dengan cara yang sangat hati-hati, maka dimulai dengan hati-hati pula melakukan proses rekonstruksi (pembangunan kembali) teoritisasi ijtihad dalam rangka menentukan hukum Islam yang tepat guna, aktual dan proporsional bagi kepentingan masyarakat.77 ‘Abdul H{ami>d Sulaima>n mengatakan bahwa berdasarkan defenisi Ushul Fikih yang dikemukakan oleh ahli ushul memberikan kesan bahwa hukum dalam Islam hanya dapat dicari 75

Amin Abdullah, ‚Paradigma Alternatif,‛ dalam Ainurrofiq (ed),

Mazhab Jogja, 121. 76

Jhon L. Esposito, Islam and Politics (New York: Syracuse University Press, 1985), 302-303. 77 Fazlur Rahman, Major Themes of The Qur’an (Chicago: Bibliotheca Islamica, 1980), 129.

54

dari teks-teks wahyu saja (law in book). Sementara realitas sosial empiris yang hidup dan berlaku di masyarakat (living law) kurang mendapat tempat yang proporsional di dalam kerangka metodologi hukum klasik. Lemahnya analisis sosial empiris (lack of empirism) inilah yang disinyalir oleh banyak pihak menjadi satu kelemahan dari cara berpikir dan pendekatan dalam metode penemuan hukum Islam selama ini.78 Menurut Atho’ Mudzhar, kemandegan pemikiran fikih di dunia Islam adalah karena kekeliruan menetapkan pilihan dari pasangan-pasangan pilihan tersebut atau kekeliruan dalam menentukan bobot masing-masing pilihan. Dalam upaya mereaktualisasi hukum Islam, khususnya fikih, hukum Islam harus dipandang sebagai produk dominan akal ketimbang wahyu. Oleh karena itu fikih boleh dirubah bahkan dibuang pada setiap saat. Fikih harus dipandang sebagai varian suatu keragaman yang bersifat partikularistik yang terikat oleh waktu dan tempat. Fikih harus dikembangkan dari yurisprudensi pengadilan yang bertumpu pada realisme. Fikih harus dilihat sebagai mata rantai perubahan yang tak henti-hentinya tanpa harus dipertanyaakan keabsahannya.79 Demikianlah di antara para tokoh berikut gagasan formulasi yang ditawarkan oleh para tokoh tersebut. Masing-masing mereka berangkat dari konsideran yang sama –walaupun dengan formulasi yang berbeda-beda- yaitu kegelisahan bagaimana agar Islam bisa menjawab modernitas yang ada, sehingga Islam tidak terisolasi dari komunitas dunia modern. Pemikir-pemikir kontemporer tersebut berpendapat bahwa pembaruan ilmu Ushul Fikih tidak semata-mata pada tataran sistematika atau penulisan, tetapi juga pada tataran substansial. Artinya, baik dari segi aspek paradigma yang dipakai maupun kaidah-kaidah yang tercakup dalam ilmu Ushul Fikih saat ini perlu

78

‘Abdul H{ami>d Abu> Sulaima>n, Towards an Islamic Theory of International Relation; New Direction for Methodology and Thought (Virginia: International Institute of Islamic Thought, 1994), 43-45. 79 Muhammad Atho’ Mudzhar, ‚Fikih dan Reaktualisasi Ajaran Islam‛, dalam Budhi Munawar Rahman (ed), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta: Yayasan Paramadina, 1995), 372-374.

55

direinterpretasi dan dikembangkan sedemikian rupa sesuai dengan kebutuhan zaman.

56

BAB III BIOGRAFI DAN INTELEKTUALITAS H{ASAN AL-TURAn dalam karya monumentalnya, Muqaddimah mengungkapkan ‚al-Rajul ibn bi’atih‛ (seseorang adalah anak zaman lingkungannya).1 Tesis Ibn Khaldu>n di atas agaknya relevan bila kita jadikan sebagai pijakan untuk mengetengahkan sosok dari sudut sosio-kultural, pendidikan, dan kondisi politik yang melatarbelakangi ide-ide proyek al-Tura>bi> ini. A. Riwayat Hidup H{asan al-Tura>bi> Nama lengkapnya adalah H{asan ‘Abdulla>h Daf‘ulla>h alTura>bi>.2 H{asan al-Tura>bi> lahir di Provinsi Kassala, Sudan Timur, pada 1 Februari 1923. Ayahnya adalah seorang hakim di Pengadilan Agama. Ia belajar tentang hukum, Bahasa Arab, dan membaca al-Qur’an langsung kepada ayahnya. Belajar prinsipprinsip hukum dan aliran-aliran hukum mulai dikenalnya ketika masih belajar di institusi agama sembari juga belajar di institusi sekuler. Kakeknya bernama Muh}ammad Nahlan ibn Muh}ammad al-Ba>dir, seorang Sufi yang terkenal dengan kezuhudan dan kesalehannya di Sudan. Al-Tura>bi> diasuh dan dibesarkan di lingkungan religius yang memadukan antara aspek isoteris dan sufisik. Lingkungan inilah yang memengaruhi cara pandangan politik dan paham keagamaannya.3 Ia tamat dari Fakultas Hukum Universitas Khartoum pada 1955, menyelesaikan pendidikan master bidang hukum di London 1

‘Abdurrahman ibn Khaldu>n, Muqaddimah ibn Khaldu>n (Iskandaria: Da>r Ibn Khaldu>n, t.t), 30. 2 D{iyā Rashwān (ed), The Spectrum of Islamist Movements (Kairo: Markaz al-Dira>sah al-Siya>sa>t wa al-Istira>tijiyya>t, 2007), vol. 1, 375. 3 Rashwān (ed), The Spectrum of Islamist Movements, 375. Lihat juga Lihat Shaul Shay dan Rachel Liberman, The Red Sea Terror Triangle; Sudan, Somalia, Yemen, and Islamic Terror (USA: Interdiciplinary Center Herliza Project, 2007), 27.

57

pada 1957, dan memperoleh gelar Ph. D dari Sarbonne University, Paris pada 1964. Disertasinya berjudul ‚Emergency Power in Anglo-Saxon and French Law.‛ Ketika di Prancis, ia mendirikan organisasi perhimpunan mahasiswa Islam, yang diberi nama dengan singkatan AEIF. Al-Tura>bi> banyak menguasai bahasa asing, di antaranya Arab, Inggris, Prancis, dan Jerman. Ia menikah dengan Wisal al-Mahdi>, saudara kandung S{a>diq al-Mahdi>. S{a>diq adalah pemimpin Ansa>r, yaitu sebuah gerakan sosial yang dibentuk oleh para pendukung Mahdi> dan Partai Umma.4 Pada usia anak-anak ia sudah hafal Qur’an. Ia banyak menulis buku, baik berbahasa Arab, Inggris, maupun Prancis. Ia pun juga banyak membaca karya-karya orientalis.5 Al-Tura>bi> menjadi Dekan Fakultas Hukum Universitas Khartoum. Jabatan ini ia tinggalkan ketika ia menjadi anggota parlemen dan Sekretaris Jenderal Islamic Charter Front (Jabh}ah alMi>tha>q) pada Desember 1964, sebagai cabang dari al-Ikhwa>n alMuslimu>n. Ia juga pernah menjadi pendorong penyelesaian konflik di Sudan Selatan.6 Pada 1969, setelah berlangsungnya kudeta oleh kaum kiri, untuk pertama kalinya ia mendekam di penjara Sudan hingga 1977, ketika dia memilih perjanjian rekonsiliasi nasional dengan Numeiri. Ia menjadi Jaksa Agung dari 1979 hingga 1982 dan menjadi kepala penasihat masalah-masalah hukum dan luar negeri hingga Maret 1985. Al-Tura>bi> dan pemuka-pemuka gerakan Islam lainnya kemudian dijebloskan ke penjara ketika rezim Numeiri jatuh. Pada 1988, Front Nasional Islam, yang dipimpin oleh alTura>bi> berkoalisi dengan pemerintahan S{a>diq al-Mah}di> dan menghantarkannya menjadi Jaksa Agung, lalu deputi Perdana 4

Antoine Sfeir, The Colombia World Dictionary of Islamism (New York: Colombia University Press, 2007), 361. Lihat juga Rashwān (ed), The Spectrum of Islamist Movements, 375. Lihat juga Lihat Shay dan Liberman, The Red Sea Terror Triangle, 27. 5 H{asan al-Tura>bi, Qad}aya> al-Tajdi>d Nah}wa Manhaj Us}u>li> (Beiru>t: Da>r al-Ha>di, 1421 H/ 2000 M), cet. ke-1, 5. Lihat juga John L. Esposito dan John O. Voll, Tokoh-tokoh Kunci Gerakan Islam Kontemporer, Terj. Sugeng Harianto, dkk (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), 141. 6 Antoine Sfeir, The Colombia World Dictionary of Islamism, 361. Rashwān (ed), The Spectrum of Islamist Movements, 375. Lihat juga Lihat Shay dan Liberman, The Red Sea Terror Triangle, 27.

58

Menteri, dan Menteri Luar Negeri. Ia juga pernah menjadi Sekretaris Jenderal Kongres Islam Khartoum yang beranggotakan partai-partai, kelompok-kelompok, dan tokoh gerakan nasionalis Islam yang berasal dari 55 negara Muslim dan Barat. Al-Tura>bi> dipandang sebagai tokoh gerakan Islam internasional sekaligus seorang pemikir terkemuka. Kontribusi karya-karyanya dalam pemikiran Arab hingga Islam modern berawal dari Women in Islam dan The Prayer yang terbit di akhir 1960-an dan karyanya, The Islamic Movement in Sudan, pada 1989.7 Di negerinya, Sudan, H{asan al-Tura>bi> dikenal sebagai sosok pemikir, ulama-intelektual, sekaligus politikus terkemuka. Pada Februari 2001, ia ditahan atas tuduhan berkhianat kepada negara. Sebagai pemimpin partai oposisi Popular Nasional Congress (PNC), ia telah menandatangani kesepakatan saling pengertian dengan John Garang de Mabior, pemimpin gerakan pemberontak Kristen bersenjata di Sudan Selatan SPML/A (Sudan People’s Liberation Movement/ Army). Tuduhan ini kurang bukti sehingga lebih dari delapan belas bulan pengadilan belum membuka kasusnya. Orang kemudian percaya bahwa alasan penahannya adalah karena dia dianggap cukup ’mengganggu’ pemerintahan alBashi>r. Meskipun ia dipenjara, banyak kalangan percaya bahwa dia adalah pemimpin Sudan yang sebenarnya sejak berdirinya Republik Islam Sudan.8 Makalahnya tentang kaum wanita dan kedudukan komunitas non Muslim di negara-negara Islam telah diterjemahkan dan diterbitkan dalam Bahasa Inggris. Dia juga menyumbang satu bab tentang negara Islam bagi Islam and Development, sebuah buku yang disunting oleh John L. Esposito. Benang merah pemikiran alTura>bi> berkisar pada usaha membangkitkan pemikiran Islam dan menjawab tantangan maupun problem pasca modernitas. Baginya, pembaruan pada dasarnya merupakan ekspresi dinamis dari isi maupun transendensi akar-akar, kepercayaan-kepercayaan, dan kesadaran sosial.9 7

Lihat Bashi>r Na>fi‘, Pengantar Diskusi dalam H{asan al-Tura>bi>, al-Tajdi>d al-Fikr al-Isla>mi> (Kharthoum: Da>r al-Qara>fi> li al-Nashr wa al-Tauzi>‘, 1413 H/ 1993 M), 166. 8 Bashi>r Na>fi‘, dalam H{asan al-Tura>bi>, al-Tajdi>d al-Fikr,167. 9 Bashi>r Na>fi‘, dalam H{asan al-Tura>bi>, al-Tajdi>d al-Fikr,168.

59

Karya-karya al-Tura>bi> antara lain;Women in Islam and

Moslem Society, The Prayer, The Islamic Movement in Sudan, alIn wa Atha>ruha> fi> al-H{aya>h, al-Muslim baina al-Wujda>n wa alSult}a>n, al-Wih}dah al-Dimuqra>t}iyyah wa al-Fann, al-H{arakah alIsla>miyyah wa al-Tah}di>th, Tajdi>d al-Fikr al-Isla>mi>, Tajdi>d Us}ul alFiqh al-Isla>mi>, Qad}a>ya> al-Tajdi>d Nah}wa Manhaj Us}u>li>, dan lainlain. Dalam karyanya Tajdi>d al-Fikr al-Isla>mi> dan Qad}a>ya> alTajdi>d Nah}wa Manhaj Us}ul> i> secara esensial mengulangi gagasan yang ia jelaskan dalam Tajdi>d Us}ul> al-Fiqh al-Isla>mi>. Buku yang terakhir ini merekam pelbagai refleksi pemikiran al-Tura>bi> dalam hukum Islam. Menurutnya, agama adalah integrasi idealitas dan realitas sehingga meskipun bersumber wahyu ilahi yang absolut dan abadi, agama mestilah merakyat dan dinamis. Ia menekankan sifat fikih Islam dalam pengertian yang luas agar berpihak kepada rakyat dan bersifat demokratis. Oleh karena itu, ijma>‘ sebagai sumber hukum selain al-Qur’an dan sunnah adalah konsensus semua masyarakat Islam dan bukan semata hak para ahli fikih yang cenderung elitis. Al-Tura>bi> juga mengangkat isu penting sekitar revitalisasi fikih dan Ushul Fikih, ijtihad, musyawarah, dan demokrasi, hingga revolusi budaya dan politik. Yang menarik, sebagai seorang pemikir, dia telah melakukan eksperimen integrasi fikih Islam ke dalam konstitusi negara. Hasilnya, pada 1983, Sudan resmi menjadi negara Islam dengan syariat Islam sebagai konstitusi negara. B. Al-Tura>bi> dan al-Ikhwa>n al-Muslimu>n Al-Ikhwa>n al-Muslimu>n di Sudan awalnya dibawa oleh kalangan mahasiswa Sudan yang belajar di Kairo, Mesir pada 1940-an. Pelopor pertamanya antara lain adalah Jama>luddi>n alSanhuri> dan S{a>diq ‘Abdulla>h ‘Abdul Maji>d. H{asan al-Tura>bi> juga memiliki keterkaitan dengan al-Ikhwa>n al-Muslimu>n yang didirikan oleh H{asan al-Banna> tersebut. Pada 1946, mereka diutus oleh gerakan di Mesir untuk merekrut anggota di Sudan. Para aktivis Sudan ini dilatih di Mesir yang dipersiapkan untuk

60

melawan munculnya komunis di Sudan.10 Al-Tura>bi> sendiri mengenal organisasi al-Ikhwa>n al-Muslimu>n ini semenjak ia masih awal-awal belajar di bangku perkuliahannya (S1). Al-Tura>bi> pernah menyampaikan kekagumannya terhadap manhaj (flatform), visi, dan misi organisasi ini dalam pendidikan keagamaan. Ia juga kagum terhadap wawasan keislaman para petingginya, dan organisasi ini memiliki ciri khas yang tidak dimiliki oleh organisasi keagamaan lainnya. Menurutnya, organisasi seperti inilah yang dibutuhkan pada masa sekarang.11 Mereka berhasil mendirikan cabang di beberapa kota kecil pada 1947-1949, tetapi dilarang bertindak secara terbuka kecuali apabila menyatakan tidak terkait dengan al-Ikhwa>n al-Muslimun Mesir, karena pada waktu itu al-Ikhwa>n al-Muslimu>n Mesir tidak diperbolehkan. Pada pertengahan 1960-an, al-Ikhwa>n al-Muslimu>n semakin kuat di Sudan. Organisasi itu masuk sejak akhir 1940-an sebagai tanggapan terhadap munculnya nasionalisme dan Partai Komunis Sudan. Ketika itu al-Ikhwa>n al-Muslimu>n sedang gencar melancarkan kampanye anti komunis yang berkuasa pada saat itu, dan al-Tura>bi> terlibat dalam peristiwa tersebut.12 Pada Oktober 1964, al-Ikhwa>n al-Muslimu>n mendirikan Islamic Charter Front (ICF) dan al-Tura>bi> sebagai Sekretaris Jenderalnya. Pada 1965-1968, ICF bekerjasama dengan basis S{a>diq al-Mahdi> di Partai Ummah dalam rangka kampanye anti komunisnya dan menganjurkan berlakunya Undang-undang Islam.13 Ketika al-Tura>bi> kembali ke Sudan pada 1964, al-Ikhwa>n alMuslimu>n sedang gencar melancarkan kampanye anti pemerintahan komunis yang berkuasa. Salah satu aksi pertama alTura>bi> ketika sekembalinya ke Sudan adalah melakukan serangan langsung terhadap pemerintahan Abboud. Peran al-Tura>bi> amat menonjol dalam menggerakkan demonstrasi ini. Hal ini 10

Mervyn Hiskett, The Course of Islam in Africa (Britain: Edinburg University Press, 1994), 87. 11 Al-Tura>bi>, Qad}aya> al-Tajdi>d, 5. 12 Abdel Wahhab el-Affendi, Turabi’s Revolution; Islam and Power in Sudan (London: Grey Seal, 2005), 70. 13 John L. Esposito (ed), The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World (New York: Oxford University, 1995), vol. 4, 284.

61

menempatkan al-Ikhwa>n al-Muslimu>n Sudan pada posisi yang cukup terkenal di tengah-tengah perkembangan demonstrasi yang akhirnya mengakibatkan jatuhnya Abboud pada Oktober 1968.14 C. Lingkungan Sosial dan Politik Sudan Al-Tura>bi> adalah aktivis pendukung syariah yang menjalani pendidikan hukum di Universitas Khartoum, diikuti dengan suatu training khusus dalam hukum publik di universitas-universitas Inggris dan Prancis. Karena latar belakang pendidikannya ini ia akrab dengan isu-isu mendasar tentang konstitusionalisme, peradilan kriminal, dan hukum internasional.15 Pada 1970-an, ketika legitimasi pemerintahan Numeiri rapuh, rekonsiliasi dengan kelompok Islam dilakukan. Numeiri membebaskan al-Tura>bi> dari penjara, bahkan ditunjuk sebagai Hakim Agung. Dengan jabatan ini al-Tura>bi> memiliki kesempatan untuk mengkaji ulang hukum-hukum yang telah ada untuk disesuaikan dengan syariah. Al-Tura>bi> memandang ini sebagai kesempatan yang baik. Ia mengajak rekan-rekannya untuk masuk ke dalam pemerintahan, termasuk terlibat lebih banyak di angkatan bersenjata dan di bank-bank Islam yang baru didirikan. Menurut Peterward, langkah yang diambil al-Tura>bi> ini amat taktis, meskipun ia adalah seorang yang memegang teguh pada prinsip-prinsip Islamnya. Motif al-Tura>bi> bergabung dalam rekonsiliasi nasional ini adalah untuk memengaruhi pemerintah yang sedang berkuasa. Dengan demikian ia dapat membangun kemajuan organisasinya, walaupun untuk tujuan itu ia harus masuk ke dalam lingkungan politik Sudanese Socialist Union.16 Dengan masuknya al-Tura>bi> dalam pemerintahan Numeiri, memuluskan diterapkannya hukum Islam pada September 1983 oleh Numeiri. Al-Tura>bi> menjadi pendukung utama islamisasi Sudan ini. Tetapi karena yang dijalankan lebih bersifat ‘Islam Numeiri,’ di mana di dalam pelaksanaan di lapangan cenderung 14

Al-Tura>bi>, Qad}aya> al-Tajdi>d, 6. ‘Abdulla>hi Ah}med al-Na>‘im, Toward an Islamic Reformation; Civil Liberties, Human Right and International Law (New York: Syracuse University Press, 1990), 65. 16 Peterward, Sudan 1898-1989 The Unstable State (London: Lester Crook Academic Publishing, 1990), 182. 15

62

lebih bersumber pada keputusan Numeiri, bukan legislatif, maka islamisasi tersebut gagal. Pemerintahan koalisi pun bubar, alTura>bi> kembali dipenjarakan. Tetapi kali ini tidak lama, sebab pemerintahan Numeiri jatuh pada 1985.17 Setelah keluar dari penjara, al-Tura>bi> membentuk Front Islam Nasional (al-Jabhah al-Isla>miyyah al-Qaumiyyah/ National Islamic Front/ NIF) sebagai kenderaan politik utamanya pada April 1985. Dengan NIF ini, al-Tura>bi> kembali unjuk kekuatan pada pemilihan umum 1986 melalui pemilu demokratis yang berhasil menaikkan S{a>diq al-Mahdi> ke kursi kekuasaan. NIF ternyata mampu menjadi partai ketiga terbesar di parlemen, sekaligus sebagai kekuatan oposisi utama, setelah Partai Ummah dan Partai Persatuan Demokratik (DUP).18 Setelah sidang parlemen pada awal April 1988, partai-partai politik di Sudan mulai sepakat bahwa Undang-undang Islam yang berlaku sejak September 1983 perlu diganti dengan perundangundangan Islam19 yang telah disesuaikan, yang memperhitungkan juga penduduk Sudan yang non Muslim. Sebelumnya untuk merealisasikan cita-cita agar program islamisasinya dapat diterima seluruh rakyat Sudan, termasuk kalangan non Muslim, pada 1987

17

John L. Esposito, The Islamic Threat; Myth or Reality? (New York: Oxford University Press, 1992), 52. 18 John L. Esposito dan John O. Voll, Demokrasi di Negara-negara Muslim; Problem dan Prospek, Terj. Rahmani Astuti (Bandung: Mizan, 1999),123. 19 Hukum pidana Islam seperti pencurian, konsumsi alkohol, tuduhan zina, perzinaan, perampokan, murtad, dan hukum spesifik untuknya telah ditetapkan, seperti potong tangan, cambuk, dan rajam. Undang-undang pembuktian, Undang-undang transaksi sipil (mencakup akad, perselisihan, jual beli, sewa menyewa, dan pinjam meminjam). Undang-undang militer, Undangundang kepolisian dan lembaga pemasyarakatan. Undang-undang kehakiman yang mendeklarasikan hukum Islam dan Bahasa Arab sebagai pengganti hukum Inggris dan Bahasa Inggris dalam sumber hukum utama dan medium transaksi legal. Dalam bidang sosio ekonomi, Undang-undang zakat untuk menggantikan sistem perpajakan negara. Lihat Taufik Adnan Amal dan Samsurizal Panggabean, Politik Syariat dari Indonesia hingga Nigeria (Bandung: Mizan, 2004), 115.

63

NIF menyusun sebuah dokumen yang dikenal dengan Sudan Charter (Mitha>q al-Suda>n/ Piagam Sudan).20 Menurut al-Na>‘im, perdebatan mengenai apa yang disebut dengan Konstitusi Islam mulai berlangsung setelah Sudan memperoleh kemerdekaannya dari pemerintahan kolonial Inggris pada 1956. Akan tetapi gerakan islamisasi masyarakat dan politik Sudan baru muncul ke permukaan setelah penggulingan rezim militer pertama, Jenderal Abboud, pada Oktober 1966. Selama era demokratis kedua (1964-1969), gerakan ini memperoleh sedikit kursi bagi wakilnya di parlemen dan mulai melancarkan pelbagai aktivitas organisasi dan media populer di bawah kepemimpinan efektif H{asan al-Tura>bi>. Pada waktu itu, gerakan ini dikenal dengan Islamic Charter Front. Para aktivis organisasi ini sering mengganti nama organisasinya sesuai dengan pertimbangan kondisi politik. Al-Tura>bi>, pemimpin gerakan ini sejak 1964 hingga sekarang, dan menyatakan bahwa nama organisasi ini tidak penting. Selama kolaborasinya dengan rezim Numeiri (19771985), gerakan ini bekerja secara efektif tanpa nama atau struktur organisasi yang diumumkan secara publik, agar secara formal sejalan dengan tuntutan Numeiri bahwa Sudanese Socialist Union (SSU) merupakan satu-satunya organisasi politik yang sah di negeri tersebut. Setelah tergulingnya Numeiri pada April 1985, gerakan ini memperoleh nama baru, yaitu National Islamic Front, yang kemudian berganti lagi setelah Juni 1989. Akan tetapi apapun nama yang dipakai, gerakan ini secara publik tetap dapat diidentifikasi sejak 1964 melalui posisi ideologis yang dideklarasikan oleh tokoh-tokoh pemimpin, jaringan anggota, dan aktivitas-aktivitas sub organisasinya melalui persatuan dagang dan persatuan mahasiswa, perhimpunan kaum muda, dan lain-lain. Nama terakhir yang digunakan gerakan ini sebelum kudeta 1989 adalah The National Islamic Front (NIF).21

20

Samsurizal Panggabean, ‚Politik dan Agama di Sudan; al-Tura>bi> dan Masalah Selatan,‛ Islamika No. 6, (1995), 52. 21 ‘Abdulla>hi Ah}med al-Na>‘im, ‚Syariah dan HAM; Belajar dari Sudan,‛ dalam ‘Abdulla>hi Ah}med al-Na>‘im dan Muh}ammad Arkoun (ed), Dekonstruksi Syariah II; Kritik Konsep, Penjelajahan Lain, Terj. Farid Wajidi, (Yogyakarta: Lkis, 2009), 162-163.

64

Mengikuti kudeta Numeiri pada Mei 1989, NIF terus mengejar tujuan-tujuan politiknya dengan melakukan pelbagai aktivitas oposisi dari luar dan di dalam negeri. Ketika Numeiri mendeklarasikan inisiatifnya mengenai rekonsiliasi nasional dengan oposisi, NIF mendapat keuntungan penuh dengan menginfiltrasi organisasi politik rezim ini (SSU), organ legislatif dan eksekutif. NIF menggunakan periode 1977-1985 untuk mengkonsolidasikan basis organisasinya dan memperkuat kekuasaan ekonominya di dalam dan di luar negeri di bawah kedok bekerjasama dalam program islamisasi Numeiri. NIF berhasil mengkonsolidasikan basis organisasinya dengan mempropagandakan ideologinya melalui program Numeiri mengislamisasikan organ-organ negara dan kehidupan publik pada umumnya. Misalnya, program Numeiri mengajarkan kepada pejabat tinggi negara mengenai ideologi dan gaya hidup Islam yang disebut ‚al-Qiya>dah al-Rashi>dah‛ (kepemimpinan yang terbimbing), menjadi kenderaan NIF untuk merekrut dan mendoktrinisasi para pejabat. Kesempatan mengajarkan kepada pemimpin angkatan bersenjata dan pasukan keamanan mengenai ideologi Islam, dieksploitasi oleh para pemimpin NIF untuk keuntungan politik strategisnya. Beberapa pejabat militer yang melancarkan kudeta pada Juni 1989, menjadi anggota NIF pada masa itu.22 Dalam bidang ekonomi, NIF mendapatkan keuntungan dari program (1978-1983) islamisasi bank dan lembaga keuangan negara dengan memberikan potongan pajak bagi bank Islam, serta kebebasan dari supervisi Bank Sentral Sudan. Melalui bank dan perusahaan asuransi Islam, NIF mampu mengakumulasi dana yang sangat besar dan mentransfernya secara bebas di dalam dan di luar negeri. Kekuasaan ekonomi ini digunakan untuk tujuan-tujuan politik, untuk menarik para pengusaha menjadi barisan pendukung NIF, dan mendanai gerakannya secara umum. Setelah penggulingan Numeiri, NIF mampu menggunakan semua sumber daya organisasi dan finansial ini untuk memperoleh kemenangan suara signifikan dalam pemilu nasional pada April 1986. Para 22

Al-Na>‘im, ‚Syariah dan HAM,‛ dalam ‘Abdulla>hi Ah}med al-Na>‘im dan Muh}ammad Arkoun (ed), Dekonstruksi Syariah II,163.

65

pengamat percaya bahwa keberhasilan NIF dalam pemilu disebabkan kelemahan hukum dalam hukum dan peraturan yang mengatur pemilu 1986.23 Terlepas dari siapa yang bertanggungjawab atas skema yang salah besar dan berliku ini, faktanya tetap bahwa NIF memperoleh keuntungan darinya sementara semua partai politik lainnya yang berpartisipasi pada pemilu 1986 gagal berbuat demikian.24 Sebagai partai terbesar ketiga dalam Dewan Konstituante 1986-1989, NIF terus memajukan programnya melalui aksiaksinyanya, baik sebagai oposisi maupun mitra selama pemerintahan Perdana Menteri S{a>diq al-Mahdi>. Partai ini juga memanfaatkan sifat demokratis periode ini untuk lebih jauh mengkonsolidasikan basis organisasi dan politiknya ke seluruh negeri. Apakah partai ini akan mampu atau tidak mengimplementasikan program-programnya melalui cara-cara yang demokratis, pada waktu itu merupakan masalah yang diperdebatkan, karena NIF pada masa itu sepenuhnya dalam kontrol aparat negara resmi melalui kudeta pada Juni 1989. Para pengamat mungkin berbeda pendapat mengenai apakah NIF melancarkan kudeta ini terlebih dahulu, atau mengambil alihnya setelah keberhasilan kup tersebut. Sebagian pengamat akan melihat ini sebagai perdebatan akademik, terlepas dari bagaimana partai ini beranjak ke kekuasaan, NIF ketika itu pada posisi sepenuhnya memiliki kesempatan untuk merealisasikan program islamisasinya dan mentransformasikan Sudan menjadi sebuah Republik Islam. Proses ini sudah menempuh jalan panjang, melalui

23

Menurut al-Na>‘im, misalnya hukum dan peraturan ini membolehkan alokasi ‚kursi sarjana‛ (kursi untuk para lulusan universitas dan lembaga pendidikan tinggi lainnya) ke provinsi-provinsi lain karena ada ketimpangan mencolok dalam jumlah sarjana dari masing-masing provinsi. Selain itu, juga memperbolehkan pemilih sarjana untuk memilih di provinsi pilihan mereka, tanpa mempersoalkan tempat tinggal mereka. Dengan mengeksploitasi hukum dan aturan ini, NIF mampu memenangkan mayoritas besar kursi sarjana. Lihat Al-Na>‘im, ‚Syariah dan HAM,‛ dalam ‘Abdulla>hi Ah}med al-Na>‘im dan Muh}ammad Arkoun (ed), Dekonstruksi Syariah II, 164. 24 Al-Na>‘im, ‚Syari’ah dan HAM,‛ dalam ‘Abdulla>hi Ah}med al-Na>‘im dan Muh}ammad Arkoun (ed), Dekonstruksi Syariah II,164.

66

pemberlakuan hukum pidana dan hukum Islam lainnya, islamisasi media serta lembaga pendidikan, dan lain-lain.25 Menurut Khalid Duran, pada 1991, Sudan menjadi semakin mendukung pelbagai aktivitas Iran. H{asan al-Tura>bi> adalah orang yang ambisius di Sudan dan menganggap dirinya sebagai ulama yang memiliki otoritas lebih tinggi dibandingkan dengan almarhum Ayatullah Khumeini. Ia adalah politisi yang sesungguhnya (real politicker) dan memahami bahwa Sudan yang terisolasi, yang terkoyak-koyak akibat perang saudara, tidak dapat berjalan sendiri. Teheran tidak hanya mengirimkan sejumlah besar senjata (kebanyakan berasal dari Cina), tetapi juga menandatangani perjanjian bilateral dengan Pretoria, yang dibayar dengan minyak Iran agar senjata-senjata Afrika Utara dikirim ke Sudan.26 Selain yang pro, ada juga kritik dari Mah}mu>d T{ah> a untuk H{asan al-Tura>bi>. Mah}mu>d T{a>ha adalah seorang ulama Sudan serta pendiri dan pemimpin Republican Brothers (Persaudaraan Republik). Ia mengritisi ideologi H{asan al-Tura>bi> mengenai pembaruan. Pada Januari 1985, di tengah-tengah membanjirnya kritik tentang islamisasi, Republican Brother menentang upaya Numeiri menerapkan syariat sebagai hukum negara sejak 1983. Lewat dekrit, Numeiri menangkap, mengadili serta menggantung Mah}mu>d T{a>ha atas tuduhan murtad.27 Menurut al-Na>‘im –sebagimana yang dikutip oleh Ann Elizabeth Mayer-, H{asan al-Tura>bi> adalah pemimpin fundamentalis Sudan yang kuat secara politik.28 John Voll – sebagaimana yang dikuti oleh Khalid Duran- mengatakan bahwa 25

Al-Na>‘im, ‚Syari’ah dan HAM,‛ dalam ‘Abdulla>hi Ah}med al-Na>‘im dan Muh}ammad Arkoun (ed), Dekonstrksi Syariah II, 165. 26 Khalid Duran, ‚Kaum Islamis dan HAM di Afrika Utara,‛ dalam ‘Abdulla>hi Ah}med al-Na>‘im dan Muh}ammad Arkoun (ed), Dekonstrksi Syariah II; Kritik Konsep, Penjelajahan Lain, Terj. Farid Wajidi (Yogyakarta: Lkis, 2009), 181. 27 Adnan Amal dan Samsurizal Panggabean, Politik Syariat Islam dari Indonesia hingga Nigeria (Bandung: Mizan, 2004), 117. 28 Ann Elizabeth Mayer, ‚Ambiguitas al-Na>‘im dan Hukum Pidana Islam,‛ dalam ‘Abdulla>hi Ah}med al-Na>‘im dan Muh}ammad Arkoun (ed), Dekonstrksi Syariah II; Kritik Konsep, Penjelajahan Lain, Terj. Farid Wajidi (Yogyakarta: Lkis, 2009), 43.

67

al-Tura>bi> lebih maju dan lebih luwes dalam interpretasinya mengenai pelbagai ajaran Islam dibandingkan dengan Mah}mu>d T{a>ha.29

29

Duran, ‚Kaum Islamis dan HAM di Afrika Utara,‛ dalam ‘Abdulla>hi Ah}med al-Na>‘im dan Muh}ammad Arkoun (ed), Dekonstrksi Syariah II, 181.

68

BAB IV PEMBARUAN PEMIKIRAN ISLAM PERSPEKTIF H{ASAN AL-TURAbi> merasa perlu untuk melakukan pembaruan. Berbeda dengan bab sebelumnya (bab kedua), yang merupakan kalaedoskop gagasan pembaruan-pembaruan yang pernah terjadi di dunia Islam, pada bab ini fokus pada gagasan pembaruan pemikiran Islam al-Tura>bi>. Dalam bab ini dipaparkan alasan atau rasionalisasi urgensi dilakukannya pembaruan pemikiran keislaman. Al-Tura>bi> melegitimasi gagasannya ini dengan landasan normatif serta didukung oleh fakta sejarah yang terjadi pada generasi awal-awal Islam. A. Kelemahan Pemikiran Islam Menurut al-Tura>bi> Sebelum menjelaskan urgensi pembaruan Ushul Fikih, alTura>bi> terlebih dahulu mengidentifikasi kelemahan pemikiran Islam dewasa ini. Adapun kelemahan pemikiran keislaman tersebut menurutnya adalah; pertama, tercerabut dari prinsipprinsip agama (al-us}u>l al-shari>‘ah). Ciri utama agama menurut alTura>bi> adalah bersumber dari wahyu dan bukan produk manusia. Bencana terbesar dalam agama terjadi ketika ia tertutup oleh produk manusia dan ketika manusia menutup diri dari dasar-dasar wahyu. Para ulama mengkaji dasar-dasar wahyu guna memberikan penjelasan kepada manusia dan menyesuaikannya dengan praktik di zaman dan tempat tertentu. Pelbagai penjelasan dan praktik agama di suatu zaman disimpulkan dari agama dan berinteraksi dengan dasar-dasar agama. Kemudian muncul suatu masa ketika para pemikir mengalami degradasi dalam menjelaskan agama, sehingga praktik keagamaan terputus dari sumber aslinya.1 Kedua, berkutat dalam pelbagai persoalan cabang (furu>‘iyyah). Sebagaimana diketahui bahwa ajaran Islam berisi prinsip-prinsip umum, kaidah-kaidah global, dan hukum-hukum 1

Tajdi>d al-Fikr al-Isla>mi> (Kharthoum: Da>r al-Qara>fi> li al-Nashr wa al-

Tauzi>‘, 1413 H/ 1993 M),14.

69

syariat. Sudah menjadi tradisi jika seseorang menjelaskan fikih dengan amat terperinci, dan generasi baru yang muncul akan menjelaskannya dengan lebih terperinci lagi. Fenomena ini tampak jelas dalam fikih Islam. Seorang ulama menulis sebuah teks (matn) dan kemudian ulama lain menguraikannya secara panjang lebar dalam syarah (sharh}), kemudian dijelaskan dalam catatan pinggir (h}a>shiyah), catatan kaki (h}a>mish), dan dalam komentar (ta‘li>q). Demikian seterusnya hingga akhirnya fikih Islam berkutat dalam masalah-masalah cabang. Akibatnya, ketika hendak mempelajari Islam, kita tidak mungkin mengkajinya secara global dan terpaksa menelaahnya secara parsial.2 Ketiga, pemikiran Islam tidak mampu menyesuaikan diri dengan realitas kehidupan manusia dan hanya menjadi pemikiran semata. Metodologi pemikiran agama yang benar adalah metodologi realistis. Oleh karena itu, al-Qur’an tidak tersusun bab per bab dan tidak diturunkan sekaligus, tetapi secara bertahap sesuai dengan pelbagai peristiwa yang terjadi secara faktual. Ketika muncul suatu kasus, dan orang-orang berusaha merespon kasus tersebut dengan pelbagai macam sikap sambil menunggu keputusan Allah (turun wahyu), maka turunlah hukum Allah secara tegas dan jelas. Demikian pula halnya dengan sunnah Nabi. Menurut al-Tura>bi>, Rasulullah jarang sekali berkhutbah tentang ajaran Islam secara teoritis di hadapan manusia, akan tetapi beliau mengajarkan kepada mereka tentang pelbagai realitas, peristiwa, dan kasus. Para ahli fikih terdahulu tidak senang mempersoalkan masalah-masalah yang belum terjadi. Mereka baru mengeluarkan fatwa jika sebuah kasus sudah benar-benar terjadi, dan kemaslahatan serta kemudharatannya sudah jelas. Di masa kemunduran Islam, kita mewarisi fikih yang berangkat dari realitas di zaman Abu> H{ani>fah, Ma>lik, atau al-Sha>fi‘i>, bukan realitas di zaman kita dewasa ini. Oleh karena itu, pemikiran fikih Islam sekarang menjadi abstrak dan keluar dari konteks sejarah serta tidak menyentuh realitas. Kita berada di sudut yang berbeda dengan fikih Islam.3

2 3

Al-Tura>bi>, Tajdi>d al-Fikr ,16. Al-Tura>bi>, Tajdi>d al-Fikr , 23-24

70

Keempat, masuknya logika silogisme Yunani ini menjadikan qiya>s terbatas kekuatannya di medan Ushul Fikih, dan mesti ditinjau kembali agar bisa meningkatkan kualitasnya dan menjadikannya sebagai sarana kebangkitan fikih.4 Dengan demikian, pembaruan agama yang dibutuhkan saat ini menurut al-Tura>bi> hendaknya dengan melalui tiga tahapan; pertama, kembali kepada al-Qur’an dan sunnah Nabi yang diperkaya dengan tradisi, warisan khazanah Islam, dan pengalaman para salaf shaleh. Kedua, mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu umum. Ketiga, mengaitkan pemikiran Islam dengan realitas. 5 Salah satu hambatan dalam hal ini adalah anggapan bahwa apa yang ada di dalam al-Qur’an dan sunnah Nabi sudah cukup bagi kita. Anggapan seperti ini menurut al-Tura>bi> sebenarnya hanya ilusi belaka, sebab kita masih membutuhkan ijtihad para ulama dan ahli fikih untuk melahirkan fikih baru guna menghadapi realitas modern. Selain itu, kita harus memperbarui pemikiran Islam dengan mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu alam. Kita harus menghilangkan dikotomi antara ilmu agama dan ilmu alam, ahli ilmu agama dan ilmu umum, realitas dan agama, serta kita dengan al-Qur’an dan sunah Nabi. Kita juga perlu meninjau kembali Ushul Fikih Islam dengan cara mengkaji secara mendalam tentang pokok-pokok ajaran al-Qur’an yang membutuhkan penafsiran baru, sebab setiap penafsiran terhadap ayat-ayat alQur’an dipengaruhi oleh realitas zaman ketika tafsir itu disusun. Setiap tafsir mengungkapkan pemikiran zamannya, walaupun masih ada tafsir-tafsir lama yang memiliki relevansi dengan kondisi sekarang.6 Guna melegitimasi gagasan pembaruannya, al-Tura>bi> terlebih dahulu mengajukan pertanyaan, apakah pemikiran Islam mengalami pembaruan? Bukankah agama Islam merupakan petunjuk azali dan kekal yang tidak mengalami perubahan? Untuk menjawab pertanyaan ini, al-Tura>bi> mengatakan bahwa yang 4

Al-Tura>bi>, Tajdi>d al-Fikr, 60. Lihat juga H{asan al-Tura>bi>, Tajdi>d Us}u>l al-Fiqh al-Isla>mi> (Kharthoum: Maktabah Da>r al-Fikr, 1400 H/ 1980 M), cet. ke1, 25. Lihat juga H{asan al-Tura>bi, Qad}a>ya> al-Tajdi>d Nah}wa Manhaj Us}u>li> (Beiru>t: Da>r al-Ha>di, 1421 H/ 2000 M), cet. ke-1, 166. 5 Al-Tura>bi, Tajdi>d al-Fikr, 29. 6 Al-Tura>bi>, Tajdi>d al-Fikr, 24-25.

71

kadaluarsa dan mengalami pembaruan adalah pemikiran Islam, bukan Islam sebagai agama. Pemikiran Islam adalah interaksi antara nalar kaum Muslim dan hukum-hukum agama yang azali dan kekal. Nalar generasi Muslim yang melahirkan pemikiran Islam ini sudah tentu berkaitan dengan kualitas dan kuantitas pengetahuan intelektual dan pengalaman zamannya. Jika cakrawala pengetahuan di zaman itu sempit, maka pemikiran yang dihasilkan pun sempit. Begitu pula sebaliknya, jika cakrawala pengetahuannya luas, maka pemikiran yang dihasilkannya juga luas. Pemikiran itu sesuai dengan kondisi masa dan kebutuhan manusia serta sarana-sarana kehidupan di zamannya. Tegasnya, pemikiran Islam adalah interaksi antara nalar kaum Muslim dengan cakrawala pengetahuan dan kondisi zaman berdasarkan petunjuk wahyu yang azali dan kekal.7 Senada dengan al-Tura>bi>, al-‘Ashmawi> mengatakan bahwa antara agama (di>n) dengan pemikiran agama (al-fikr al-di>ni>) adalah dua hal yang berbeda. Agama adalah apa yang datang dari Nabi Muh}ammad SAW., baik berupa al-Qur’an, ucapan, atau tindakan yang berhubungan dengan agama atau penerapannya. Al-Qur’an dan hadis merupakan teks (nash) keagamaan. Teks tidak dapat berbicara sendiri, tidak dapat menjelaskan dirinya sendiri, tidak dapat menjelaskan maknanya, dan tidak dapat menetapkan apaapa yang ada di dalamnya. Oleh karena itu, al-Qur’an ditafsirkan dengan hadis. Dari beberapa hadis, dan interpretasi para ahli tafsir, termasuk di dalamnya perbedaan mazhab, pendapat dan budaya serta perbedaan pandangan para ahli fikih dalam masalah-masalah yang difikirkan, dari semua itu lahirlah pemikiran keagamaan. Pemikiran keagamaan ini bukan merupakan agama, melainkan pemikiran yang meliputi dan berporos pada agama. Pemikiran ini tidak mungkin agama an sich selama dasar yang melingkupinya adalah perbedaan lingkungan, perbedaan mazhab, ijtihad tafsir, kepercayaan-kepercayaan umum, dan dongeng-dongeng rakyat.8 Dengan bahasa sederhana, mungkin bisa dibedakan antara agama (di>n) dan pemikiran keagamaan (al-fikr al-di>n), yaitu bahwa 7

Al-Tura>bi, Tajdi>d al-Fikr ,13-14. Lihat juga al-Tura>bi>, Qad}a>ya> al-

Tajdi>d,123-124. 8

Muh}ammad Sa‘i>d al-‘Ashmawi>, Us}u>l al- Shari>‘ah (Beiru>t: Da>r Iqra>’, 1404 H/ 1983 M), cet. ke-2, 43.

72

agama adalah kumpulan-kumpulan dasar yang dibawa oleh Nabi dan Rasul, sedangkan pemikiran keagamaan adalah metodemetode historis untuk memahami dasar-dasar ini dan penerapannya. Setiap pemahaman atas teks-teks keagamaan dan setiap interpretasi atasnya -setelah Nabi wafat- merupakan pemikiran keagamaan. Oleh karena itu, pemahaman atau interpretasi ini terkadang cocok dengan inti agama dan terkadang tidak. Batasan perbedaan antara agama dan pemikiran keagamaan ini tidak jelas bagi publik, karena antara keduanya telah tercampur aduk.9 Al-Tura>bi> meyakini bahwa Islam adalah tuntunan ilahi yang tidak terbatas pada siapapun, waktu, ataupun tempat. Agama juga harus seimbang, baik agama sebagai sesuatu yang absolut (hubungan dengan Tuhan), atau agama sebagai sesuatu yang relatif (realitas kehidupan). Dengan cara ini diharapkan Muslim bisa bangkit kembali dari ketertinggalan. Al-Tura>bi> juga menyeimbangkan antara agama sebagai hukum yang suci (sakral) dan agama sebagai wilayah interpretasi (profan), atau antara agama sebagai pemikiran dan agama sebagai tindakan. Dia juga mengajukan pengertian tersendiri tentang takwa yaitu, bahwa ketakwaan merupakan realisasi praktis dari agama di lingkungan tertentu. Dengan demikian, takwa dalam tindakan menurut alTura>bi> adalah mengejar keputusan Allah yang selalu berubah karena ia percaya bahwa pemahaman terhadap agama adalah

9

Al-‘Ashmawi>, Us}u>l al-Shari>‘ah, 44. Nas{r H{ami>d Abu> Zaid juga membahas tentang perbedaan agama dengan pemikiran agama ini. Nas}r menggunakan istilah di>n dan mafhu>m al-di>n. Lihat Nas{r H{ami>d Abu> Zaid, Naqd al-Khita>b al-Di>ni> (Kairo: Da>r Sina> li al-Nashr, 1413 H/ 1992 M), 67. Terkait hal ini juga, al-Na>‘im mengatakan, pertama, hukum Islam itu bukanlah Islam itu sendiri, tetapi ia semata-mata hanya merupakan hasil interpretasi para ahli hukum terhadap al-Qur’an dan hadis. Kedua, apa yang kita anggap sebagai hukum Islam itu merupakan produk pemahaman manusia tentang sumber ajaran Islam dalam konteks sejarah sejak abad ke-7 hingga abad ke-9. Lihat ‘Abdulla>hi Ah}med al-Na>‘im, Toward an Islamic Reformation; Civil Liberties, Human Right and International Law (New York: Syracuse University Press, 1990), 64.

73

interpretasi (ijtihad) dan bertindak sesuai dengan itu merupakan bentuk jihad.10 B. Urgensi Pembaruan Pemikiran Islam Al-Tura>bi> mengatakan, mekanisme pembaruan11 pemikiran Islam sebelum Rasulullah dilakukan dengan cara pengutusan para Nabi yang datang silih berganti. Seorang Nabi membenarkan Nabi yang datang sebelumnya dan mengembangkan syariatnya agar tetap sesuai dengan perkembangan zaman. Namun setelah Rasul terakhir diutus dan syariat Islam telah mapan, masalah pembaruan diserahkan kepada ulama dan seluruh kaum Muslimin yang nota bene sebagai khalifah di muka bumi untuk menegakkan agama Islam. Al-Tura>bi> melegitimasi pendapatnya ini berdasarkan firman Allah:          )14 :[10]:‫ (يىنس‬. Artinya: Kemudian Kami jadikan kamu pengganti-pengganti (mereka) di muka bumi sesudah mereka, supaya Kami

10

D{iyā Rashwān (ed), The Spectrum of Islamist Movements (Kairo: Markaz al-Dira>sah al-Siya>sa>t wa al-Istira>tijiyya>t, 2007), vol. 1, 394. 11 Pembaruan adalah terjemahan dari ‫( ﺗﺠﺪﻴﺪ‬tajdi>d) yang merupakan mas}dar dari kata ‫ﺠﺪﺪ‬. Lihat Ibnu Manzhur, Lisa>n al-’Arab (Beiru>t: Da>r al-Ihya>’ al-Tura>th, t.t), j. 3, 111. Sedangkan yang dimaksud pembaruan hukum Islam di sini adalah upaya melakukan kajian ulang dan menghidupkan nilai-nilai Islam. Kajian ulang terhadap ajaran Islam dilakukan dengan memperbaharui cara memahami, menginterpretasikan, dan mereformulasikan sehingga diharapkan mampu merespons dinamika kehidupan kontemporer. Menurut Yu>suf alQarad}a>wi>, walaupun sumber hukum Islam adalah al-Qur’an dan hadis yang tetap dan tidak dapat mengalami perubahan, namun al-Qur’an dan hadis dapat menerima pembaruan karena dapat diintervensi oleh nalar manusia dengan memberikan interpretasi dan pendekatan baru. Bila pembaruan pemahaman agama merupakan sesuatu yang legal, maka hukum Islam merupakan salah satu ajaran agama yang lebih laik untuk diperbarui, karena ia bersifat rasional yang dituntut untuk memberikan solusi terhadap aneka masalah baru melalui ijtihad. Lihat Yu>suf al-Qarad}a>wi>, al-Fiqh al-Isla>mi> baina al-As}lah wa al-Tajdi>d (Kairo: Da>r S}ahwah, 1986), 21-22.

74

memperhatikan bagaimana kamu berbuat. (QS. Yunus [10]: 14). Selain itu, juga dengan hadis Nabi:

ْ َّ ‫إِ َّن‬ ُ ‫َّللاَ يَ ْب َع‬ .‫س ُكلِّ ِمائَ ِة َسنَ ٍة َم ْن ي َُج ِّد ُد لَهَا ِدينَهَا‬ ِ ‫ث لِهَ ِذ ِه األُ َّم ِة َعلَى َرأ‬ )‫(رواه ابى داود‬ Artinya: Sesungguhnya Allah mengutus untuk ummat ini setiap awal seratus tahun orang yang akan memperbarui agamanya. (H.R. Abu> Da>ud).12 Pembaruan agama harus dilakukan secara luas secara kolektif, mengingat masalah kehidupan sekarang ini makin kompleks. Lingkup pembaruan pemikiran pun semakin luas sehingga akan sulit sekali jika hanya dilakukan oleh seorang individu saja, meskipun ia memiliki peran besar dalam mendorong pembaruan.13 Agama akan mengalami kebangkitan di tangan generasi yang bersungguh-sungguh meletakkan dasar-dasar kebangkitan. Kemudian vitalitasnya akan menurun dan masyarakat mengalami kemunduran setelah berada di tangan generasi yang menyerah pada hasil ijtihad sebelumnya. Kejumudan dan pembaruan, kejatuhan dan kebangkitan merupakan siklus yang selalu berputar. Masa keemasan Islam bukanlah masa yang telah berlalu dan tidak akan kembali lagi. Memang benar bahwa masa Rasulullah, khulafa>‘ ra>shidu>n, dan sebagian para ulama salaf yang shaleh merupakan masa-masa yang selalu dijadikan teladan dan rujukan. Namun, masa-masa itu bukanlah masa terbaik yang berlaku sepanjang zaman dan bahkan bukan bentuk final Islam. Sebab, agama akan muncul dalam bentuk baru dari masa ke masa. Oleh karena itu, tidak tertutup kemungkinan munculnya model keberagaman yang berbeda dari model keberagamaan di masa sahabat.14 Lihat Abu> Da>ud Sulaima>n ibn al-Ash‘ath al-Sijista>ni>, Sunan Abi> Da>ud (Beiru>t: Da>r al-Kita>b al-‘Arabi>, 1409 H/ 1989 M), j. 4, 178. 13 Al-Tura>bi>, Tajdi>d al-Fikr, 31. 14 Al-Tura>bi>, Tajdi>d al-Fikr, 32-33. 12

75

Menurut al-Tura>bi>, banyak para ulama salaf saat ini sudah ketinggalan zaman. Ini terjadi bukan karena mereka tidak mampu memecahkan masalah zamannya. Mereka justru mampu memecahkan masalah yang terjadi di masa itu. Misalnya, gerakan Mu‘tazilah muncul untuk menghadapi pemikiran rasional yang menyerang akidah Islam. Oleh karena itu, gerakan ini menggunakan pendekatan rasional sehingga berkembang dan mampu memenuhi kebutuhan saat itu dan berhasil dengan gemilang menyelesaikan persoalan yang menjadi tantangan zamannya. Namun lambat laun gerakan ini kehilangan relevansinya ketika tantangan zaman tak lagi membutuhkan pendekatan rasional dalam menjelaskan akidah Islam, tetapi lebih membutuhkan pendekatan yang menyeimbangkan antara akal dengan wahyu. Akibatnya, gerakan pemikiran Mu‘tazilah pun mengalami kemunduran dan bahkan mendapat cap yang tidak baik karena salah dalam mempersepsikan peran yang pernah ditampilkannya dalam periode sejarah tertentu.15 Contoh lain menurut al-Tura>bi> adalah gerakan Wahabi yang dipelopori oleh Muh}ammad ibn ‘Abdul Wahha>b di Jazirah Arab. Gerakan ini muncul untuk menghapus kemusyrikan agama yang terjadi dalam masyarakat Islam di Jazirah Arab saat itu dan berhasil dengan baik menyelesaikan tantangan zamannya. Namun gerakan ini sekarang hampir kehilangan perannya karena di jazirah Arab telah muncul tantangan baru berupa kemusyrikan politik dan ekonomi yang belum mampu diatasi. Hal ini bukan karena landasan gerakan ini lemah, melainkan karena keberhasilannya belum diarahkan untuk meraih keberhasilan baru. Jadi, pemikiran dan gerakan ulama salaf sering ketinggalan zaman karena kurang relevan dengan tantangan baru yang harus diresponnya.16 Pembaruan bukan berarti keluar dan melanggar agama, tetapi upaya responsif atas kebutuhan beragama dalam zaman dan kondisi tertentu. Dalam khazanah sejarah pemikiran Islam, terdapat banyak contoh dan pelajaran tentang fenomena ini. Satu pemikiran mengalami kadaluarsa karena ada tantangan baru yang menghadangnya. Dalam banyak segi, pemikiran pembaruan Islam 15 16

Al-Tura>bi>, Tajdi>d al-Fikr, 33-34. Al-Tura>bi>, Tajdi>d al-Fikr, 34.

76

masih memiliki kelemahan karena kurang merespons masalah kehidupan publik dan politik. Pemikiran fikih lama tidak mampu menghadapi tantangan kehidupan publik dan politik yang muncul dewasa ini. Kondisi seperti ini merupakan kelemahan yang dialami oleh setiap agama. Perjalanan sejarah keberagamaan selalu mengarah pada perhatian yang besar atas masalah kehidupan individual, ritual, keluarga, dan muamalah serta sedikit sekali memperhatikan masalah kehidupan publik. Orientasi ini adalah ujian sejarah yang ditakdirkan Allah agar agar kaum Muslim yang berilmu memberikan respons guna melengkapi pemikiran fikihnya.17 Senada dengan al-Tura>bi>, Muh}ammad Ima>rah mengatakan bahwa pembaruan paham keagamaan bukanlah dimaksudkan untuk mengurangi kesempurnaan agama, tetapi pembaruan dilakukan sebagai bagian dari kesempurnaan agama. Oleh karena itu, antara ulama salafiyyah dan mujaddid, atau tradisionalis dan modernis bersifat saling melengkapi.18 Pemikiran Islam –baik teologi maupun fikih- selalu berkaitan dengan realitas dan tantangan zamannya. Ia tidak bisa bertahan di zaman sesudahnya kecuali sebagai peninggalan dan pelajaran saja. Masuknya pemikiran Yunani ke dunia Islam telah menyebabkan para mutakallimi>n bergelut dalam dunia kalam yang belum pernah disentuh dan belum diketahui para sahabat dan ta>bi‘i>n, sebab hal itu merupakan tuntutan kondisi yang mereka hadapi. Pemikiran teologi dan fikih sekarang harus memiliki format baru yang berbeda dari warisan masa lalu karena tuntutan kehidupan yang berbeda.19 Dalam buku Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m baina al-Qudama>’ wa al-Muh}addithi>n, Jama>l al-Banna> mengatakan bahwa agama sebenarnya merupakan revolusi yang sebenarnya dan paling konkret bagi rakyat dan masyarakat, sebagaimana yang disimbolkan oleh figur Nabi Musa yang membebaskan dan mengeluarkan orang-orang Yahudi dari perbudakan menuju pembebasan. Dengan kekuatan apa Musa mampu berhadapan 17

Al-Tura>bi>, Tajdi>d al-Fikr, 35. Muh}ammad Ima>rah, Ma‘a>lim al-Manhaj al-Isla>mi> (Beiru>t: Da>r alSala>m, 1429 H/ 2008 M), 88-89. 19 Al-Tura>bi>, Tajdi>d al-Fikr, 36. 18

77

dengan kekuatan dan kekuasaan tirani Fir‘aun? Tak lain dengan energi agama. Nabi Muh}ammad datang dan berhasil merubah kebiasaan buruk masyarakat ketika itu, menyatukan mereka dan sukses memberikan pedoman kitab suci dan suatu standar untuk mereformasi dunia yang berkelas-kelas. Namun pertanyaan berikutnya, bagaimana agar agama mampu menjadi spirit dan lokomotif penggerak revolusi? Menurut Jamal jawabannya adalah dengan memberikan pemahaman baru terhadap Islam itu sendiri.20 Fazlur Rahman juga mengatakan, memodifikasi hukum lama selaras dengan situasi kekinian bukan berarti mengeksploitasi teoritisasi dari al-Qur’an maupun sunnah dan memodifikasi hal-hal yang ada dalam situasi dewasa ini sehingga selaras dengan teoritisasi al-Qur’an dan sunnah, akan tetapi situasi dewasa ini perlu dikaji secara cermat dengan mempertimbangkan pelbagai unsurnya seperti ekonomi, sosial politik, sosio kultural dan sebagainya. Dengan demikian ijtihad yang dimaksud adalah ijtihad secara interdisipliner.21 Kondisi serupa juga terjadi dalam masalah musyawarah (shu>ra) yang menjadi hak kaum Muslim untuk menentukan hukum-hukum cabang yang mereka hadapi. Ketika pelaksanaan musyawarah, pengambilan kesepakatan (ijma>‘), dan pemilihan alternatif hukum bagi kaum Muslim sulit dilakukan, para ahli fikih mendiamkan hak kaum Muslim dalam menentukan pilihan hasil ijtihad. Begitulah ciri khas fikih tradisional yang tidak merakyat. Fikih dalam Islam sebenarnya adalah fikih rakyat. Sebab, masalah agama bukanlah monopoli kelompok atau elit agamawan tertentu. Islam tidak mengenal keberagamaan yang dimanipulasi orangorang tertentu sehingga menjadi rahasia-rahasia mereka dengan tujuan agar mereka menjadi perantara antara manusia dan Tuhannya atau menjadi penguasa inti dalam urusan ijtihad.22 Al-Tura>bi> juga mengatakan, sebagaimana jihad, ijtihad harus dilakukan oleh setiap Muslim. Seorang Muslim tidak boleh meninggalkan jihad kecuali jika telah meninggal dunia atau tidak 20

Jama>l al-Banna>, Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m baina al-Qudama>’ wa alMuhaddithi>n (Kairo: Da>r al-Fikr al-Isla>mi>, 2003), 246. 21

Fazlur Rahman, ‚Towardrs Reformulating the Methodology of Islamic Law,‛ International Law and Politics, vol. 12, (1979), 219. 22 Al-Tura>bi>, Tajdi>d al-Fikr, 36.

78

mampu lagi berperang. Memang ada ayat al-Qur’an yang menyuruh sekelompok kaum Muslim saja untuk berperang, akan tetapi jihad sebenarnya bukanlah monopoli kelompok tertentu, melainkan terbuka bagi seluruh kaum Muslimin. Demikian pula halnya dengan ijtihad.23 Prinsip-prinsip Islam tidak pernah menggariskan kepada para ahli fikih dan ulama untuk membuat hukum yang wajib diikuti oleh kaum Muslim. Para ahli fikih adalah pemimpin suka rela, sementara kaum Muslim memiliki kewajiban mengadakan musyawarah dan ijma>‘. Ijma>‘ adalah hasil keputusan dari musyawarah dan sumber hukum ketiga sesudah al-Qur’an dan sunnah Nabi. Metode pelaksanaannya adalah bahwa kaum Muslim awam bertanya dan meminta fatwa kepada para ahli fikih dan pemimpin mereka tentang urusan agama. Kemudian para pemimpin tersebut memberikan jawaban-jawaban alternatif dan mengusulkan bentuk-bentuk keberagamaan kepada mereka yang tidak semuanya harus mereka ikuti. Setelah itu, mereka memilih satu mazhab atau pendapat tertentu melalui ijma>‘ yang hasilnya wajib mereka ikuti.24 Kondisi fikih Islam di masa kejayaannya berlangsung ketika ijtihad berkembang pesat dan ilmu terbuka bagi setiap orang. Tidak ada hak istimewa bagi sekelompok orang untuk dijadikan sandaran dalam masalah keagamaan, dan orang tidak terikat untuk mengikuti mazhab tertentu atau bertaklid kepada mazhab tertentu. Namun dalam perkembangan berikutnya, para ahli fikih memperoleh keistimewaan tertentu dan menjadi elit tersendiri yang berbeda dari masyarakat umum. Akibatnya, dalam agama Islam muncul fenomena kependetaan seperti dalam agama lain. Pada hal mereka seharusnya adalah orang-orang yang menjamin pengembalian agama kepada fitrah kerakyatan.25 Islam selalu menjaga kitab sucinya dan Allah senantiasa mengutus orang-orang yang akan memperbarui agama -di mana agama tersebut hanya dijadikan sebagai simbol belaka- dengan mengembalikan kepada tujuan utamanya. Fikih Islam semula 23

Al-Tura>bi>, Tajdi>d al-Fikr, 37. Al-Tura>bi>, Tajdi>d al-Fikr, 37. 25 Al-Tura>bi>, Tajdi>d al-Fikr, 37-38. 24

79

merupakan fikih dinamis yang menyatukan akidah dan syariah, makna dan tujuan, syiar keagamaan dan ritual simbolis. Namun ia kemudian berubah menjadi fikih simbolis yang hanya menekankan masalah formalitas ritual. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya pembaruan dan evaluasi fikih Islam dan Agama.26 Fikih Islam dalam sejarahnya, baik yang bercorak teologis maupun yang praktis, mengalami masa penting hanya beberapa abad sepeninggal Rasulullah. Para ta>bi‘i>n dan pengikut mereka telah mengembangkan, memperluas, dan mengambil konklusi hukum (istinba>t)} dari fatwa-fatwa sahabat guna mencari kemaslahatan baru. Hal ini pernah dilakukan para sahabat dengan leluasa ketika melakukan ijtihad dalam fikih dan penetapan hukum seperti dipraktikkan oleh ‘Umar ibn Khatta>b. Setelah periode Rasulullah, ijtihad berjalan dengan baik dan kemudian diteruskan oleh para ahli fikih terkenal yang menguasai pengembangan fikih dalam rangka memecahkan masalah-masalah baru. Pada saat itu, pola pemikiran fikih tidak pernah terputus sama sekali. Sebab setiap muncul masalah baru, para ahli fikih langsung mempelajari dan memecahkannya serta mengambil kesimpulan hukum cabangnya. Akan tetapi dalam perkembangan berikutnya, pintu fikih Islam tertutup dalam waktu yang amat panjang. Sebenarnya, tidak ada seorang pun menutup pintu ijtihad dengan alasan teologis maupun syariat. Hanya saja pintu ijtihad tertutup oleh dinamika pemikiran Islam dan kondisi kebudayaan waktu itu. Seandainya para ahli fikih menyatakan bahwa pintu ijtihad terbuka, pintu itu tetap saja tertutup dan tidak seorang pun yang membukanya. Hal ini disebabkan oleh motivasi hidup beragama setelah periode pertama telah melemah sehingga memengaruhi realitas dan pemikiran. Jika realitas ini mengalami kemunduran, pemikiran juga akan mengalami kemunduran. Jika pemikiran bergerak, realitas juga akan bergerak, karena keduanya saling memengaruhi.27

26 27

Al-Tura>bi>, Tajdi>d al-Fikr, 39. Al-Tura>bi>, Tajdi>d al-Fikr , 42.

80

Pembaruan sistem dan penafsiran hukum adalah sesuatu hal yang sangat penting dan utama dari visi komprehensif al-Tura>bi>.28 Menurut al-Tura>bi> –sebagaimana yang dikutip oleh EspositoIslam menganjurkan sekaligus memerintahkan kepada setiap orang beriman untuk melakukan pembaruan terus menerus. Pembaruan yang dimaksud bukan berarti merubah prinsip-prinsip fundamental Islam atau mengeliminasi bagian-bagian tertentu dari al-Qur’an guna menyesuaikan dengan kondisi. Kandungan al-Qur’an adalah wahyu yang komprehensif atas kebenaran abadi Tuhan, dan seorang Muslim perlu mengenal realita perubahan dengan cara Islam yang otentik.29 Al-Tura>bi> percaya bahwa Islam harus terus menerus dipikirkan kembali. Memang ada prinsip-prinsip yang abadi dalam Islam, tetapi fikih hanyalah upaya manusia yang mungkin dievaluasi kembali sesuai dengan kebutuhan masa sekarang. Fikih modern harus dititikberatkan pada masalah-masalah sosial yang sukar ditangani dalam masyarakat secara individual. Metodologi yang disarankan oleh al-Tura>bi> didasarkan pada perumusannya tentang tauhid yang melibatkan suatu kesatuan perintah abadi ilahi dengan perubahan kondisi kehidupan manusia dan tuntutan untuk keharmonisan antara akal dan wahyu. Oleh karena itu tauhid harus membawa kepada metodologi penafsiran kembali yang menyeluruh, mencakup semua pengetahuan manusia, natural, dan sosial yang diserap lewat saringan pemahaman Islam.30 Menurut Jama>l al-Banna>, al-Qur’an tidak pernah menetapkan suatu hukum yang menyengsarakan masyarakat. Dengan kata lain, hukum yang ditetapkan al-Qur’an adalah yang sesuai dengan perkembangan dan tantangan yang ada. Lanjut Jama>l, ada dua hal yang menjadi ciri khas al-Qur’an terkait dengan hukum ini; pertama, al-Qur’an tidak banyak menetapkan hukum spesifik di dalamnya. Hanya ada beberapa ayat (sekitar 200 atau maksimal 500 ayat) yang berbicara tentang hukum. Kedua, ayat28

Jhon L. Esposito dan Jhon O. Voll, Tokoh-tokoh Kunci Gerakan Islam Kontemporer, Terj. Sugeng Harianto, dkk (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), 152. 29 Esposito dan Jhon O. Voll, Tokoh-tokoh Kunci, 149. 30 John L. Esposito (ed), The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World (New York: Oxford University, 1995), vol. 4, 287.

81

ayat hukum ini pun menggunakan redaksi umum dan netral. Berdasarkan dua ciri khas di atas Jamal menganggap ini merupakan sinyalemen bahwa al-Qur’an dengan teks resmi dan sucinya membuka lebar bagi ruang ijtihad.31 Sebagaimana yang dikatakan Coulson, ijtihad adalah konsep yang fundamental dan sangat aktif dalam pembentukan syariah selama abad ke-8 dan ke-9 M. Setelah syariah dianggap matang sebagai sistem perundang-undangan serta pengembangan pelbagai prinsip dan aturan yang segar dirasakan sudah cukup, maka ruang ijtihad tampak menyempit menuju titik kepunahannya. Fenomena ini dikenal dalam sejarah yurisprudensi hukum Islam sebagai tertutupnya pintu ijtihad. Pintu itu diyakini mayoritas kaum muslimin telah tertutup sejak abad ke-10 M. hingga hari ini. Namun banyak ulama kontemporer menuntut dibukanya kembali pintu ijtihad tersebut.32 Menurut Bassam Tibi, orientasi hukum Islam perlu selalu diarahkan pada kemajuan karena zaman tidak tetap dan selalu dinamis. Kecenderungan ini telah dimiliki oleh para pemikir kontemporer setelah berhasil mematahkan anggapan tentang tertutupnya pintu ijtihad dan mengeliminasi taklid. Dalam era modern ini, umat Islam dihadapkan pada tantangan untuk menjawab pertanyaan tentang di mana posisi Islam dalam kehidupan modern, serta bentuk Islam yang bagaimana yang harus ditampilkan dalam menghadapi modernitas. Munculnya arus modernisasi melahirkan beragam reaksi dari beberapa ulama, ada yang menerima dan ada yang menentang.33 Pemikiran hukum Islam (fikih) berkembang sejalan dengan perkembangan dan perluasan wilayah Islam melalui kontak dengan budaya masyarakat setempat. Hal ini terjadi karena al-Qur’an pada mulanya diwahyukan sebagai respons terhadap situasi masyarakat saat itu yang kemudian tumbuh dan berkembang menjadi lebih luas lagi. ‘Ali> al-Sa>yis (w. 396 H/ 1976 M) mengatakan, hukum31

Jama>l al-Banna>, Nah}wa Fiqh Jadi>d (Kairo: Da>r Fikr al-Isla>mi>, 1420 H/ 1999 M), j, 3, 262. 32 Noel Coulson, History of Islamic Law (Edinburgh: Edinburg University Press, 1972), 80-81. 33 Bassam Tibi, Islam and The Cultural Accomodation of Social Change (Oxford: Westview Press, 1991), 8.

82

hukum yang terkandung di dalam al-Qur’an itu pun masih ada yang memerlukan penafsiran dan mempunyai potensi untuk berkembang. Jika pada masa Rasulullah SAW. dalam memahami ayat-ayat semacam itu, penjelasan diberikan langsung oleh beliau dengan sunnahnya, akan tetapi setelah Rasulullah wafat dan wilayah kekuasaan Islam semakin luas, penjelasan itu dilakukan oleh para sahabat. Tanggungjawab itu terus berlanjut dan beralih kepada para tokoh atau ulama mujtahid pada generasi berikutnya.34 Setelah abad ke-4 H, ketika budaya taklid berkembang, mazhab yang menyerukan bahwa hukum ijtihad adalah wajib setiap saat tidak mampu menumbuhkan semangat ijtihad. Pada abad ke-5 H, dengan fikih literalisnya, Ibn H{azm (w. 456 H/ 1064 M) menyerukan pentingnya ijtihad dan pembaruan serta mengritik para ahli fikih dan imam yang ditaklidi manusia dengan tujuan menghancurkan pengultusan atas mereka. Akan tetapi taklid tetap saja berkembang dengan pesat, meskipun abad itu adalah abad Ibn H}azm. Akibatnya, pada abad ke-7 H, ilmu pengetahuan Islam menjadi beku dan tidak berkembang. Upaya serupa dilakukan oleh mazhab H{anbali> yang tidak setuju sama sekali dengan penutupan pintu ijtihad dan pembatasan ijtihad. Kemudian pada pertengahan abad ke-8 H, upaya itu dilanjutkan oleh Ibn Taimiyyah dan Ibn Qayyim al-Jauziyyah yang melakukan gerakan membuka pintu ijtihad. Namun pemikiran dan realitas masyarakat Islam masih tetap mundur dan beku sampai sekarang.35 Sedangkan terkait urgensi pembaruan Ushul Fikih, H{asan alTura>bi> mengidentifikasi kelemahan Ushul Fikih klasik; pertama, tidak cocok dengan kondisi sosial kekinian, karena Ushul Fikih klasik hanya berkutat pada pembahasan teks semata, dan mengabaikan spirit syariah itu sendiri, sehinga Ushul Fikih terasa kaku dan menjelma sebagai doktrin-doktrin teoritis mandul yang hampir tidak bisa melahirkan fikih sama sekali, dan bahkan justru melahirkan perdebatan yang tak pernah berhenti. Watak fikih harus tumbuh untuk menghadapi tantangan yang bersifat praktis, 34

Muh}ammad ‘Ali> al-Sa>yis, Nash’ah al-Fiqh al-Ijtiha>d wa At}wa>ruh (Kairo: Silsilah Buhu>th al-Isla>miyyah, 1390 H/ 1970 M), 6. 35 Al-Tura>bi>, Tajdi>d al-Fikr, 42.

83

dan Ushul Fikih juga harus tumbuh sejalan dengan fikih yang dinamis itu. Betapapun fikih sarat dengan pelbagai kesimpulan dan betapapun dalamnya kajian yang dilakukan terhadap referensi yang ada, al-Tura>bi> menganggap tetap saja tidak mampu memenuhi kebutuhan masyarakat dan menjawab tantangan yang ditujukan kepadanya. Ini disebabkan karena sebagian besar dari kehidupan ini telah bergerak dan berubah serta sedang menghadapi problem-problem baru yang memiliki corak yang berbeda dengan problem yang dihadapi fikih tradisional.36 Kedua, Ushul Fikih klasik mendominankan naql dan mengabaikan akal. Ilmu pengetahuan saat ini sudah demikian terbuka, sementara fikih kuno dibangun atas ilmu pengetahuan yang terbatas. Ilmu aql yang ada pada masa itu menurut al-Tura>bi> sangat terbatas. Dengan demikian, merupakan kewajiban kita untuk membangun fikih Islam dalam bentuk baru guna menundukkan seluruh ilmu yang ada dalam rangka beribadah kepada Allah dan merekomendasikannya kembali untuk memadukan ilmu-ilmu naql yang kita peroleh dari kitab Allah dan riwayat-riwayat yang s}ah}i>h yang terpelihara sepanjang masa dengan ilmu-ilmu logika yang selalu mengalami perubahan dan penyempurnaan dari waktu ke waktu sesuai eksperimen dan penalaran yang ada.37 Menurut al-Tura>bi>, kemunduran dari aspek materi yang terjadi dalam diri kaum Muslim dewasa ini barangkali disebabkan oleh ilmu-ilmu rasional telah mulai menjauh dari kaum Muslim sesudah era Mu‘tazilah. Mereka kemudian berpikir bahwa tugas mereka telah selesai. Tidak ada gunanya lagi melakukan perdebatan rasional, sebab phak yang menyerang Islam dengan isu-isu rasional telah berhenti. Akibatnya, perhatian hanya tertuju pada ilmu-ilmu tekstual. Ilmu-ilmu rasional semakin tidak berkembang dalam tradisi pemikiran kaum Muslimin. Pada hal ilmu dalam Islam memiliki dua sumber, yaitu akal dan wahyu.

36

Al-Tura>bi>, Tajdi>d Us}u>l, 3-4. Lihat juga al-Tura>bi>, Qad}aya> al-Tajdi>d, 153-154. Lihat juga al-Tura>bi>, Tajdi>d al-Fikr, 50. 37 Al-Tura>bi>, Tajdi>d Us}u>l, 5-6. Lihat juga al-Tura>bi>, Qad}aya> al-Tajdi>d, 141-142. Lihat juga al-Tura>bi>, Tajdi>d al-Fikr, 51.

84

Kedua sumber ini bersatu, saling mendukung dan saling membutuhkan.38 Lanjut al-Tura>bi>, kita tidak mungkin memahami al-Qur’an tanpa merenungkan dan berpikir. Begitu pula, kita tidak mungkin mampu memperoleh petunjuk tentang Sang Pencipta alam melalui penganalisaan terhadap alam semesta tanpa melakukan interaksi dengan wahyu. Ilmu alam dan ilmu syariat adalah dua cabang ilmu yang seharusnya saling mendukung dan bersatu menuju integrasi ilmu yang mengarah kepada Allah serta menundukkan alam sebagai sarana beribadah kepada Allah. Dalam periode sejarah tertentu, ketika kaum Muslimin berada dalam membatasi diri pada ilmu tekstual saja, ilmu alamnya mengalami kemunduran. Kemudian mereka disadarkan oleh adanya konflik perang pemikiran asing. Ilmu alam yang sampai kepada kita saat ini membawa semangat Barat yang mempertentangkan antara ilmu agama dan ilmu alam, atau antara agamawan dan intelektual. Terdapat karakteristik tersendiri dan stagnasi sejarah antara dua cabang ilmu itu. Ilmu alam datang kepada kita dari Eropa dengan membawa ruh yang berpaling jauh dari ajaran agama sehingga menimbulkan jarak antara realitas alam dengan nilai agama yang seharusnya kita tegakkan. Akibatnya, ada jurang pemisah antara ilmu alam dan ilmu agama.39 Kita tidak mungkin dapat berijtihad tanpa mempelajari ilmu alam dan ilmu agama sekaligus. Sebab, ilmu alam memperkenalkan kita kepada realitas alam dan metode untuk memahami realitas itu. Ketika kita telah berhasil memperoleh ilmu agama dengan memahami ilmu-ilmu syariat, kita juga memerlukan ilmu alam untuk mengidentifikasi masyarakat guna mengetahui permasalahannya dan kemudian menentukan konsep agama yang sesuai dengan permasalahan masyarakat tersebut. Hal ini mendorong kita mempelajari masyarakat dari perspektif sosial dan ekonomi serta mempelajari lingkungan sekitar melalui ilmu fisika dan kimia agar dapat mengaplikasikan agama dengan cara yang

38 39

Al-Tura>bi>, Tajdi>d al-Fikr, 43. Al-Tura>bi>, Tajdi>d al-Fikr, 43.

85

mudah. Kita tidak akan mampu merealisasikan agama tanpa ilmuilmu alam yang hanya dapat dicapai dengan akal.40 Dalam menghadapi realitas kekinian, kita tidak cukup hanya melakukan telaah dan kajian mendalam atas warisan intelektual lama (al-tura>th al-qadi>m) untuk memperoleh fatwa ulama salaf tentang persoalan-persoalan modern, tapi kita harus melakukan revolusi pembaruan fikih dan pemikiran agama agar dapat mengejar ketertinggalan yang cukup lama ini dan dapat menyentuh segala sektor kehidupan modern yang saat ini belum ada hukum agamanya.41 Senada dengan al-Tura>bi>, Yu>suf al-Qarad}aw > i> menganggap terlalu berlebihan apabila ada yang beranggapan bahwa ulamaulama terdahulu tidak meninggalkan sedikitpun persoalan bagi ulama-ulama yang datang kemudian. Justru yang benar adalah betapa banyak masalah yang ditinggalkan oleh ulama-ulama terdahulu untuk ulama-ulama belakangan. Ijtihad tidak terbatas pada ruang lingkup masalah-masalah baru saja, tetapi ia memiliki kepentingan lain yang berkaitan dengan khazanah hukum Islam, yaitu dengan mengadakan peninjauan kembali masalah-masalah yang ada di dalamnya berdasarkan kondisi yang terjadi pada zaman sekarang dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat untuk memilih mana pendapat yang terkuat dan paling cocok, dengan merealisasikan tujuan-tujuan syariat dan kemaslahatan manusia.42 Hal senada disampaikan oleh Jama>luddi>n ‘At}iyyah yang mengatakan bahwa sesungguhnya ijtihad bersifat bebas. Ia tidak dibatasi ataupun terikat untuk memilih pendapat-pendapat ulama klasik. Pendapat yang menyatakan bahwa para ulama masa lalu tidak menyisakan sedikitpun permasalahan untuk generasi berikutnya adalah pendapat yang justru dapat membunuh kreativitas. Hal demikian adalah pendapat yang tidak pernah dilontarkan oleh ulama klasik itu sendiri, tapi pendapat yang

40

Al-Tura>bi>, Tajdi>d al-Fikr, 44. Al-Tura>bi>, Tajdi>d al-Fikr, 44. 42 Al-Qarad}a>wi>, al-Ijtiha>d al-Mu‘a>s}ir baina al-Inz}iba>t} wa al-Infira>t} (Kairo: Da>r Tauzi>‘ wa al-Nas}r al-Isla>miyyah, 1414 H/ 1994 M), cet. ke-2, 24. 41

86

hanya merupakan salah satu bentuk kemalasan berpikir dan perwujudan sifat kekanak-kanakan.43 Dalam kajian hukum Islam, ijtihad mendapat tempat yang khusus. Melalui semangat ijtihad inilah hukum Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan hadis Nabi dapat berkembang sesuai dengan situasi dan kondisi yang berkembang. Melalui ijtihad, hukum Islam menjadi hidup dan senantiasa aktual serta mampu berevolusi menghadapi tantangan zaman. Banyak nash yang menjelaskan urgensi ijtihad ini. Di antaranya hadis yang terkenal adalah dialog Nabi dengan Mu‘a>dh ibn Jabal ketika hendak diutus ke Yaman. Muh}ammad Iqba>l mengutip dialog ini sebagai landasan dalam pengembangan konsep ijtihad. Iqba>l membagi kualifikasi ijtihad ke dalam tiga tingkatan; pertama, otoritas penuh dalam menentukan perundang-undangan yang secara praktis hanya terbatas pada pendiri mazhab. Kedua, otoritas relatif yang hanya dilakukan dalam batas-batas tertentu dari mazhab dan otoritas yang berhubungan dengan penetapan hukum dalam kasus-kasus tertentu tanpa terikat pada ketentuan pendiri mazhab. Ide ijtihad ini pun dipagar pelbagai syarat ketat yang hampir-hampir tidak mungkin dipenuhi. Sikap ini menurut Iqba>l adalah sesuatu yang ganjil dalam sistem hukum al-Qur’an yang sangat menghargai pandangan dinamis. Akibat ketatnya persyaratan ketentuan ijtihad ini, hukum Islam selama lima ratus tahun mengalami stagnasi dan tidak mampu berkembang, sehingga hukum Islam hanya tinggal sebagai teori-teori mati yang tidak berfungsi dan menjadi kajian masa lalu saja.44 Iqba>l juga mengatakan, dalam sejarah awal Islam ‘Umar adalah tokoh yang telah mengadakan terobosan-terobosan kreatif dan inovatif terhadap persoalan sosio-religius yang dihadapinya.45 Al-Tura>bi> mengatakan bahwa suatu ilmu bisa saja akan tampak canggih dan berwibawa dalam memberikan solusi-solusi pelbagai permasalahan hukum Islam pada masa lalu, tetapi bisa jadi tak berdaya bila diterapkan pada masa sekarang ini. Ini amat 43

Wahbah al-Zuh}aili> dan Jama>luddin ‘At}iyyah, Tajdi>d al-Fiqh al-Isla>mi> (Damaskus: Da>r al-Fikr, 1421 H/ 2000 M), 6. 44 Lihat Iqba>l, The Reconstruction or Religious Thought in Islam (Delhi: Kitab Bhavan, 1981), 148. 45 Iqba>l, The Reconstruction or Religious Thought in Islam, 174.

87

wajar terjadi, karena ia disusun dalam kondisi historis dan dipengaruhi oleh watak problematika hukum Islam yang menjadi pembahasan hukum Islam waktu itu (abad pertengahan). Namun saat ini banyak sektor kehidupan yang telah berkembang dan melahirkan masalah-masalah baru yang belum disinggung oleh hukum Islam produk abad pertengahan.46 Al-Tura>bi> menganggap saat ini sudah sangat mendesak pengembangan pemikiran metodologi Ushul Fikih dalam konteks relevansinya dengan kebutuhan masyarakat Islam modern. Meskipun disusun dengan menggunakan metode induktif dan sangat detil, fikih yang ada sekarang ini menurut al-Tura>bi> belum cukup memenuhi kebutuhan-kebutuhan dakwah dan menggerakkan orang. Sebab, banyak sektor kehidupan yang telah berkembang dan melahirkan masalah-masalah baru yang belum disinggung oleh fikih tradisional. Selain itu, interaksi-interaksi sosial telah berganti. Ilmu-ilmu rasional modern telah mengalami perkembangan sangat pesat. Oleh karena itu, sudah selayaknya kaum Muslim mengkaji kembali fikih Islam dengan persepsi baru, memanfaatkan segala ilmu sebagai sarana ibadah kepada Allah, dan membuat format baru yang menyatukan antara ilmu tekstual dan ilmu rasional yang selalu mengalami pembaruan dan kesempurnaan lewat eksperimental dan observasi. Dengan integrasi ilmu-ilmu itu, kita akan dapat memperbarui pemahaman agama kita dan memenuhi tuntutan kehidupan modern sepanjang masa.47 Senada dengan Iqba>l, al-Tura>bi> mengatakan bahwa masa penetapan hukum syariah (tashri>‘) yang paling terkenal dalam menjaga kemaslahatan umum secara menyeluruh setelah masa Rasulullah adalah masa ‘Umar ibn Khat}t}a>b. Walaupun ‘Umar tidak membuat metodologi Ushul Fikih sendiri yang menjelaskan penetapan hukum syariatnya, tapi kita harus mengambil konklusi dari ijtihad-ijtihadnya yang beragam sebagai metodologi tertentu yang bercirikan keluasan dan keluwesan.48 Meskipun para ta>bi‘i>n 46

Al-Tura>bi, Tajdi>d al-Fikr , 46. Al-Tura>bi>, Tajdi>d al-Fikr, 50-51. 48 Sekalipun ‘Umar tidak secara terang-terangan menyatakan telah menetapkan metode ushuli dalam penetapan hukum-hukunya, namun menurut al-Tura>bi> dari ijtihad-ijtihad beliau yang beraneka ragam itu dapat diambil 47

88

dan ahli fikih Madinah telah mewarisi metodologi yang memiliki prinsip luas ini, menurut al-Tura>bi> sejarah fikih tidak menunjukkan adanya perkembangan prinsip-prinsip itu, dan bahkan mengabaikannya.49 Al-Tura>bi> memuji fikih Ibn H{azm. Menurutnya, Ibn H}azm adalah seorang yang memiliki pengetahuan luas dengan persoalan politik, hukum, dan pelbagai problem sosial umum. Oleh karena itu, dalam metodologi ushulnya, kita menemukan sebuah metode luas berupa istis}h}a>b yang membuka pintu pengembangan fikih, meskipun Ibn H{azm berpegang pada metodologi literal dalam menafsirkan nash.50 Terkait hal ini, Hallaq mengatakan bahwa lebih dari setengah abad setelah Rashi>d Rid}a, kegagalan untuk mengartikulasikan sebuah teori hukum yang bermuara dalam konsep mas}lah}ah masih tetap bertahan. Salah seorang pengusung pembaruan yang mengikuti cara Rid}a menurut Hallaq adalah H{asan al-Tura>bi>. Al-Tura>bi> berhasil menyusun teori hukum, yaitu sebuah teori yang menurutnya menjadi bagian integral wacananya tentang pembaruan (tajdi>d), walaupun menurut Hallaq, al-Tura>bi> belum melakukan itu. Meskipun demikian, al-Tura>bi> membedakan dirinya dengan semua pemikir yang lain. Ia adalah orang yang pertama yang meninggalkan konvensi teori hukum yang dia pandang sebagai hal yang usang dan tidak ada hubungannya dengan realitas kehidupan modern dan permaslahanpermasalahannya. Teori Ushul Fikih klasik disusun secara sempit dan dibatasi oleh logika formal untuk menghadapi perubahan masyarakat.51 ‘Ali> Jum‘ah juga mengatakan bahwa ilmu Ushul Fikih bukanlah cabang ilmu yang sudah sempurna dan final, namun ia masih membutuhkan perbaikan agar lebih sesuai dengan perkembangan zaman. Ushul Fikih klasik perlu mendapat kajian kesimpulan bahwa beliau telah menempuh metode us}u>li> tertentu yang memiliki sifat terbuka dan luwes. Lihat al-Tura>bi>, Tajdi>d Us}u>l,16. 49 Al-Tura>bi, Tajdi>d al-Fikr, 56. 50 Al-Tura>bi, Tajdi>d al-Fikr, 58. 51 Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories; An Introduction to Sunni Us}ul Fiqh (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), cet. ke-3, 337-338.

89

dan penulisan ulang disesuaikan dengan konteks kekinian. Tidak hanya sampai di situ, beliau juga menghendaki terjadinya penambahan dalam muatan ilmu Ushul fikih. Namun demikian menurut ‘Ali> Jum‘ah, apa yang dilontarkan oleh H{asan al-Tura>bi> baru sebatas wacana dan usulan terhadap rekonstruksi mengenai ilmu Ushul Fikih dan belum menyentuh kepada rekonstruksi dalam Ushul Fikih itu sendiri. H{asan al-Tura>bi> tidak menjelaskan tema mana saja yang sudah tidak sesuai dengan konteks kekinian dan juga tema apa yang perlu ditambahkan agar lebih sesuai dengan situasi dan kondisi.52 Demikianlah pendapat al-Tura>bi> tentang kelemahan pemikiran Islam dan kelemahan teori Ushul Fikih klasik dalam menjawab problematika modern, sehingga harus dilakukan pembaruan. Adapun pokok-pokok formulasi pembaruan al-Tura>bi>, akan dipaparkan pada bab berikutnya. C. Gagasan Formalisasi Syariat Ada hubungan langsung antara aktivitas al-Tura>bi> sebagai seorang pemimpin politik di Sudan dengan pendekatannya tentang konsep negara Islam. Pendekatan yang pertama menganjurkan agar program islamisasi Undang-undang dan masyarakat yang formal diciptakan dan diarahkan oleh negara itu sendiri. Sedangkan pendekatan yang kedua, memandang suatu negara Islam produk akhirnya adalah islamisasi masyarakat. Dalam hal ini al-Tura>bi> mengatakan bahwa sebuah negara Islam tidak dapat dipisahkan dari masyarakat, karena Islam merupakan jalan hidup yang komprehensif dan terpadu, berbeda dengan konsep swasta dan publik, negara dan masyarakat, seperti yang dikenal dalam budaya Barat. Negara hanyalah ekspresi politik suatu masyarakat Islam. Pelbagai usaha pembentukan aturan politik dan peletakan Undangundang untuk pendirian masyarakat Islam sejati mesti dilakukan.53 Di atas sangat jelas terlihat bahwa al-Tura>bi> memberikan perspektif yang konsisten secara teoritis terhadap hubungan antara 52

‘Ali> Jum‘ah, Qad}iyah Tajdi>d Us}u>l al-Fiqh (Kairo: Da>r al-Hida>yah, 1413 H/ 1993 M), cet. ke-2, 21-22. 53 H{asan al-Tura>bi>, ‚Principles of Governance, Freedom, and Responsibility in Islam,‛ American Journal of Islamic Social Sciences No. 4, (1987), 34.

90

negara dan Islam tidak dapat dipisahkan. Bagi al-Tura>bi>, identitas Islam Sudan merupakan implikasi dari mayoritas penduduk yang terdiri dari umat Islam dan bentuknya adalah penerapan syariah. Syariah biasanya diklasifikasi ke dalam ibadah dan muamalah. Ibadah mengatur hubungan antara manusia dengan Allah, sedangkan muamalah mengatur hubungan antara manusia dengan sesama manusia. Syariat ditujukan untuk melindungi agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Al-Tura>bi> telah melakukan integrasi fikih Islam ke dalam konstitusi negara. Hasilnya, pada 1983, Sudan resmi menjadi negara Islam dengan syariat Islam sebagai konstitusi. Pandangan H{asan al-Tura>bi> mengenai akal dan wahyu merupakan dua interaksi yang disinergiskan untuk mencapai pembaruan dalam pemikiran Islam terutama dalam upaya pencarian basis intelektual dari hubungan antara realitas Islam dan realitas politik. Hubungan antara Islam dan politik itu tidak dapat dipisahkan satu sama lain, serta harus diejawantahkan ke dalam konsep negara Islam.54 Dalam Islam, tidak dikenal nama atau istilah untuk sebutan defenitif bagi pemimpin, namun yang terpenting adalah yang bisa menjamin pelaksanaan pemerintahan secara efektif dan aspiratif serta mampu melindungi ummat, baik khalifah, Amirul Mu’minin, Presiden Republik, Perdana Menteri, atau yang lain. Dalam pemerintahan Islam, pemimpin tidak memiliki kekuasaan absolut dan kekebalan khusus terhadap hukum. Pemimpin harus tunduk pada syariah dan ijma>‘, serta rumusan-rumusan yang merujuk kepada al-Qur’an dan sunnah. Kemudian, yang juga disoroti oleh al-Tura>bi> adalah lembaga perwakilan yang disebut dengan ahl alshu>ra atau Majelis Syura. Menurutnya, pengajuan para calon anggotanya diserahkan sepenuhnya kepada suatu lembaga netral yang akan menjelaskan kepada rakyat tentang para tokoh dan kebijakan politiknya. Konsep ini sangat berbeda dengan konsep Barat, di mana anggota parlemennya dipilih melalui pemilu. Ajaran Islam tidak memperkenankan adanya kampanye untuk diri sendiri. Dalam hal pengadilan, al-Tura>bi> mengatakan, walaupun 54

Artikel ini diakses pada 20 September 2012 dari http://grms.multiply. com/journal/item/12

91

pejabat peradilan termasuk bagian dari pemerintahan, namun ia memiliki peranan penting yang luar biasa dalam suatu negara Islam. Syariah adalah hukum tertinggi yang berasal dari wahyu yang mesti diikuti oleh rakyat berdasarkan ijma>‘, serta berdasarkan perintah pemimpin dan peraturan eksekutif. Dengan demikian, para hakim adalah sebagai pengawal syariah yang bertugas memutuskan segala persoalan tentang hukum.55 Ketiga lembaga inilah menurut al-Tura>bi> yang mengatur masyarakat Islam dalam sistem negara Islam. Menurutnya, suatu negara Islam tidak dapat dipisahkan dari masyarakat, karena Islam adalah suatu cara hidup utuh yang menyeluruh. Pemisahan antara pribadi dan umum, negara dan masyarakat, seperti yang biasa terdapat dalam kebudayaan Barat, tidak dikenal dalam Islam.56 Substansi bentuk pemerintahan Islam menurut H{asan alTura>bi> ialah suatu bentuk demokrasi perwakilan. Namun bentuk ini menurutnya mempunyai batasan-batasan tertentu, di antaranya ialah suatu Republik Islam sesungguhnya bukan suatu pemerintahan langsung dari rakyat dan untuk rakyat. Negara Islam bukan juga merupakan pemerintahan ulama, walaupun dalam pemerintahan Islam representasi politik umat berada pada ulama. Umumnya para ulama menjauhkan diri dari pemerintahan dan tidak berkeinginan untuk bergabung dengan pemerintahan. Ulama besar dalam Islam dikenal mempunyai sikap negatif terhadap kekuasaan, seperti Abu> H{ani>fah dan para sufi. 57 Al-Tura>bi> juga mengatakan, negara Islam tidak lain adalah ungkapan politik dari suatu masyarakat Islam, dan sebuah negara Islam terbentuk setelah adanya masyarakat Islam. Cita-cita itu selanjutnya didefenisikan sebagai suatu sistem demokratis. Negara Islam didasarkan pada musyawarah (shu>ra) yang berarti suatu

55

Artikel ini diakses pada 20 September 2012 dari http://grms.multiply. com/journal/item/12 56 Artikel ini diakses pada 20 September 2012 dari http://grms.multiply. com/journal/item/12 57 Artikel ini diakses pada 20 September 2012 dari http://grms.multiply. com/journal/item/12

92

masyarakat demokratis di mana semua elemen masyarakat harus berpartisipasi.58 Musyawarah (shu>ra) semakin penting artinya bukan karena tantangan yang diberikan demokrasi modern kepada Islam, melainkan karena untuk kebangkitan Islam menyebabkan umat Islam harus kembali kepada akar dan sumber ajaran agama mereka, termasuk shu>ra. Kembali kepada shu>ra berarti adanya usaha untuk memahami shu>ra, menyempurnakan, dan menerapkannya kembali dalam kehidupan masyarakat. Shu>ra yang diterapkan pada periode Rasulullah SAW., khalifah Abu> Bakar al-S{iddi>q, dan ‘Umar ibn Khat}t}a>b tidak lagi diterapkan selama berabad-abad. Demi kebangkitan Islam, shu>ra kembali penting dan mengikat umat serta pemimpinnya. Dalam periode modern ini, shu>ra dapat dirumuskan ke dalam bentuk perwakilan di parlemen atau dewan permusyawaratan. Selain itu, shu>ra dapat juga diterapkan secara langsung melalui referendum.59 Mengenai hubungan antara masyarakat madani dan negara, al-Tura>bi> menegaskan bahwa masyarakat pada umumnya harus dibebaskan dari campur tangan negara. Jika suatu ketika masyarakat gagal menjalankan fungsinya, pemerintah harus turun tangan. Akan tetapi pemerintah harus mengundurkan diri dari fungsi itu jika masyarakat mengambilnya kembali.60 Sehubungan dengan persoalan identitas Sudan, H{asan alTura>bi> menegaskan bahwa Islam harus menjadi bagian dari identitas Sudan. Al-Tura>bi> menghendaki agar kawasan Sudan mempunyai jati diri yang istmewa. Identitas Islam Sudan bagi alTura>bi> merupakan implikasi dari mayoritas penduduk terdiri umat Islam, dan bentuknya adalah penerapan syariah. Mengenai hak-hak golongan non Muslim dalam pemerintahan Islam, menurut al-Tura>bi> harus berlandaskan pada prinsip-prinsip toleransi dalam Islam. Non Muslim mempunyai hak yang dijamin untuk menganut dan menjalankan keyakinannya. 58

Jhon L. Esposito dan Jhon O. Voll, Demokrasi di Negara-negara Muslim; Problem dan Prospek, Terj. Rahmani Astuti (Bandung: Mizan, 1999), 121.

59

Taufik Abdullah (ed), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Dinamika Masa Kini (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Houve, 2002), 71. 60 Taufik Abdullah (ed), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, 75.

93

Mereka juga berhak untuk mengatur kehidupan pribadi mereka. Bila ada aturan dalam syariah yang bertentangan dengan keyakinan mereka, mereka dapat dibebaskan dari ketentuan tersebut. Ahl al-dhimmah merupakan konsep status kaum minoritas dalam pemerintahan Islam. Menurut al-Tura>bi>, ahl aldhimmah adalah orang-orang yang terikat dengan perjanjian dan tanggungjawab. Mereka berada dalam tanggungjawab pemerintahan Islam. Mereka adalah kaum minoritas yang lemah, oleh sebab itu pemerintah wajib bersikap adil terhadap mereka.61 Dalam konteks Sudan, pada dasarnya al-Tura>bi> memandang Sudan Selatan sebagai wilayah berbeda dari Utara tidak hanya secara teritorial, tapi juga sosial kultural. Ciri pembedanya adalah keislaman dan kearaban. Di Selatan, pengaruh Arab dan Islam sangat kecil dan politik imprialisme mengucilkannya dari Utara. Hal ini menimbulkan masalah tersendiri bagi Sudan. Masalah yang juga dihadapi oleh negara-negara Arab yang memiliki minoritas non Muslim dan bukan Arab yang signifikan di dalam negeri. Sebagai implikasi dari kenyataan ini, menurut al-Tura>bi> menjadikan kearaban atau Islam sebagai dasar persatuan menjadi problematis.62 Agenda Partai NIF menurut al-Tura>bi> sejak semula tidak terfokus pada umat Islam Utara saja, tapi juga mengintegrasikan umat Islam di Selatan ke dalam gerakan Islam yang ia pimpin. Pandangan al-Tura>bi> yang lebih penting lagi adalah dalam persoalan perbedaan etnis, budaya, dan agama di Selatan dapat dijadikan laboratorium untuk memajukan humanisme Islam dalam menangani kelompok-kelompok minoritas yang hidup di tengahtengah umat Islam.63 Dokumen penting yang dihasilkan H{asan al-Tura>bi> dan NIF adalah apa yang disebut dengan ‚Piagam Sudan‛(Sudan Charter) yang dikeluarkan pada 1987. Ia mengklaim bahwa piagam ini bersumber dari fikih al-Qur’an dan sunnah serta sesuai dengan 61

Artikel ini diakses pada 20 September 2012 dari http://grms.multiply. com/journal/item/12 62 H{asan al-Tura>bi>, al-H{arakah al-Isla>miyyah fi> al-Sudan; al-Tat}awwu>r wa al-Kash wa al-Manhaj (Lahore: Ima>n, 1410 H/ 1990 M), 172. 63 Samsurizal Panggabean, ‚Politik dan Agama di Sudan; al-Tura>bi> dan Masalah Selatan,‛ Islamika No. 6, (1995), 51.

94

realitas Sudan. Piagam Sudan menetapkan sistem otonomi provinsi untuk seluruh wilayah Sudan dan tidak menetapkan aturan khusus bagi wilayah Selatan. NIF mendukung penerapan sistem federal dalam aturan konstitusi yang terdesentralisasi di Sudan dengan kedudukan setara bagi setiap wilayah atau dengan aturan-aturan khusus bagi sejumlah wilayah tertentu dan melalui proses transisi secara bertahap. Di dalam struktur ini, wilayahwilayah dengan mayoritas non Muslim dapat memilih penerapan Undang-undang yang didasarkan atas adat-istiadat atau agama yang berlaku di wilayah tersebut.64 Banyak para ulama, baik dari Sudan sendiri maupun internasional merespons pemikiran-pemikiran H{asan al-Tura>bi> ini, baik yang pro maupun yang kontra. Seperti Basheer Na>fi‘, ketua World and Islam Studies Enterprise (WISE) mengatakan bahwa alTura>bi> adalah seorang pakar hukum dengan kepribadian yang hangat, pemikir yang kritis, dan memiliki visi yang luas ke depan serta mengarah kepada kemampuan untuk menciptakan sebuah gagasan independen. Selain yang pro, ada juga kritik dari Mah}mu>d Muh}ammad T{ah> a untuk H{asan al-Tura>bi>. T{aha adalah seorang ulama Sudan serta pendiri Republican Brothers (Persaudaraan Republik). Ia mengritisi ideologi al-Tura>bi> mengenai pembaruan (tajdi>d). Pada Januari 1985, lewat dekrit, Numeiri menangkap serta menggantung T{aha atas tuduhan murtad, karena Republican Brothers menentang upaya Numeiri menerapkan syariat sebagai konstitusi negara sejak 1983.65 Mah}mu>d T{a>ha berpendapat bahwa al-Tura>bi> memahami makna tajdi>d atau pembaruan menyimpang dari pemahaman mainstream umat Islam selama ini. Al-Tura>bi> memahami makna tajdi>d tidak sejalan dengan maksud hadis Nabi tersebut. Menurutnya, al-Tura>bi> memaparkan gagasan tajdi>d jauh dari ajaran Islam yang lurus. Al-Tura>bi> dan kelompoknya menyebarkan buletin-buletin yang dianggap banyak kerancuan di dalamnya,

64

Esposito dan Jhon O. Voll, Demokrasi di Negara-negara Muslim, 128. Taufik Adnan Amal dan Samsurizal Panggabean, Politik Syariat Islam , dari Indonesia hingga Nigeria (Bandung: Mizan, 2004), 117. 65

95

seperti memperbarui pemikiran islami, pembaruan Ushul Fikih, hadis, dan ilmu-ilmu keislaman lainnya.66 ‘Abdulla>hi Ah}med al-Na>‘im, murid Mah}mu>d T{a>ha, yang merupakan pakar hukum internasional juga gencar mengritik H{asan al-Tura>bi>. Al-Na>‘im sekarang menjabat Direktur Eksekutif Africa Watch, sebuah lembaga pengamat hak-hak asasi di Afrika. Ia mengritik al-Tura>bi> dan NIF-nya yang berusaha memberi pembenaran terhadap usaha mereka mendirikan negara Islam Sudan.

66

Mah{mud Muh}ammad T{a>ha, Pembaruan Pemikiran Islam; Sebuah Upaya Tipudaya-Belajar dari Kasus Sudan, Terj. M. Thalib (Surabaya: Amar Press, 1987), 9.

96

BAB V REFORMULASI KONSEP QIYA<bi> mengatakan bahwa konsep qiya>s konvensional sebagaimana yang dikemukakan oleh ulama klasik yang nota bene memiliki syarat dan aturan yang ketat tidak relevan lagi digunakan untuk konteks sekarang. Al-Tura>bi> juga mensinyalir masuknya silogisme logika Yunani dalam konsep qiya>s sebagai penyebab kurang berdayanya qiya>s dalam menghasilkan hukum. Selain itu, ia juga mendorong untuk menggunakan istis}h}ab> sebagaimana konsep istis}h}ab> yang dipahami oleh Ibn H{azm. Dalam bab ini akan dipaparkan secara global konsep qiya>s perspektif ulama klasik, latar belakang sejarah qiya>s dari pra al-Sha>fi‘i> hingga pasca al-Sha>fi‘i>. Selain itu juga akan dijelaskan konsep is}tis}h}ab> perspektif Ibn H{azm, di mana al-Tura>bi> sangat memuji fikih Ibn H{azm tersebut. A. Pergeseran Qiya>s ; dari Ekspansif ke Terbatas Berdasarkan keyakinan bahwa tidak ada yang luput dari hukum Allah, maka setiap Muslim meyakini bahwa setiap kasus atau peristiwa yang terjadi pasti ada hukumnya. Sebagian hukumnya itu dapat dilihat secara jelas dalam nash syara‘, namun sebagian yang lain tidak jelas. Di antara yang tidak jelas hukumnya itu mempunyai kesamaan sifat dengan kasus yang sudah jelas hukumnya. Dengan konsep muma>thalah, peristiwa yang tidak jelas hukumnya itu dapat disamakan hukumnya dengan yang ada nashnya, maka cara penetapan hukum seperti ini dapat dikatakan menggunakan nash syara‘ secara tidak langsung. Usaha istinba>t} dan penetapan hukum yang menyamakan, maka metode penyamaan inilah yang disebut oleh ahli fikih dengan qiya>s (analogi). Qiya>s merupakan suatu cara penggunaan ra’yu untuk menggali hukum syara‘ apabila al-Qur’an dan sunnah tidak menetapkan hukumnya secara jelas. Pada dasarnya ada dua macam cara penggunaan ra’yu, yaitu penggunaan ra’yu yang masih merujuk kepada nash dan penggunaan ra’yu secara bebas tanpa 97

mengaitkannya dengan nash. Meskipun Qiya>s tidak menggunakan nash secara langsung, tetapi karena merujuk kepada nash, maka dapat dikatakan bahwa qiya>s juga sebenarnya menggunakan nash, namun tidak secara langsung.1 Secara etimologi (bahasa) Qiya>s (‫ (قٌاس‬merupakan ism mas}dar dari ‫قاس‬, dengan makna ‫( قدر‬ukuran).2 Secara terminologi (istilah), Qiya>s mempunyai beberapa defenisi yang dikemukakan oleh para ulama Ushul Fiqh. Sekalipun redaksinya berbeda, tetapi memiliki substansi yang sama. Di antaranya kemukakan oleh H{asan Hito:

‫رد فرع إلى أصل بعلة تجمع بٌنهما فً الحكم‬ (Mengembalikan hukum furu>‘ (cabang) kepada hukum asal disebabkan adanya ‘illah yang sama diantara keduanya). 3 Menurut Abu> al-Wafa>’ ‘Ali> ibn ‘Aqi>l ibn Muh}ammad ibn ‘Aqi>l al-H{anbali>:

,‫الجمع بٌن متشابهٌن الستخراج الحكم الذي ٌشهد به كل واحد منهما‬ ‫وال ٌخلوا كل واحد منهما من أن ٌشهد بمثل ما شهد به األخر أو‬ . ‫نظٌرة‬ (Mengumpulkan antara dua hal yang serupa untuk mendapatkan hukum berdasarkan kesamaan satu dengan yang lain, dan terdapat kesamaan di antara keduanya sebagaimana terdapat pada yang lain atau sama-sama ada indikasinya).4 Menurut S{adr al-Shari>‘ah (tokoh Ushul Fikih mazhab H{anafi>):

‫تعدٌة حكم من األ صل إلى الفرع بعلة متحدة ال تعرف بمجرد اللغة‬

1

Amir Syarifuddin, Ushul Fikih (Jakarta: Kencana, 2009), j. 1, 157. H{asan Hito, Khula>s}ah fi> Us}u>l al-Fiqh (Quweit: Da>r al-D{iya>’, 1426 H/ 2005 M), 111. 3 Hito, Khula>s}ah fi> Us}u>l al-Fiqh,111. 4 Abu> al-Wafa>’ ‘Ali> ibn ‘Aqi>l ibn Muh}ammad ibn ‘Aqi>l al-H{anbali>, alWad}i>h} fi> Us}u>l al-Fiqh (Mu’assasah al-Risa>lah, 1420 H/ 1999 M), 433. 2

98

(Memberlakukan hukum asal kepada hukum furu’ disebabkan adanya kesamaan dan tidak dapat di ketahui melalui pendekatan bahasa saja).5 Sekalipun terdapat perbedaan redaksi dalam beberapa defenisi yang telah dikeemukakan pakar ushul tentang qiya>s, tetapi mereka sepakat menyatakan bahwa proses penetapan hukum melalui metode qiya>s bukanlah menetapkan hukum dari awal, melainkan hanya menyingkap dan menjelaskan hukum yang ada pada suatu kasus yang belum jelas hukumnya. Penyingkapan dan penjelasan ini dilakukan melalui pembahasan yang mendalam dan teliti terhadap ‘illah dari suatu kasus yang sedang dihadapi. Apabila ‘illah nya sama dengan illah yang disebutkan dalam nash, maka hukum terhadap kasus yang dihadapi itu adalah hukum yang telah ditentukan oleh nash. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pemakaian qiya>s (analogi) hanya dibenarkan apabila jalan keluar dari kasus baru tidak ditemukan dalam al-Qur’an, hadis, atau ijma>‘. Penggunaan analogi atau qiya>s hanya dibolehkan seperti dalam ketentuan tersebut, tidak dibenarkan dalam usaha penemuan hukum. Persoalan penting lainnya yang dapat dapat ditangkap dari defenisi di atas adalah adanya ‘illah. Unsur ini adalah sangat penting sebagai pertimbangan logis suatu hukum. ‘Illah dalam konteks ini maksudnya adalah ratio-legis (alasan hukum) yang ada pada nash sama dengan ratio-legis hukum yang ada pada kasus yang sedang dihadapi. Karena adanya hubungan dan kesamaan ratio-legis tersebut, maka hukum dari kasus yang sedang dihadapi disamakan dengan ketentuan hukum yang telah ditentukan oleh nash tersebut. Dalam hal penerimaan ulama terhadap qiya>s sebagai sumber hukum, Muh}ammad Abu> Zahrah membagi menjadi tiga kelompok; pertama, jumhur ulama yang sepakat menjadikan qiya>s dalam halhal yang tidak terdapat hukumnya dalam nash al-Qur’an, sunnah, dan ijma>‘ ulama. Mereka menggunakan qiya>s secara tidak berlebihan dan tidak melampaui batas kewajaran. Kedua, ulama 5

Muh}ammad al-Hud}ari> Beik,Us}u>l al-Fiqh (Kairo, Da>r al-Fikr al-‘Arabi>, 1409 H/ 1988 M), 98.

99

Zhahiriyyah dan Syi‘ah Imamiyyah yang menolak penggunaan qiya>s secara mutlak. Zhahiriyyah juga menolak penemuan‘illah atas suatu hukum dan menganggap tidak perlu mengetahui tujuan ditetapkan suatu hukum syara‘. Ketiga, kelompok yang menggunakan qiya>s secara luas dan mudah. Mereka pun berusaha menggabungkan dua hal yang tidak terlihat kesamaan ‘illah di antara keduanya kadang-kadang memberi kekuatan yang lebih tinggi terhadap qiya>s, sehingga qiya>s dapat membatasi keumuman sebagian ayat al-Qur’an atau sunnah.6 Ulama-ulama klasik menentapkan beberapa unsur atau rukun yang ketat dan harus terpenuhi untuk melakukan qiya>s, yaitu: [1] As}l, yaitu masalah yang akan di-qiya>s-kan kepadanya dan sudah ada nash yang menetapkan hukumnya. [2] Furu>‘ (hukum cabang atau turunan), yaitu kejadian baru yang tidak terdapat hukumnya di dalam al-Qur’an, hadis ataupun ijma>‘. [3] Hukum asal, yaitu hukum yang yang telah ditetapkan oleh sha>ri‘ (Allah) sebagai hukum hukum asal. [4] ‘Illah, yaitu sifat yang terkumpul antara as}l dan furu>‘.7 Ulama klasik juga mengelompokkan qiya>s menjadi beberapa macam. Pertama, dari segi kekuatan ‘illah qiya>s terbagi dua, yaitu; [1] Qiya>s aulawi>, yaitu qiya>s yang berlakunya hukum pada furu>’ lebih kuat dari pemberlakuan hukum pada as}l karena kekuatan ‘illah pada furu>’. [2] Qiya>s musa>wi>, yaitu qiya>s yang berlakunya hukum pada furu>’ sama keadaannya dengan berlakunya hukum pada as}l karena kekuatan ‘illah-nya sama. [3] Qiya>s adna, yaitu qiya>s yang berlakunya hukum pada furu’ lebih lemah dibandingkan dengan berlakunya hukum pada as}l meskipun qiya>s tersebut memenuhi persyaratan. Kedua, dari segi kejelasan ‘illah- nya, qiya>s terbagi dua, yaitu; [1] Qiya>s ma‘na atau qiya>s jali>, yaitu qiya>s yang ‘illah-nya ditetapkan dalam nash sama dengan penetapan hukum as}l. [2] Qiya>s shibh atau qiya>s khafi>, yaitu qiya>s yang‘illah-nya tidak disebutkan dalam nash.8

6

Amir Syarifuddin, Ushul Fikih, 164 ‘Abdul Wahha>b Khalla>f, ‘Ilm Us}u>l al-Fiqh (Kairo: al-Nashr li al-T{iba>’ah wa al-Nashr wa al-Tauzi>’, 1413 H/ 1992 M), 79. 8 Al-A, al-Ih}ka>m fi> Us}u>l al-Ah}ka>m (Beiru>t: Da>r al-Kutub al‘Ilmiyyah, 1404 H/ 1983 M), j, 3, 22-68. 7

100

Sumber hukum Islam yang paling mendasar pada tahap awal perkembangan Islam adalah al-Qur’an, yang kemudian diperinci dan ditafsirkan oleh Rasulullah melalui sunnahnya karena penjelasan al-Qur’an tersebut tidak selamanya tegas dan terperinci (tafs}i>li>), melainkan kebanyakannya hanya berifat global (ijma>li>). Pada tahap selanjutnya, setelah Rasulullah wafat dan permasalahan hukum semakin berkembang, maka dibutuhkan penalaran dan penafsiran ulang terhadap teks-teks keagamaan tersebut, yang dikenal dengan istilah ijtihad. Sebagai pemangku wewenang untuk memberi penjelasan di satu sisi, dan menghadapi realitas sosial yang berkembang di sisi lain, Rasulullah terkadang harus menggunakan akal yang disebut dengan ijtihad dalam penerapan hukum. Ijtihad Rasulullah tersebut pada dasarnya merupakan pengungkapan ilham ilahi dan pemahaman mendalam terhadap semangat hukum (ru>h} al-tashri>‘), mengingat apapun yang diucapkannya bukanlah berdasarkan hawa nafsu melainkan wahyu Tuhan kepadanya. Adapun bentuknya terkadang dilakukan secara kolektif yakni musyawarah bersama para sahabat atau dilakukan secara pribadi dengan memproyeksikan kasus yang tidak ada aturan hukumnya dengan kasus yang ada aturan hukumnya dalam al-Qur’an, yang disebut dengan qiya>s, sekalipun dalam pengertian luas.9

9

Al-A, al-Ih}ka>m fi> Us}u>l al-Ah}ka>m, 141. Memang terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai apakah Nabi pernah melakukan ijtihad atau tidak. Pendapat pertama, mengatakan bahwa Nabi boleh dan mungkin saja melakukan ijtihad. Alasannya, Allah menegur Nabi atas apa yang diperbuatnya seperti yang diterangkan dalam QS. al-Anfa>l ayat 67 dan al-Taubah ayat 43. Adanya kritik Allah atas apa yang diperbuat Nabi itu menunjukkan bahwa apa yang diperbuat Nabi dalam kedua kasus tersebut adalah semata-mata atas hasil buah pikirannya dan tidak bersandarkan wahyu. Hal ini berarti Nabi telah melakukan ijtihad. Pendapat kedua mengatakan, Nabi tidak pernah melakukan ijtihad. Di antara alasannya adalah Nabi sering tidak memberikan jawaban atas suatu pertanyaan yang diajukan kepadanya. Seandainya Nabi dapat melakukan ijtihad, tentu Nabi tidak perlu menunggu turunnya wahyu, tetapi dapat langsung memberikan jawaban dengan ijtihad. Pendapat ketiga mencoba mengambil jalan tengah. Kelompok ini berpendapat bahwa Nabi dapat dan pernah melakukan ijtihad dalam urusan keduniaan terutama dalam masalah peperangan, tetapi tidak ber- ijtihad dalah urusan hukum syara‘. Lihat Amir Syarifuddin, Ushul Fikih (Jakarta: Kencana, 2009), j. 2, 244-247.

101

Setelah Rasulullah wafat, otoritas penyelesaian hukum berpindah kepada para sahabat. Mereka mengadopsi cara-cara yang dilakukan Rasulullah dalam penyelesaiannya, yaitu mulamula dengan merujuk kepada al-Qur’an dan selanjutnya beralih kepada hadis Nabi, jika tidak ditemukan aturan hukumnya dalam al-Qur’an tersebut. Ketika dibutuhkan mereka melakukan ijtihad berdasarkan kemampuan pandangan mereka terhadap maknamakna nash dari aspek latar belakang historis, tujuan-tujuan dan alasan-alasan hukum, serta berdasarkan pengetahuan bahasa Arab yang dimiliki. Mereka tidak menggunakan kaidah-kaidah sistematik dan ketat seperti yang dirumuskan oleh para ahli hukum Islam sesudahnya.10 Seiring dengan meluasnya wilayah kekuasan Islam dan terjadinya interaksi sosial antara kaum Muslimin dan penduduk asli, terutama setelah periode sahabat, maka kasus-kasus baru yang diperlukan aturan hukumnya juga bermunculan. Dalam menghadapi pelbagai peroalan hukum yang semakin kompleks ini, para ta>bi‘i>n dan ta>bi‘ ta>bi‘i>n berusaha secara maksimal untuk menyelesaikannya dengan mengikuti langkah Rasulullah dan para sahabat, bahkan mengembangkan metode-metodenya. Para ahli hukum Islam berikutnya memberi penafsiran metode ijtihad yang dilakukan oleh para sahabat tersebut, dan cenderung memproyeksikannya kepada konsep-konsep yang berkembang pada periode kematangan pemikiran hukum Islam. Para ulama fikih pada periode permulaan, mereka masih menggunakan istilah-istilah yang berbeda-beda satu sama lain. Mereka dalam menetapkan hukum masih berpegang pada kaidah yang pada gilirannya dikenal dengan mas}al> ih} al-mursalah, yang hanya bertujuan menghasilkan manfaat dan menghindarkan kemudaratan yang tidak tercantum hukumnya dalam nash sebagai sumber utama syariat, serta tidak tercantum hukumnya secara spesifik. Selain itu, mereka juga mengambil langkah sadd alzari>‘ah (tindakan preventif), yaitu menutup sebagaian persoalan 10

Muh}ammad Mu>sa, al-Ijtiha>d wa Mada H{a>jatina> Ilaih fi> Ha>dha> al-‘As}r (Kairo: Da>r al-Kutub al-H{adi>thah, t.t), 37. Lihat juga Muh}ammad ‘Ali> al-Sa>yis, Nash’ah al-Fiqh al-Ijtiha>d wa At}wa>ruh (Kairo: Silsilah Buhu>th al-Isla>miyyah, 1390 H/ 1970 M), 6.

102

mubah, apabila hal itu akan membuka jalan bagi tindakan yang haram bagi orang yang melakukannya.11 Khud}ari> Beik (w. 1938 M) mengatakan bahwa ijtihad para sahabat semuanya terhimpun ke dalam konsep qiya>s.12 Sedangkan Abu> Zahrah mengatakan bahwa sebagian sahabat berijtihad dalam batas-batas pemahaman al-Qur’an dan sunnah, sedang sebagian yang lain menggunakan qiya>s dan mas}lah}ah.13 Sementara Sala>m Madhku>r berpendapat bahwa ijtihad para sahabat itu tersimpul dalam tiga bentuk; pertama, menafsirkan nash-nash, kedua, menggunakan metode qiya>s, dan ketiga, menggunakan maslah}ah mursalah dan istih}sa>n.14 Terlepas dari apapun interpretasi tentang bentuk dan namanya, kreasi ijtihad mereka disebabkan kuantitas nash hukum terbatas, sedangkan kasus hukum yang muncul tidak terbatas. Ditambah lagi penjelasan al-Qur’an tersebut tidak selamanya tegas dan terperinci, melainkan kebanyakannya hanya berifat global. Ahli-ahli hukum Irak seperti Abu> H{ani>fah (w.150 H), disamping menggunakan al-Qur’an, sunnah, qaul s}ah}a>bi>, ijma>‘ dan ‘urf, banyak menggunakan akal dalam bentuk qiya>s dan istih}sa>n, sehingga ia sering disebut imam aliran ahl al-ra’y. Dalam memperoleh suatu hukum yang tidak ada dalam nash, kadangkadang ulama mazhab ini meninggalkan kaidah qiya>s dan menggunakan kaidah istih}sa>n. Alasannya, kaidah umum (qiya>s) tidak bisa diterapkan dalam menghadapi kasus tertentu. Mereka dapat mendahulukan qiya>s apabila suatu hadis mereka nilai sebagai hadis ah}a>d.15 Sementara ahli-ahli hukum Madinah seperti Ma>lik (w. 179 H) lebih banyak menggunakan nash berupa al-Qur’an, sunnah, fatwa sahabat, dan tradisi penduduk Madinah. Alasannya adalah 11

Muh}ammad ‘Ali> al-Sa>yis, Nash’ah al-Fiqh al-Ijtihad wa At}wa>ruh, 86. Muh}ammad al-Khud}ari> Beik, Us}u>l al-Fiqh (Kairo: Da>r al-Fikr al‘Arabi>, 1409 H/ 1988 M),115. 13 Muh}ammad Abu> Zahrah, Ta>ri>kh al-Madha>hib al-Isla>miyyah fi> Ta>ri>kh al-Madha>hib al-Fiqhiyyah (Kairo: Da>r al-Fikr al-‘Arabi, t.t ), j. 2, 23. 14 Muh}ammad Sala>m Madhku>r, al-Madkhal li al-Fiqh al-Isla>mi> (Beiru>t: Da>r al-Fikr, t.t.), 22 15 Abu> Zahrah, Ta>ri>kh al-Madha>hib al-Isla>miyyah fi> Ta>ri>kh al-Madha>hib al-Fiqhiyyah, 130-160. 12

103

karena menurut Imam Ma>lik fatwa sahabat dan tradisi penduduk Madinah di zamannya adalah bagian dari sunnah Nabi. Namun Imam Ma>lik juga mengunakan rasio (ra’y) seperti qiya>s, almas}lah}ah al-mursalah, sadd al-zari>‘ah, istih}sa>n, dan istis}h}a>b. Adapun qiy>as jarang sekali digunakan oleh mazhab Ma>liki> ini. Bahkan mereka lebih mendahulukan tradisi penduduk Madinah dari pada qiya>s.16 Adanya perbedaan dua aliran di atas, membuat al-Sha>fi‘i> merasa terpanggil untuk melakukan moderasi. Ia mencoba merumuskan teori hukum yang memadukan pemikiran H{ana>fiyyah yang rasional dan pemikiran Ma>liki> yang tradisional. Coulson menyebut al-Sha>fi‘i> sebagai figur yang muncul secara tiba-tiba dalam menyelesaikan masalah yang sulit.17 Hasil usahanya ini melahirkan antara lain teori hukum Islam dalam kemasan empat sumber hukum yang banyak dipedomani oleh ahli hukum Islam, yaitu al-Qur’an, hadis, ijma>’ dan qiya>s.18 H{usein H{ami>d H{asan mengatakan bahwa dari sisi metode kaidah-kaidah hukum, al-Sha>fi‘i> adalah sebagai arsitek ilmu ushul membatasi ijtihad dengan cara menggunakan qiya>s. Menurutnya, qiya>s dan ijtihad adalah dua istilah yang identik.19 Menurut

16

Abu> Zahrah, Ta>ri>kh al-Madha>hib al-Isla>miyyah fi> Ta>ri>kh al-Madha>hib al-Fiqhiyyah, 214-219. Lihat juga ‘Ali> al-Sa>yis, Nash’ah al-Fiqh al-Ijtiha>d wa At}wa>ruh, 101-103. 17 N.J. Coulon, A History of Islamic Law (London: Edinburg University Press, 1964), 53. 18 Joseph Schacht, The Origin of Muhammadan Law (London: Oxford University Press, 1971), 141. 19 Namun menurut al-Bazdawi>, qiya>s tidak sama dengan ijtihad. Menurutnya, qiya>s dapat disebut ijtihad hanya secara metaforis (maja>z), sebab ijtihad adalah proses untuk menerapkan qiya>s. Kadang-kadang qiya>s disebut juga dengan naz}ar, karena dalam proses penerapannya melibatkan penalaran yang mendalam. Dalam menjelaskan pernyataan al-Bazdawi> di atas, ‘Abdul ‘Azi>z al-Bukha>ri> menyatakan bahwa pandangan al-Sha>fi‘i di atas berbeda dengan pandangan yang dijadikan pegangan oleh para ahli fikih secara umum. Bagi ‘Abdul ‘Azi>z al-Bukha>ri>, ijtihad lebih umum dari pada qiya>s. Qiya>s adalah salah satu cara ijtihad dan hanya selalu melalui prosedurnya, tetapi tidak demikian dengan ijtihad. Lihat ‘Abdul ‘Azi>z al-Bukha>ri>, Kashf al-Asra>r (Beiru>t: Da>r al-Fikr, 1421 H/ 2000 M), j. 3, 988.

104

doktrin ini, al-Sha>fi‘i> yakin bahwa hukum-hukum syariah semuanya dapat dicapai melalui media qiya>s.20 Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, al-Tura>bi> mengritik konsep qiya>s tradisional. Menurutnya, qiya>s tradisional tidak memadai bagi kebutuhan saat ini karena keterbatasan yang dimilikinya sebagai refleksi penggunaan kriteria logika formal pengaruh logika Yunani. Qiya>s mesti ditinjau kembali untuk meningkatkan kualitasnya dan menjadikannya sebagai sarana kebangkitan fikih.21 Sejarah mencatat, pada masa sahabat dan ta>b‘i>n, qiya>s muncul dalam bentuk yang liberal. Masing-masing mereka menganalogikan peristiwa baru yang serupa dengan peristiwa yang terjadi di masa Rasulullah. Kemudian mereka menetapkan hukumnya seperti di zaman Rasulullah. Akan tetapi kaum Muslim merasa takut tersesat menggunakan qiya>s yang tidak teratur ini dan lantas menghentikan penggunaan qiya>s seperti itu, dan selanjutnya menggantinya dengan logika formal analitis yang membakukan qiya>s dalam rumus detil dan mendalam yang hampir tidak melahirkan fikih baru. Pergeseran semacam ini sudah terpola dan menuntut pembaruan yang terus menerus. Ketika kaum Muslim memiliki banyak mujtahid, mereka merasa takut akan terjadi kekacauan.22 Muhammad Roy mengutip Ah}mad H{asan mengatakan bahwa qiya>s sebagai salah satu metode penetapan hukum yang disistematisasikan oleh al-Sha>fi‘i>, mengalami perubahan makna dan fungsi secara signifikan. Sebelum adanya pembakuan oleh alSha>fi‘i> dalam al-Risa>lah, qiya>s belum dalam formulasi yang baku. Qiya>s masih dalam bentuknya yang bebas sebagai suatu penalaran liberal dalam menentukan suatu hukum (reasoning). Qiya>s ini tidak terpaku ada syarat-syarat ketat yang membatasinya dari 20

H{usein H{ami>d H{asan, Naz}a>riyyah al-Mas}lah}ah fi> al-Fiqh al-Isla>mi> (Kairo: Da>r al-Nahd}ah al-‘Arabiyyah, 1396 H/ 1971 M), 317. 21 Lihat Lihat H}asan al-Tura>bi>, Tajdi>d al-Fikr al-Isla>mi> (Kharthoum: Da>r al-Qara>fi> li al-Nashr wa al-Tauzi>‘, 1413 H/ 1993 M), 60. Lihat juga H{asan alTura>bi>, Tajdi>d Us}u>l al-Fiqh al-Isla>mi> (Kharthoum: Maktabah Da>r al-Fikr, 1400 H/ 1980 M), cet. ke-1, 25. Lihat juga H{asan al-Tura>bi, Qad}a>ya> al-Tajdi>d Nah}wa Manhaj Us}u>li> (Beiru>t: Da>r al-Ha>di, 1421 H/ 2000 M), cet. ke-1, 166. 22 Al-Tura>bi>, Tajdi>d al-Fikr al-Isla>mi>, 41.

105

berpikir liberal, spekulatif, dan dinamis dalam menentukan masalah. Qiya>s sebagai penalaran hukum (legal reasoning) ini lazim disebut juga dengan istilah penalaran (ra’y). Ia berlaku mulai pada masa Abu> H{ani>fah sebagai panglima aliran ahl ra’y. Pemberlakuan qiya>s semacam ini menjadikan hukum Islam yang dinamis, liberal, dan akomodatif terhadap perubahan zaman. Hal ini karena hukum Islam tidak harus selalu terpasung dalam bayang-bayang teks zhahir dari al-Qur’an dan sunnah, yang sudah barang tentu hanya memuat sesuatu yang terbatas. Pada masa alSha>fi‘i> dan ulama ushul setelahnya, qiya>s menjadi suatu teori penalaran yang ketat, baku, dan kaku, sehingga sudah tidak menjadi penalaran hukum yang bebas dan aktual, melainkan menjadi penalaran hukum yang ‘tunduk’ di bawah bayang-bayang teks agama, yakni al-Qur’an, sunnah, dan ijma>‘. Pembakuan qiya>s oleh al-Sha>fi‘i> ini, menjadikan konsep qiya>s sebagai penalaran hukum yang tidak independen lagi, sempit, dan stagnan, karena kesimpulannya harus sesuai dengan premis mayornya yang diambil dari teks-teks suci.23 Perubahan konsep qiya>s oleh al-Sha>fi‘i>, dari qiya>s yang berarti ra’y atau penalaran bebas yang dinamis menjadi penalaran yang ‘tunduk’ di bawah premis mayornya yang diambil dari teks suci karena al-Sha>fi‘i> dan ulama ushul setelahnya24 pada waktu itu terpengaruh oleh salah satu disiplin ilmu Yunani, yaitu silogisme logika Aristoteles. Dengan kata lain, Ushul Fikih khususnya penalaran qiya>s-nya setelah terpengaruh oleh silogisme logika Aristoteles menjadi kurang produktif dan liberal.25 Hal inilah yang membuat konsep qiya>s menjadi tidak produktif lagi, sebagaimana

23

Muhammad Roy, Ushul Fikih Mazhab Aristoteles; Percakapan Logika Aristoteles dalam Qiya>s Ushul Fikih (Yogyakarta: Safiria Insani Press, 2004), cet. ke-1, 6-7. 24 Di dalam kitabnya al-Mustas}fa, al-Ghaza>li> menjadikan mantiq Aristo sebagai salah satu syarat sah ijtihad. Lihat Abu> H{ami>d al-Ghaza>li>, al-Mustas}fa min ‘Ilm Us}u>l (Beiru>t: Da>r al-Kutub al-‘ilmiyyah, 1404 H/ 1983 M), j. 1, 10. 25 Untuk informasi lebih lengkap mengenai keterpengaruhan Ushul Fikih oleh logika Aristoteles, baca misalnya Ta>ha Jabi>r al-‘Alwa>ni>, Source Methodologi in Islamic Jurisprudence (Herdon Virginia: International Institute of Islamic Thought, 1994), 3-4.

106

prinsip silogisme deduktif yang tidak mampu melahirkan pengetahuan baru yang orisinil.26 H{asan al-Tura>bi> juga mensinyalir masuknya logika silogisme Yunani ini menjadikan qiya>s terbatas kekuatannya di medan Ushul Fikih, dan mesti ditinjau kembali agar bisa meningkatkan kualitasnya dan menjadikannya sebagai sarana kebangkitan fikih. Menurut al-Tura>bi>, ungkapan-ungkapan yang terdapat dalam qiya>s sebenarnya amat luas sekali, mencakup makna yang bersifat abstrak, dan mencakup pula apa yang telah dibakukan oleh para fuqaha>’. Al-Tura>bi> menyebut konsep qiya>s seperti ini dengan qiya>s tertutup atau terbatas (al-qiya>s al-mah}du>d).Qiya>s tertutup atau alqiya>s al-mah}du>d ini menurut al-Tura>bi> hanya cocok untuk menjelaskan hukum nikah, sopan santun, atau tingkah laku. Namun untuk konteks sekarang, qiya>s tradisional ini tidak lagi mamadai untuk memecahkan persoalan, kecuali dengan qiya>s yang genuine, yang terbebas dari persyaratan-persyaratan yang demikian rumit yang digariskan oleh logika Yunani yang kemudian diadopsi oleh para fuqaha>’ yang hidup pada periode di mana fikih telah dikacaukan oleh para fuqaha>’ yang hidup pada periode di mana fikih telah dipengaruhi oleh pelbagai disiplin ilmu. Para fuqaha>’ dalam menetapkan hukum dengan mempertahankan status quo dan kekhawatiran akan terjadinya kekacauan dan perbedaan-perbedaan pandangan di mana pada saat itu fitnah sedang merajalela, dan tidak adanya kepastian hukum yang berdasarkan atas syara‘ dalam masalah-masalah sosial yang disistematisasikan oleh para penguasa.27 Roy juga mengutip Francis Bacon yang mengatakan bahwa logika deduktif-silogistik tidak memberikan manfaat sama sekali, karena tidak menambahkan sesuatupun pada kemampuan manusia untuk menguasai dunia dan alam. Bagi Bacon, logika deduktif tidaklah cukup untuk menemukan kebenaran, karena kepelikan alam jauh lebih besar dari pada kepelikan argumen.28 Fu’ad al-Ah}wa>ni> juga mengatakan, Ushul Fikih memang merupakan produk asli umat Islam, yaitu produk al-Sha>fi‘i>, tapi 26

Muhammad Roy, Ushul Fikih Mazhab Aristoteles, 17. Al-Tura>bi>, Tajdi>d Us}u>l, 27-28. Lihat juga al-Tura>bi>, Tajdi>d al-Fikr, 62. Lihat juga al-Tura>bi, Qad}a>ya> al-Tajdi>d, 168. 28 Muhammad Roy, Ushul Fikih Mazhab Aristoteles, 17-18. 27

107

dalam perkembangannya terpengaruh oleh tradisi Yunani, khususnya mantiq Aristoteles. Hal ini bisa dilihat dengan jelas dari kaidah-kaidah dasarnya yang keempat, yaitu qiya>s.29 Secara kronologis historis, qiya>s dipetakan menjadi dua fase, yaitu; pertama, qiya>s sebelum masa al-Sha>fi‘i>, yaitu formulasi qiya>s yang belum baku. Qiya>s masih dalam bentuknya yang bebas sebagai suatu penalaran liberal dalam menentukan suatu hukum (reasoning). Qiya>s ini tidak terpaku pada syarat-syarat yang ketat yang membatasinya dari berpikir liberal, spekulatif, dan dinamis dalam menentukan masalah. Qiya>s sebagai penalaran hukum (legal reasoning) ini lazim disebut juga dengan istilah penalaran (ra’y). Ini berlaku mulai pada masa Rasulullah sebagai embrionya dan semakin matang pada masa Abu> H{ani>fah sebagai panglima aliran ra’y. Kedua, qiya>s pada masa al-Sha>fi‘i> dan setelahnya, yaitu qiya>s yang sudah terkodifikasi dan terformulasikan dengan baku dalam al-Risa>lah. Qiya>s model ini mempunyai syarat-syarat yang ketat, baku, dan kaku, sehingga sudah tidak menjadi penalaran hukum yang bebas dan aktual, melainkan ‘tunduk’ di bawah bayangbayang teks-teks agama, yakni al-Qur’an, hadis, dan ijma>‘. Qiya>s model ini dimulai pada masa al-Sha>fi‘i> yang diformulasikan pertama kali dalam al-Risa>lah hingga ulama ushul sekarang.30 Qiya>s dalam bentuk yang sederhana, juga berlaku pada sunnah. Rasulullah diceritakan pernah meng-qiya>s-kan hukum mencium istri dalam keadaan berpuasa dengan hukum berkumurkumur bagi orang yang berpuasa. Jika berkumur-kumur tidak membatalkan puasa, maka mencium istri pun tidak membatalkan puasa. Nabi juga pernah meng-qiya>s-kan tidak najisnya air yang dijilati kucing karena seringnya berada di sekitar manusia (al29

Ah}mad Fu’ad al-Ahwa>ni>, al-Falsafah al-Isla>miyyah (Kairo: Maktabah al-Thaqa>fah, t.t), 31. 30 Lihat Muhammad Roy, Ushul Fikih Mazhab Aristoteles, 35. Ibn Qayyim mengatakan bahwa qiya>s pada masa awal (ra’y) adalah suatu keputusan yang dicapai oleh seorang mujtahid setelah melakukan pemikiran, perenungan, dan pencarian sungguh-sungguh akan kebenaran dalam kasus di mana petunjukpetunjuk yang diperoleh saling bertentangan. Dengan kata lain, ra’y berarti keputusan yang diyakini pasti diambil dari wahyu seandainya wahyu tersebut masih turun, atau oleh Rasulullah seandainya beliau masih ada. Lihat Ibn Qayyim al-Jauziyyah, A‘la>m al-Muwaqi‘i>n ‘an Rabb al-‘Alami>n (Berut: Da>r alJail, 1973), j. 1, 23.

108

tawwa>fu>n), dengan bolehnya anak-anak dan pelayan masuk rumah tanpa memperoleh izin kecuali pada tiga waktu terlarang (QS. 24: 58). Dalam qiya>s lughawi> Nabi ini, kucing disebut dengan altawwa>fu>n, sedangkan anak dan pelayan disebut juga oleh alQur’an dengan al-tawwa>fu>n.31 Penggunaan ra’y atau qiya>s dalam penetapan suatu hukum juga dilakukan oleh ‘Umar ibn Khat}t}a>b. Bahkan ra’y digunakan dalam masalah yang sudah ditegaskan oleh nash. Ijtihad ‘Umar misalnya menunjukkan bahwa peran ra’y begitu signifikan dalam menentukan hukum. Menurut Khud}ari> Beik, ‘Umar merupakan salah satu sahabat yang banyak melakukan penalaran ra’y dengan jalan qiya>s.32 Beberapa penalaran ‘Umar di antaranya adalah penangguhan tas}arruf zakat pada muallaf, pembagian rampasan perang, tidak diberlakukannya potong tangan bagi pencuri, melakukan ta‘zi>r dengan seratus kali cambukan, pengucapan talak tiga sekaligus dihitung tiga, dan memerdekakan umm al-walad. Muh}ammad Sala>m Madhku>r –sebagaimana yang dikutip Roy-, mengatakan bahwa ‘Ali> ibn Abi> T{a>lib juga banyak melakukan ijtihad dengan metode qiya>s, seperti meng-qiya>s-kan hukuman orang yang meminum khamar dengan hukuman orang yang melakukan zina.33 Roy mengutip Ah}mad H{asan yang mengatakan bahwa pengamalan qiya>s sebagai sebuah penalaran hukum yang umum dan liberal, semakin memasyarakat pada masa ta>bi‘i>n. Mazhab Irak yang diwakili oleh Abu> H{ani>fah dan kedua muridnya Abu> Yu>suf dan Shaiba>ni>, banyak mengeluarkan fatwa-fatwa yang berdasarkan para otoritas ra’y, meskipun tetap menggunakan nash. Abu> Yu>suf misalnya membenarkan akad muza>ra‘ah (menyewakan lahan pertanian), berdasarkan pada kebolehan akad bagi hasil 31

Lihat Muhammad Roy, Ushul Fikih Mazhab Aristoteles, 37. Menurut al-Sarkhasi, hadis tersebut memberikan contoh keabsahan qiya>s yang didasarkan pada nilai dan sebab perintah. Melalui hadis ini, Nabi mengajarkan kaum Muslimin untuk melakukan qiya>s dan menggunakan ra’y dalam istinba>t} hukum terhadap sesuatu yang baru. Lihat al-Sarkhasi>, Us}u>l al-Sarkhasi> (Kairo: Mat}ba‘ah al-Sa‘a>dah, t.t), j. 2, 130. 32 Untuk lebih jelasnya lihat Muh}ammad Khud}ari> Beik, Ta>ri>kh Tashri>‘ al-Isla>mi> (Kairo: Maktabah Tija>riyyah, 1380 H/ 1960 M), 114. Lihat juga Abu> Zahrah, Ta>ri>kh al-Madha>hib al-Isla>miyyah, 23. 33 Lihat Muhammad Roy, Ushul Fikih Mazhab Aristoteles, 37-38.

109

(mud}a>rabah). Sementara kebolehan mud}a>rabah sendiri merupakan hasil dari peng-qiya>s-an kebolehan akad musa>qah (menyewakan kebun buah-buahan) yang diperbolehkan oleh Nabi. Dengan demikian, kebolehan muza>ra‘ah didasarkan pada qiya>s ganda, atau qiya>s yang didasarkan pada hasil qiya>s.34 Jenis penalaran oleh mazhab Irak ini menggambarkan penggunaan far‘ yang liberal dengan sistematis. Di samping itu, fenomena qiya>s ganda ini memperlihatkan bahwa preseden yang menjadi landasan orisinil qiya>s, bukan sesuatu yang mutlak, dan lebih dari itu, qiya>s bisa saja berupa argumentasi rasional yang bersifat umum. Berdasarkan beberapa contoh qiya>s yang berkembang pada mazhab hukum awal, berarti mengandung aturan kesepadanan, preseden, akal, dan ketetapan hukum yang telah ada. Kesamaan yang sedikit saja dianggap cukup untuk melakukan qiya>s bagi mujtahid awal dan tidak ada aturan-aturan yang susah dan ketat bagi pelaksanaannya. Lebih dari itu, menurut fuqaha>’ Irak, qiya>s bagi mereka pada dasarnya adalah ra’y, yaitu penemuan suatu hukum baru berdasarkan pada perenungan, penalaran, dan analisis sosial yang menekankan pada ruh keadilan Islam.35 Implikasi dari pemberlakuan qiya>s semacam ini menyebabkan hukum Islam yang dinamis, liberal, dan akomodatif terhadap perubahan zaman. Hal ini karena hukum Islam tidak harus selalu terpasung dalam bayang teks zhahir dari al-Qur’an dan sunnah, yang sudah barang tentu hanya memuat sesuatu yang terbatas. Penggunaan ra’y yang liberal telah memberikan lahan subur bagi berkembangnya beraneka ragam hukum masyarakat, tidak jarang satu permasalahan hukum mendapatkan jawaban yang berbeda di tempat yang berbeda.36 Berdasarkan fenomena ini, maka di suatu sisi, penggunaan ra’y akan memberikan kedinamisan hukum, namun di sisi lain, 34

Lihat Muhammad Roy, Ushul Fikih Mazhab Aristoteles, 38. Untuk lebih jelasnya lihat Ah}mad H{asan, Analogical Reasoning in Islamic Jurisprudence; A Study of The Juridical Principle of Qiyas (Islamabad: Islamic Research Institute, 1986), 11. 35 Lihat Muhammad Roy, Ushul Fikih Mazhab Aristoteles, 39. Untuk lebih jelasnya lihat Ah}mad H{asan, The Early Development of Islamic Jurisprudence (New Delhi: Adam Publisher, 1994), 140-142. 36 Lihat Muhammad Roy, Ushul Fikih Mazhab Aristoteles, 40.

110

menimbulkan kekacauan di pelbagai daerah karena tidak adanya kesepakatan dan kepastian hukum. Hal inilah yang mendorong beberapa ulama untuk menciptakan kesatuan hukum dan membatasi penggunaan ra’y. Salah satu dari beberapa ulama tersebut yang berhasil melakukan pembatasan penggunaan ra’y adalah Muh}ammad ibn Idri>s al-Sha>fi‘i> dengan metode qiya>s-nya.37 Menurut Nas}r H{ami>d Abu> Zaid -sebagaimana yang dikutip oleh Roy- al-Sha>fi‘i> memang sengaja memformulasikan qiya>s dengan syarat yang ketat, agar membendung penggunaan ra’y yang sewenang-wenang sebagaimana mazhab hukum awal. Baginya, ijtihad atau penalaran hukum (ra’y) yang sah dan boleh dilakukan oleh seorang mujtahid hanyalah qiya>s. Kemudian alSha>fi‘i> memberikan syarat-syarat seseorang boleh melakukan qiya>s, yaitu menguasai Bahasa Arab dan unsur-unsurnya, seperti nahw, s}araf, dan balaghah, mengetahui isi kandungan al-Qur’an, seperti na>skh mansu>kh, lafaz umum dan khusus, mendalami sunnah, persoalan-persoalan yang disepakati dan yang tidak disepakati, dan menguasai logika yang benar.38 Dengan adanya syarat-syarat ini, maka pengamalan qiya>s menjadi semakin sempit, karena seorang mujtahid yang akan mengamalkan qiya>s, harus memenuhi syarat-syarat yang cukup berat. Lebih dari itu, metode qiya>s yang dimaksudkan oleh al-Sha>fi‘i> terbatas hanya untuk menyingkapkan hukum yang secara praktis ada di dalam nash, meskipun keberadaannya samar atau tersembunyi.39 Dengan demikian, qiya>s yang ada pada masa sebelum alSha>fi‘i> dipahami sebagai penalaran bebas dalam mencari hukum (ra’y). Sedangkan pada masa al-Sha>fi‘i> menjadi sangat sempit, yaitu perbandingan dua hal yang sejajar karena kesamaannya, yang secara teknis dikenal dengan nama sebab hukum (‘illah al-h}ukm). 37

Lihat Muhammad Roy, Ushul Fikih Mazhab Aristoteles, 41. Ibnu Muqaffa adalah salah satu dari ulama yang mencoba menyatukan beberapa pendapat yang berbeda. Ia memfatwakan hanya imam atau khalifah yang boleh menggunakan ra’y, sedangkan yang lainnya tidak boleh. Masyarakat boleh mengajukan saran kepada khalifah atau imam, tetapi tidak boleh menjalankan pendapat pribadinya. 39 Lihat Muhammad Roy, Ushul Fikih Mazhab Aristoteles, 42. Untuk lebih jelasnya lihat Nas}r H{ami>d Abu> Zaid, al-Ima>m al-Sha>fi‘i> wa Ta’si>s alIdiyu>lu>jiyyah al-Wasat}iyyah (Kairo: Sina li al-Nashr, 1992), 94. 38

111

Lebih dari itu, peng-qiya>s-an ini harus didasarkan pada nash alQur’an dan hadis. Artinya, qiya>s tidak bisa independen, tetapi harus mengikuti kemauan nash keagamaan (nus}u>s} al-shari>‘ah), yakni al-Qur’an dan sunnah. Menurut Nas}r H{ami>d Abu> Zaid, -sebagaimana yang dikutip Roy juga- al-Sha>fi‘i> sengaja mempertentangkan ra’y dengan nash. Dengan demikian, sesuatu yang telah ada nashnya tidak boleh mendapatkan penafsiran dari ra’y. Menurut al-Sha>fi‘i>, tidak satu pun peristiwa yang terjadi pada seseorang kecuali terdapat dalil petunjuk tentang peristiwa tersebut dalam nash al-Qur’an dan sunnah. Dengan demikian, berarti akal tidak mendapatkan peran independen sama sekali dalam andil memutuskan suatu hukum. Ini artinya, konsep qiya>s menurut al-Sha>fi‘i>, hanyalah upaya untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya sudah ada dalam nash, sehingga secara tidak langsung, ia membatasi peran akal mujtahid pengguna qiya>s dalam mengetahui dalil-dalil hukum yang berada di luar al-Qur’an dan sunnah. Hal ini karena qiya>s berada di bawah bayang-bayang hegemoni nash al-Qur’an dan sunnah, sehingga kurang menjadi metode ijtihad yang independen.40 Selanjutnya guna mendukung teorinya tentang qiya>s yang harus tunduk kepada nash, al-Sha>fi‘i> juga ‘mempropaganda’ bahwa pada kenyataannya di masyarakat, terdapat ‘permusuhan’ antara ahl hadith dan ahl ra’y yang saling menghegomoni dalam memutuskan suatu hukum. Menurut al-Sha>fi‘i>, ahli hadis hanya menggunakan hadis saja dalam menggali hukum tanpa peran ra’y sama sekali, dan juga sebaliknya, ahl ra’y hanya menggunakan ra’y saja dalam menggali hukum, tanpa peran hadis sama sekali. Berdasarkan kedua kutub ekstrim yang saling bertentangan ini, alSha>fi‘i> mencoba mencari jalan tengah, yaitu dengan teori qiya>snya, bahwa peran akal masih tetap difungsikan, namun tidak bebas seperti halnya penggunaan ra’y, tetapi diarahkan agar sesuai dengan nash agama, yaitu al-Qur’an dan hadis. Dengan qiya>s ini, seakan al-Sha>fi‘i> telah menjadi aliran moderat, yang mencoba menggabungkan dua ekstrim yang berbeda.41 40

Lihat Muhammad Roy, Ushul Fikih Mazhab Aristoteles, 43. Untuk lebih jelasnya lihat Nas}r H{ami>d Abu> Zaid, al-Ima>m al-Sha>fi‘i> wa Ta’sis alIdiyu>lu>jiyyah al-Wasat}iyyah, 94. 41 Muhammad Roy, Ushul Fikih Mazhab Aristoteles, 44.

112

Namun menurut Ah}mad H{asan –sebagaimana yang dikutip Roy-, anggapan bahwa terdapat dua ekstrim kelompok ahl hadith dan ahl ra’y yang sama-sama hanya menggunakan hadis atau ra’y saja dalam istinba>t} hukum, itu tidak benar. Alasannya karena ahl hadith saat itu kenyataannya juga menggunakan ra’y seperti Imam Ma>lik dalam al-Muwat}t}a>’. Begitu juga orang-orang Irak, yang dijuluki al-Sha>fi‘i> dengan ahl al-qiya>s, mereka juga tidak jarang menggunakan hadis dalam berhujjah. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan tajam antara ahl hadith dan ahl ra’y tidak ada dalam periode awal. Pertentangan baru terjadi pada masa setelah alSha>fi‘i>, ketika kecenderungan mazhab semakin mengakar kuat pada para pengikutnya. Bahkan bisa dikatakan pertentangan ahl hadith dan ahl ra’y dimulai karena upaya ‘propaganda’ al-Sha>fi‘i> ini.42 Berdasarkan pembahasan qiya>s mulai masa al-Sha>fi‘i>, dapat disimpulkan bahwa dengan adanya sistematisasi qiya>s dengan pelbagai macam jenis dan syaratnya yang ketat, maka di satu sisi, ruang lingkup penggunaan ra’y dapat dipersempit dari kesewenang-wenangan pemikiran individu. Namun di sisi lain, sistematisasi qiya>s ini menjadikan hukum bersifat kaku, statis, dan kurang kreatif. Dengan kata lain, bahwa penggunaan qiya>s masamasa awal cukup kreatif dan mampu sebagai solusi untuk menyelesaikan masalah hukum, tetapi setelah qiya>s tersistematisasikan menjadi metode yang rumit, ia kehilangan kreativitas dan kedinamisannya sebagai prinsip literal hukum.43 Roy juga mengutip Joseph Schacht yang mengatakan bahwa pengaruh logika Aristoteles dalam qiya>s Ushul Fikih dapat dilihat dengan penyerapan konsep premis mayor (a maiore ad minusi), premis minor (a minore ad minus), argument of sorites, konsep genus, spesies, dan regressus ad infinitum.44 42

Lihat Muhammad Roy, Ushul Fikih Mazhab Aristoteles, 44. Untuk lebih jelasnya lihat Ah}mad H}asan, Analogical Reasoning,125-126. 43 Lihat Muhammad Roy, Ushul Fikih Mazhab Aristoteles, 45. Abu> Zahrah juga mengatakan bahwa al-Sha>fi‘i> merupakan orang pertama yang merumuskan kerangka teoritis dan metodologis qiya>s sebagai salah satu cara istinba>t} hukum. Lihat Muh}ammad Abu> Zahrah, al-Sha>fi‘i>; H{ayatuh wa Atha>ruh wa Fiqhuh (Kairo: Da>r al-Fikir al-‘Arabi>, t.t), 280. 44 Lihat Muhammad Roy, Ushul Fikih Mazhab Aristoteles, 186.

113

Pasca al-Sha>fi‘i>, ternyata logika Aristoteles semakin besar pengaruhnya terhadap perkembangan qiya>s Ushul Fikih, terutama setelah al-Ghaza>li> memfatwakan logika Aristoteles sebagai salah satu syarat ijtihad. Murid sekaligus pengagum al-Ghaza>li>, Abu> Bakr ibn ‘Arabi> (w. 543), sampai mengatakan tentang gurunya berkaitan dengan filsafat dan logika bahwa al-Ghaza>li> telah masuk ke dalam perut filsafat, kemudian berusaha untuk keluar darinya, tetapi sudah tidak berdaya.45 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa konsep qiya>s Ushul Fikih semenjak masa al-Sha>fi‘i> telah mengandung unsurunsur logika Aristoteles, dan unsur logika ini semakin banyak teradopsi pada masa setelah al-Ghaza>li>. Dengan kata lain, penetrasi logika Yunani ke konsep qiya>s Ushul Fikih, telah bersemi pada masa al-Sha>fi‘i>, dan mencapai puncaknya pada masa al-Ghaza>li> dan seterusnya. Berdasarkan kenyataan berubahnya konsep qiya>s pasca masuknya unsur logika Aristoteles, maka menurut al-Tura>bi> perlu adanya reformulasi baru terhadap model penalaran qiya>s dalam Ushul Fikih. Reformulasi ini dimaksudkan untuk mengembalikan qiya>s seperti bentuk dasarnya, yaitu penemuan suatu hukum baru berdasarkan pada perenungan, penalaran, dan analisis sosial yang menekankan pada ruh keadilan Islam. Reformulasi ini bisa jadi dengan menampilkan konsep logika yang baru (modern) karena logika Aristoteles dianggap sudah tidak relevan dan memang membawa kepada kejumudan,46 atau dengan pembacaan ulang 45

Lihat Muhammad Roy, Ushul Fikih Mazhab Aristoteles, 189. Untuk lebih jelasnya Lihat Muh}ammad Abu> Zahrah, Ibn Taimiyyah; H{aya>tuh wa Atha>ruh wa Ara>’uh wa Fiqhuh (Kairo: Da>r al-Fikr al-‘Arabi>, t.t), 238. ‘Ali> Jum‘ah juga membahas tentang keterkaitan dan keterpengaruhan ilmu Ushul Fikih dengan filsafat. Hal ini beliau tuangkan dalam bukunya ‚ ’Ilmu Us}u>l alFiqh wa ‘Ala>qatuhu bi> al-Falsafah al-Isla>miyyah.‛ 46 Roy –sebagaimana ia kutip dari George J. Mouly- pendekatan logika Aristoteles yang bersifat deduktif sillogistik adalah satu-satunya metode yang efektif dalam cara berpikir secara sistematis pada zaman Yunani dan Romawi sampai pada masa Galileo dan Renaissance. Namun pada perkembangan selanjutnya, yaitu pada permulaan abad ke-17, logika tradisional Aristoteles mulai mendapat gugatan dan kritik karena dirasa sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman yang menuntut kemajuan ilmu pengetahuan. Sebagai gantinya, dimulai metode atau logika induktif yang dirintis oleh Bacon

114

secara kritis terhadap logika Aristoteles yang dilandaskan semangat rasional liberal. Dalam menjawab modernitas, tentu kita harus selalu merujuk pada nash-nash dengan menggunakan kaidah-kaidah penafsiran yang bersifat ushuli. Akan tetapi karena sedikitnya nash yang tersedia untuk itu, usaha tersebut tidak banyak memberikan alternatif solusi pemecahan. Karena itu, menurut al-Tura>bi> kita mesti mengembangkan pelbagai aspek fikih ijtihadi yang bisa memperluas wawasan kita berdasarkan nash-nash yang terbatas. Qiya>s tradisional sudah tidak memadai bagi kebutuhan kita akibat keterbatasan yang dimilikinya sebagai refleksi penggunaan kriteria-kriteria logika formal yang memengaruhi kalangan umat Islam melalui pertarungan peradaban mereka terdahulu yang memberikan dampak begitu kuat sehingga tetap melekat pada pola berpikir kita dewasa ini.47 Al-Tura>bi> juga mengatakan bahwa keterpengaruhan pola pemikiran Islam modern oleh cara berpikir Barat lebih kecil dibandingkan dengan keterpengaruhan pola berpikir Islam yang ada pada masa lalu ketika pemikiran Islam bertarung dengan pemikiran Barat sebelumnya.48 Solusinya menurut al-Tura>bi>, qiya>s konvensional tersebut diperluas sehingga mencakup hal-hal yang bersifat juz’iyya>t (partikular), lalu dari keseluruhannya itu kita mengambil maksudmaksud tertentu yang tercantum di dalamnya, yaitu hal-hal yang menjadi tujuan dan kemaslahatan agama. Hal ini sama atau hampir sama dengan cara ‘Umar ibn Khat}t}a>b dalam menetapkan suatu hukum karena cocok dengan kepentingan masyarakat yang tidak saja mencoba menemukan asumsi-asumsi pada kasus partikular dalam bentuknya yang rinci, kemudian menetapkan hukum suatu kasus berdasarkan qiya>s atas kasus sebelumnya yang mirip dengan itu, melainkan juga menyusun kandungan maksud-maksud dan disempurnakan menjadi logika induktif-deduktif yang dipelopori oleh Charles Darwin. Lihat Lihat Muhammad Roy, Ushul Fikih Mazhab Aristoteles, 191. Untuk lebih jelasnya lihat George J. Mouly, ‚Perkembangan Ilmu.‛ Dalam Jujun S. Suriasumantri (ed), Ilmu dalam Perspektif; sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakekat Ilmu (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,2001), 87-90. 47 Al-Tura>bi>, Tajdi>d Us}u>l, 24. Lihat juga al-Tura>bi>, Tajdi>d al-Fikr, 58. 48 Al-Tura>bi>, Tajdi>d Us}u>l, 25. Lihat juga al-Tura>bi>, Tajdi>d al-Fikr, 59.

115

penetapan syariat terdahulu, lalu mengubahnya menjadi hukumhukum yang diarahkan pada tujuan hidup yang relevan dengan masa sekarang.49 Teori qiya>s konvensional ini disusun secara sempit dan dibatasi oleh logika formal yang mengurangi kemampuannya untuk menghadapi dinamika perubahan masyarakat. Qiya>s konvensional hanya bisa mengakomodasi kemaslahatan dan kepentingan masyarakat Muslim abad pertengahan saja. Hal ini jelas tidak relevan karena cenderung menghasilkan penalaran dan konklusi hukum yang sempit. Tantangan masyarakat modern memerlukan pendekatan yang holistik terhadap persoalanpersoalan hukum.50 Menurut al-Tura>bi>, qiya>s tradisional tetap tidak bisa menghasilkan hukum karena terhambat oleh efek pembatasan logika formal. Oleh sebab itu, al-Tura>bi> memperkenalkan dua teori, di mana keduanya memiliki akar dalam teori hukum konvensional. Ia menyebutnya dengan al-qiya>s al-ijma>‘ li al-wa>si‘ (qiya>s yang menyeluruh dan ekspansif) dan istis}h}ab> al-wa>si‘ (istis}h}ab> yang ekspansif). Yang pertama ia namakan juga dengan qiya>s al-mas}lah}ah al-mursalah. Namun al-Tura>bi> tidak menjelaskan defenisi qiya>s ini.51 Berdasarkan keterangan para tokoh yang telah dijabarkan di atas, keterpengaruhan qiya>s oleh logika silogisme Yunani benar adanya. Namun apakah pengaruh logika Yunani tersebut berefek menjadi mandulnya qiya>s untuk menghasilkan sebuah hukum, penulis tidak sepenuhnya sepakat. Silogisme yang diadopsi oleh al-Sha>fi‘i> ke dalam konsep qiya>s tersebut hanyalah frame dan alur berpikir saja, supaya memiliki standardisasi berpikir dan tidak melebar ke mana-mana. Analogi itu pasti memiliki syarat dan ketentuan tertentu, tapi mungkin pada masa pra al-Sha>fi‘i belum tersusun dan terstruktur secara baik seperti pada masa al-Sha>fi‘i> dan setelahnya.

49

Al-Tura>bi>, Tajdi>d Us}u>l, 27. Lihat juga al-Tura>bi>, Tajdi>d al-Fikr, 60. Lihat juga al-Tura>bi>, Qad}aya> al-Tajdi>d, 167-168. 50 Al-Tura>bi>, Tajdi>d Us}u>l, 7-11. 51 Al-Tura>bi>, Tajdi>d Us}u>l, 29. Lihat juga al-Tura>bi>, Tajdi>d al-Fikr, 62. Lihat juga al-Tura>bi>, Qad}aya> al-Tajdi>d, 168-169.

116

Dari kedua perspektif yang telah dijelaskan di atas terlihat jelas perbedaan qiya>s mainstream jumhur ulama klasik dan perspektif al-Tura>bi>. Ulama klasik menetapkan kriteria-kriteria tertentu dan ketat untuk melakukan qiya>s. Di antara unsur qiya>s yang menjadi perdebatan antara keduanya adalah tentang ‘as}l atau landasan hukum dari al-Qur’an ataupun hadis. Jika tidak memiliki landasan hukum dari al-Qur’an maupun hadis, maka hal ini menurut ulama klasik tidak bisa disebut qiya>s. Sebaliknya, alTura>bi> mengatakan bahwa jika konsep qiya>s tetap terikat dengan nash, maka hukum juga tidak akan berkembang. Tegasnya, konsep qiya>s yang diinginkan oleh al-Tura>bi> adalah qiya>s penggunaan ra’y murni dan terbebas dari keterikatan dengan nash. B. Dari Istis}h}a>b terbatas ke Istish}a>b Ekspansif Defenisi istis}h}a>b menurut Ibn Qayyim al-Jauziyyah adalah: 52 .‫إستدامة إثبات ما كان ثابتا أو نفي ما كان منفيا‬

52

Ibn Qayyim Shamsuddi>n Abi> ‘Abdillah Muh}ammad ibn Abi> Bakr alJauziyyah, A’la>m al-Muwaqqi‘i>n ‘an Rabb al-‘Alami>n (Beiru>t: Da>r Jail, 1401 H/ 1981 M), j. 2, 339. Ima>m al-Shauka>ni> mendefenisikan istis}h}a>b dengan :

,‫أن ما ثبت فً الزمن الماضً فاألصل بقاؤه فً الزمن الحاضر والمستقبل‬ .‫مأخوذ من المصاحبة وهو بقاء ذالك األمر مالم ٌوجد ما ٌغٌره‬ (Apa yang telah ada pada masa lalu, maka menurut hukum asal dipandang masih tetap demikian adanya pada pada masa sekarang dan masa yang akan datang. Istis}h}a>b diambil dari kata mus}a>habah (saling menemani, menyertai), yaitu tetap berlangsungnya suatu hukum suatu perkara selama belum ada sesuatupun yang merubahnya). Lihat Muh}ammad ibn ‘Ali> ibn Muh}ammad al-Shauka>ni>, Irsha>d al-Fuh}u>l (Beiru>t: Da>r al-Fikr, 1412 H/ 1992 M), j. 1, 397. Sedangkan Wahbah al-Zuh}aili> memberi defenisi istis}h}a>b dengan:

‫الحكم بثبوت أمر أو نفٌه فً الزمن الحاضر أوالمستقبل بناء على ثبوته أو عدمه‬ .‫فً الزمن الماضً لعدم قٌام الدلٌل على تغٌٌره‬ (Menghukumi tetapnya suatu perkara atau tidak adanya suatu perkara pada masa sekarang atau masa yang akan datang berdasarkan pada ketetapan atau tidak adanya perkara itu di masa lalu karena tidak adanya

117

(Memberlakukan hukum yang ditetapkan sebelumnya atau menafikan hukum yang sebelumnya tidak ada). Maksud dari defenisi di atas adalah bahwa hukum yang sudah ada dianggap berlaku terus sebelum ada dalil yang menunjukkan bahwa hukum itu telah diganti dengan hukum lain (ithba>t ma> ka>na tha>bit). Sebaliknya, jika memang hukum itu tidak ada, maka selama tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa telah ditetapkan suatu hukum atasnya, keadaannya tetap dianggap demikian (nafy ma> ka>na nafyan). Ibn Qayyim membagi istis}h}a>b kepada tiga bentuk; pertama, istis}h}a>b al-bara>’ah al-as}liyyah atau disebut juga dengan bara>’ah al‘adam al-as}liyyah. Pengertiannya adalah bahwa suatu hukum dianggap tidak ada selama tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa sudah ditentukan hukumnya. Contoh yang dikemukakan oleh Ibn Qayyim salah satunya adalah kebolehan memanfaatkan pepohonan dan buah-buahan yang ada di hutan belantara selama belum ada bukti atau dalil yang menunjukkan bahwa hutan itu telah dimiliki oleh seseorang.53 Kedua, istis}h}a>b al-was}fi> al-muthbit li al-h}ukm al-shar‘i> h}atta yuthbit khila>fuh. Maksudnya adalah bahwa sifat yang telah ditetapkan bagi hukum syar‘i dianggap terus berlaku, selama belum ada dalil lain yang membatalkannya. Misalnya, hubungan suami istri melalui akad pernikahan tetap dianggap berlaku selama belum ada dalil yang menunjukkan bahwa antara suami istri itu telah terjadi perceraian.54 Ketiga, istis}h}a>b h}ukm al-ijma>‘ fi> mah}all al-niza>‘. Maksudnya adalah bahwa suatu hukum ijma>‘ yang dikemukakan oleh para ulama, tetapi terjadi perubahan terhadap sifat hukum yang disepakati tersebut, sehingga menimbulkan perselisihan. Misalnya, seseorang ketika akan shalat tidak menemukan air, lalu bertayammum dan melaksanakan shalat. Menurut ijma>‘ ulama, shalat dalam kondisi seperti ini adalah sah. Yang menjadi sifat dalam kasus ini adalah tidak dijumpainya air, sehingga disepakati dalil yang merubahnya). Lihat Wahbah al-Zuh}aili>, Us}u>l al-Fiqh al-Isla>mi> (Damaskus: Da>r al-Fikr, 1407 H/ 1986 M), j. 2, 859. 53 Ibn Qayyim, A’la>m al-Muwaqqi‘i>n, 340. 54 Ibn Qayyim, A’la>m al-Muwaqqi‘i>n, 340.

118

boleh dan sah melaksakan shalat dengan bertayammm. Tetapi jika setelah shalat ia menemukan air, apakah shalatnya tidak sah dan wajib diulangi lagi? Dalam hal ini Ibn Qayyim berpendapat bahwa istis}ha>b seperti ini dapat dijadikan hujjah, karena pada dasarnya keabsahan shalat dengan bertayammum karena tidak adanya air telah disepakati oleh ulama fikih. Ijma>‘ seperti ini tidak bisa berubah hanya karena berubahnya sifat (ditemukannya air) ketika atau setelah shalat dilaksanakan, dengan alasan bahwa shalat yang dilaksanakan itu telah disepakatai keabsahannya oleh ulama.55 Ketiga bentuk istis}ha>b ini menurut Ibn Qayyim termasuk salah satu metode ijtihad dalam menetapkan hukum terhadap masalah yang tidak ada dalilnya secara khusus. Mengenai kehujjahan istis}h}ab> , ada tiga pendapat; pertama, mayoritas ulama mutakallimi>n mengatakan bahwa istis}h}ab> tidak bisa dijadikan hujjah. Alasannya adalah bahwa tetapnya sesuatu hal pada masa lalu harus membutuhkan adanya dalil, maka begitu juga pada masa sekarang dan masa mendatang pasti juga membutuhkan dalil. Kedua, mazhab H{anafi> menyatakan bahwa istis}h}ab> hanya bisa menjadi hujjah untuk menolak atau menafikan, tidak bisa menjadi hujjah untuk menetapkan dan menyatakan hak. Maksudnya adalah istis}h}ab> itu hujjah untuk menolak sesuatu yang tidak tetap, bukan untuk menetapkan sesuatu. Istis}h}ab> hanya bisa menjadi hujjah untuk tetapnya sesuatu hak yang sudah tetap sebelumnya, bukan menjadi sebab bagi terciptanya hal baru. Ketiga, jumhur ulama Ma>likiyyah, Sha>fi‘iyyah, H{ana>bilah dan Z{ah> iriyyah berpendapat bahwa istis}h}ab> secara mutlak dapat menjadi hujjah untuk menetapkan hukum sehingga ada dalil yang merubahnya. Istis}h}ab> bisa menjadi hujjah untuk menetapkan hak dan hukum sekaligus, juga bisa untuk menolak atau menafikan dakwaan. Kelompok ini beralasan bahwa sesuatu yang telah tetap di masa yang lalu, baik berupa adanya maupun tidak adanya selama tidak ada dalil yang merubahnya, baik secara qat}‘i> atau z}anni>, maka semestinya hukum itu terus berlaku karena diduga kuat belum ada perubahannya. Jika dikatakan istis}h}ab> tidak bisa dijadikan dasar dalam menetapkan hukum, maka ada kemungkinan terjadinya naskh terhadap syariat, akibatnya adalah hilangnya 55

Ibn Qayyim, A’la>m al-Muwaqqi‘i>n, 341.

119

keberlakuan syariat di masa Rasulullah bagi generasi selanjutnya.56 Menurut Hallaq, istis}h}ab> sebenarnya hanya sebagai prinsip hukum, bukan berkualifikasi sebagai sebuah metode pemikiran hukum, walaupun banyak ahli Ushul Fikih yang mengategorikan sebagai sumber hukum. Menurut prinsip ini, ketentuan hukum tentang sesuatu dianggp masih valid sampai ada alasan untuk mengubah asumsi ini.57 Menurut al-Tura>bi>, inti istis}h}a>b adalah bahwa agama itu tidak diturunkan untuk membentuk kehidupan dalam corak yang seluruhnya baru, dan mencampakkan kehidupan agama sebelum agama itu diturunkan. Rasulullah tidak pernah menyatakan bahwa semua nilai yang berlaku sebelum Islam adalah tidak berlaku, batil dan harus diruntuhkan, lalu di atas puing-puingnya dibangun agama yang dilandaskan atas ketentuan yang sama sekali baru, bahkan prinsip yang sangat dipegangi adalah bahwa apa yang selama ini dikenal masyarakat sebagai suatu kebaikan (ma‘ru>f) pasti tetap diterima. Syariat diturunkan dan memasuki kehidupan masyarakat dimaksudkan untuk memperbaiki kehidupan mereka yang selama ini masih buruk. Karena itu, setiap kali al-Qur’an menyebutkan kata al-ma‘ruf atau al-‘urf (kebaikan), maka kata ini mencakup pengertian kebaikan yang pernah berlaku, dan pasti kebaikan seperti itu tetap dibenarkan oleh Islam. Setiap kali Islam menyebutkan kata al-‘adl (keadilan) dan al-qist} (kelurusan), pasti ia memelihara semua nilai keadilan yang pernah dikenal ummat manusia dan dapat dirasakan oleh hati nurani yang tulus.58 Kehidupan ini ditegakkan atas sekian banyak warisan-warisan kebenaran yang telah ditinggalkan oleh agama sebelumnya, atau atas nilai yang dijadikan petunjuk oleh fitrah manusia. Setelah itu baru muncul syariat terakhir yang mengikuti apa yang telah

56

Wahbah al-Zuh}aili>, Us}u>l al-Fiqh al-Isla>mi>, 867-868. Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories: An Introduction to Sunni Us}ul Fiqh (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), cet. ke-3, 167. 58 Untuk menyatakan ‚adil,‛ selain menggunakan kata ‚al-‘adl ‛ dan ‚alqist,‛ al-Qur’an juga menggunakan kata ‚al-mi>za>n.‛ 57

120

diajarkan sebelumnya, meluruskan apa yang bengkok, dan menyempurnakan apa yang belum sempurna.59 Dalam kitabullah dan sunnah Nabi terdapat pelbagai nash yang secara langsung menunjuk pada penerimaan kaidah-kaidah istis}ha>b sebagai penegasan atas dalil-dalil umum yang diterimanya dari agama dan nilai-nilai warisan sebelumnya, seperti yang terdapat dalam al-Qur’an dengan kehidupan yang ada pada masa sebelumnya. Ini sesuai dengan kaidah istis}ha>b dalam fikih yang berbunyi: ‚segala sesuatu itu pada prinsipnya adalah halal‛. ‚Dalam perbuatan, semuanya mubah (diperbolehkan)‛. ‚Orang yang berada dalam perlindungan bebas dari kewajiban‛. ‚Semua upaya yang sungguh-sungguh dari seorang mu’min untuk mengabdi kepada Allah, pasti diterima‛. ‚Segala yang diperlukan untuk kehidupan di dunia ini bersifat netral‛. ‚Tidak ada kewajiban dan tidak pula larangan, kecuali bila betul-betul ada nash yang jelas untuk itu, sehingga ternapikan sifat-sifat kebolehan mengerjakan perbuatan tertentu itu.‛60 Al-Tura>bi> mengklaim, apabila kita gabungkan prinsip istis}ha>b ini dengan prinsip mas}lah}ah mursalah, maka akan terciptalah Ushul Fikih yang terbuka bagi fikih kehidupan sosial dalam Islam.61 Menurut Ibn H{azm, (w. 456 H)62 sesuatu itu ada kalanya mengandung hukum haram karena ada nash yang menerangkan, atau wajib juga karena ada nash yang menerangkan, atau mubah karena tidak ada nash yang menyebutkan tentang haram atau wajibnya. Dengan demikian, hukumnya bukan haram, juga bukan 59

Al-Tura>bi>, Tajdi>d Us}u>l, 30. Lihat juga al-Tura>bi>, Tajdi>d al-Fikr, 61-62. Lihat juga al-Tura>bi>, Qad}a>ya> al-Tajdi>d, 168-169. 60 Lihat al-Tura>bi>, Tajdi>d Us}u>l, 31. Lihat juga Tajdi>d al-Fikr, 62. Lihat juga al-Tura>bi>, Qad}aya> al-Tajdi>d, 169. Teks aslinya sebagai berikut:

‫األصل فً األشٌاء الحل و فً األفعال اإلباحة و فً الذمم البراءة من التكالٌف وكل ما‬ ‫توخاه المؤمن ٌقصد به وجه هللا عبادة مقبولة وكل ما أخذ لمتاع الحٌاة الدنٌا عفو‬ .‫متروك ال له وال علٌه إال أن ٌرد النص فٌنفً صٌفة العفاء أو اإلباحة عن فعل معٌن‬ 61

Al-Tura>bi>, Tajdi>d Us}u>l, 31. Lihat juga Tajdi>d al-Fikr, 62. Lihat juga al-Tura>bi>, Qad}a>ya> al-Tajdi>d, 169. 62 Nama lengkapnya adalah ‘Ali> ibn Ah}mad ibn Sa‘ad ibn H{azm ibn Gha>lib ibn S{a>lih} ibn Khalaf ibn Ma‘da>n ibn Sufya>n ibn Yazi>d. Ia lahir pada 7 November 994 M/ 384 H, dan meninggal pada 20 Sya‘ban 456 H/ 15 Agustus 1064 M. Lihat H.A.R Gibb dan J.H. Kramer (ed), ‚Ibn Hazm‛ dalam Shorter Encyclopedia of Islam (Leiden: E.J. Brill, 1961), j. 3, 149.

121

wajib, tetapi mubah. Inilah yang oleh Ibn H{azm disebut sebagai istis}h}ab> yaitu bahwa segala sesuatu asalnya adalah iba>h}ah sampai ada dalil yang menjelaskan haram atau wajibnya. Ibn H{azm berkesimpulan bahwa nash menunjukkan prinsip iba>h}ah as}liyyah bagi segala sesuatu sampai ada nash lain yang merubah dari prinsip itu, baik berupa larangan atau kewajiban. Ibn H{azm menyatakan bahwa istis}h}ab> sandarannya adalah nash. Apa yang sudah ditetapkan oleh nash mengenai status hukumnya, maka status hukum itu berlangsung terus hingga ada dalil lain yang merubahnya. Berbeda dengan jumhur ulama yang menyatakan bahwa istis}h}ab> berdasarkan pada penalaran akal, yaitu pada ada atau tidaknya hal itu di masa lalu, disebabkan tidak adanya dalil yang merubahnya.63 Ibn H{azm juga menegaskan bahwa Muh}ammad sebagai Nabi terakhir, maka ajaran agamanya tetap berlaku bagi semua orang yang terlahir dan hidup di muka bumi ini sampai hari kiamat, dan syariatnya berlangsung terus dan tetap berlaku di segala zaman, di segala tempat, dan segala keadaan sampai bila ditemukan ada nash lain di zaman lain atau di tempat lain pada keadaan lain atau nama sesuatu yang dihukumi itu berubah karena perubahan esensinya. Perubahan esensi dari sesuatu yang dihukumi oleh nash tidak diragukan lagi mengakibatkan perubahan status hukumnya. Misalnya arak yang berubah menjadi cuka, maka hukumnya berubah menjadi halal.64 Demikianlah pandangan dan pemikiran Ibn H{azm tentang istis}h}ab> di mana Ibn H{azm menempatkan nash, baik al-Qur’an maupun hadis di atas segala-galanya. Di samping itu, karena tidak adanya peluang ijtihad bi al-ra’y dalam ijtihad Ibn H{azm, maka secara teoritis ia banyak menggunakan metode istis}h}ab> dalam ijtihadnya. Pemikiran Ibn H{azm ini sengaja penulis kemukakan karena H{asan al-Tura>bi> mengagumi dan memuji fikih Ibn H{azm ini. Menurutnya, Ibn H{azm adalah seorang yang memiliki pengetahuan luas dengan persoalan politik, hukum, dan pelbagai problem sosial umum. Oleh karena itu, dalam metodologi 63

Abu> Muh}ammad Ah}mad ibn Sa‘ad ibn H{azm, al-Ih}ka>m fi> Us}u>l alAh}ka>m (Beiru>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1406 H/ 1985 M), 59. 64 Ibn H{azm, al-Ih}ka>m fi> Us}u>l al-Ahka>m, 60.

122

ushulnya, kita menemukan sebuah metode luas berupa istis}ha>b yang membuka pintu pengembangan fikih, meskipun Ibn H{azm berpegang pada metodologi literal dalam menafsirkan nash. Namun al-Tura>bi> dalam karya-karyanya tidak memberikan defenisi baru ataupun penjelasan yang lebih detil tentang konsep istis}h}ab> yang ia maksud. Al-Tura>bi> terkesan hanya mengafirmasi penggunaan konsep istis}h}ab> dalam menentukan suatu hukum. Dengan menggunakan konsep istis}h}ab> ini, maka produk hukum (fikih) yang dihasilkan akan lebih luwas dan luwes, karena substansi dari konsep istis}h}ab> ini adalah bahwa segala sesuatu pada dasarnya belum memiliki hukum defenitif, kecuali ada nash yang menerangkannya. Menanggapi konsep al-Tura>bi> ini, Hallaq mengatakan, lebih dari setengah abad setelah Ri>d}a, kegagalan untuk mengartikulasikan sebuah teori hukum yang bermuara dalam konsep mas}lah}ah masih tetap bertahan. Salah seorang dari tokoh pembaru yang mengikuti cara pemikiran Ri>d}a adalah H{asan alTura>bi>. Dalam karyanya The Renewal of Islamic Legal Theory sebagaimana yang dikutip Hallaq- H{asan al-Tura>bi> mengklaim bahwa ia telah menyusun kembali sebuah teori hukum, sebuah teori yang menurutnya menjadi bagian integral wacananya tentang pembaruan. Namun demikian menurut Hallaq, al-Tura>bi> belum melakukan pembaruan tersebut. Al-Tura>bi> memang membedakan dirinya dengan pemikir-pemikir yang ada. Al-Tura>bi> adalah orang pertama yang meninggalkan konvensi teori hukum yang ia pandang sebagai hal yang usang dan tidak ada hubungannya dengan realitas kehidupan modern dan permasalahanpermasalahannya.65 Namun menurut Hallaq, al-Tura>bi> memutarbalikkan teori ini. Agama menurut al-Tura>bi> tidak pernah bermaksud membatalkan semua yang telah mendahuluinya. Nabi, misalnya tidak merubah semua praktik dan hukum-hukum yang ada sebelumnya, tetapi beliau lebih bertujuan membenarkan kembali aspek-aspek kehidupan yang telah berlangsung salah dan melawan prinsip-prinsip agama baru.66 65 66

Hallaq, A History of Islamic Legal Theories, 337. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories, 340.

123

Tanpa menyebutkan data yang otentik, al-Tura>bi> menegaskan adanya kekayaan bukti tekstual untuk memperlihatkan validitas prinsip istis}ha>b. Al-Tura>bi> mengkualifikasi istis}h}a>b sebagai istis}ha>b ekspansif (al-istis}ha>b alwa>si‘) dengan merubah prinsip dari batas-batasnya yang sempit dalam teori tradisional menjadi baru dan berdimensi luas. Dalam teori hukum tradisional, istis}h}a>b dipahami sebagai sesuatu yang dapat diterapkan dalam kasus-kasus tertentu, misalnya yang melibatkan suami yang hilang. Seorang laki-laki yang tidak kembali dari suatu perjalanan dianggap hidup sampai bukti memperlihatkan sebaliknya, atau sampai waktu telah berlalu diperkirakan dia tidak dapat lagi bertahan menghindari kematian alami. Sepanjang dua syarat ini tidak terpenuhi, maka istrinya tidak dapat dianggap sebagai janda, dan tidak diizinkan untuk menikah lagi. Namun ini bukan bentuk istis}h}a>b yang sedang alTura>bi> pikirkan, karena kualifikasi ekspansif dimaksudkan untuk melahirkan konsep dari ranah kasus-kasus hukum tertentu kepada prinsip-prinsip metodologi hukum. Apabila kita menggabungkan prinsip-prinsip dengan mas}lah}ah yang ekspansif ini (al-qiya>s alwa>si‘) maka menurut al-Tura>bi> kita memiliki metodologi hukum yang berjangkauan luas yang dapat secara sukses menghadap masalah-masalah dalam wilayah publik kehidupan Islam modern. Namun al-Tura>bi> tidak menjelaskan proses-proses apa saja yang dilibatkan dalam metodologi baru ini. Al-Tura>bi> juga tidak menjelaskan contoh kasus hukum untuk menggambarkan teori ini. Al-Tura>bi> tidak menuntut bahwa semua mujtahid berada dalam peringkat yang sama dan terdidik secara keseluruhan untuk mengambil peran ini. Hasil ijtihad menurutnya tetap tidak lebih daripada sebuah tawaran, di mana akan ada persetujuan atau penolakan. Pilihan terakhir tetap berada di tangan masyarakat dan bangunan politik yang mewakilinya. Setelah sampai pada sebuah konsensus mayoritas, negara merancang aturan-aturan itu dalam sebuah Undang-undang yang mengikat. Semua tawaran lainnya akan diabaikan.67

67

Al-Tura>bi>, Tajdi>d Us}u>l, 35-37. Lihat juga al-Tura>bi>, Tajdi>d al-Fikr al-

Isla>mi>, 47-48.

124

Menurut penulis, pembaruan teori hukum al-Tur>abi> masih sangat umum dan tidak jelas. Penjelasan tentang konsep pembaruan ini tidak dijelaskan secara memadai. Prinsip qiya>s ekspansif (qiya>s wa>si‘) dan istis}h}a>b ekspansif (istis}h}ab> wa>si‘) itu sangat diperlukan penjelasannya lebih detil. Bagaimana aplikasi dari konsep qiya>s ekspansif (qiya>s wa>si‘) dan istis}h}ab> ekspansif (istis}h}ab> wa>si‘) dalam tataran praktis masih absurd karena tidak diikuti oleh contoh kasus. Dengan demikian, tanpa mengartikulasikan sebuah teori dengan rinci, al-Tura>bi> -sebagaimana yang juga dikatakan oleh elAffandi- tidak dapat dikatakan telah menawarkan sebuah konsep hukum yang memadai untuk mendukung apa yang disebut dengan ‚Revolusi al-Tura>bi>‛68 Penulis sepakat dengan pendapat ‘Ali> Jum‘ah yang mengatakan bahwa apa yang dilontarkan oleh H{asan al-Tura>bi> baru sebatas wacana dan usulan terhadap rekonstruksi mengenai ilmu Ushul Fikih dan belum menyentuh kepada rekonstruksi dalam Ushul Fikih itu sendiri. H{asan al-Tura>bi> tidak menjelaskan tema mana saja yang sudah tidak sesuai dengan konteks kekinian dan juga tema apa yang perlu ditambahkan agar lebih sesuai dengan situasi dan kondisi.69 Menurut Fadallah Abdalla, -sebagaimana yang dikutip elAffandi- al-Tura>bi> hanyalah mencari sensasi, karena tidak didukung oleh alasan dan otoritas keilmuan yang memadai. Kritikus lain juga berpendapat bahwa hukum yang diajukan alTura>bi> tidak sesuai dengan syariah, tapi hanya didasarkan pada konstitusi sekuler. Al-Tura>bi> juga menyerukan untuk menafsirkan kembali al-Qur’an dan tidak tergantung dengan tafsir produk ulama klasik, karena tafsir al-Qur’an di masa lalu hanya mencerminkan semangat zamannya saja. Al-Tura>bi> juga berusaha untuk membedakan proyeknya antara pembangunan atau modernisasi agama (tat}wi>r al-di>n) dan pembaruan agama (tajdi>d al-di>n). Tajdi>d al-di>n merupakan kebangkitan model berpikir dan 68

Lihat Abdelwahhab el-Affandi, Turabi’s Revolution; Islam and Power in Sudan (London: Grey Seal, 1991) 69 Lihat ‘Ali> Jum‘ah, Qad}iyyah Tajdi>d Us}u>l al-Fiqh (Kairo: Da>r alHida>yah, 1413 H/ 1993 M), cet. ke-2, 21-22.

125

berperilaku. Sedangkan tat}wi>r al-di>n adalah usaha agar agama bisa beradaptasi dengan modernitas.70 Al-Tura>bi> bahkan melangkah lebih jauh. Ia berpendapat bahwa kita dapat memilih bentuk ibadah mah{dah yang sesuai dengan keinginan kita. Ia juga mendorong untuk menentang tradisi atau pemikiran keagamaam klasik, dan mencela semua orang yang mengikuti warisan lama sebagai sifat kaku dan pemalu. Ia ingin membatalkan semua kontribusi generasi masa lalu dan kembali langsung ke sumber asli.71 Pendapatnya tentang bebasnya perempuan untuk bergaul dengan laki-laki dianggap bertentangan dengan ketentuan syariah, yang tidak menganjurkan perempuan untuk pergi bekerja kecuali dalam kondisi dharurat, namun harus tetap ada pemisahan yang ketat antara laki-laki dan perempuan. Al-Tura>bi> pun mengakui pendapatnya ini bertentangan dengan pendapat ulama pada umumnya selama berabad-abad ini.72 Namun pendapat-pendapat di atas, al-Tura>bi> tidak menjelaskan rasionalisasi dari aplikasi konsep pembaruannya ini. Teori rekonstruksi al-Tura>bi> ini tidak jelas karena tidak diberikan penjelasan yang memadai secara elaboratif dan tanpa bisa dibuktikan dengan contoh kasus empiris. Dengan melihat argumentasi yang dikemukakannya, al-Tura>bi> hanya terkesan mengafirmasi untuk kembali kepada konsep qiya>s pra al-Sha>fi‘i> yang belum terinfiltrasi oleh logika formal filsafat Yunani. Selain itu, ia juga hanya melegitimasi konsep istis}h}a>b Ibn H{azm yang mengatakan bahwa segala sesuatu asalnya adalah iba>h}ah sampai ada dalil yang menjelaskan haram atau wajibnya. Al-Tura>bi> sesungguhnya tidak menciptakan teori atau konsep hukum baru. Al-Tura>bi juga tidak konsisten dengan motivasi awalnya untuk meninggalkan teori Ushul Fikih klasik karena dianggap tidak relevan pada konteks sekarang, namun kenyataannya ia hanya

70

El-Affandi, ‚H{asan al-Tura>bi> and Limits, dalam M. Abu> Rabi>‘ (ed),

The Blackwell Companion, 156. 71

‘Abdul Fatah} Mah}ju>b Muh}ammad Ibra>hi>m, al-Duktu>r H{asan al-Tura>bi> wa Fasa>d Naz}ariyyah Tat}wi>r al-Di>n (Kairo: Bait al-H{ikmah, 1415 H/ 1995 M), 79-83.

72

Mah}ju>b, al-Duktu>r H{asan al-Tura>bi>, 198-200.

126

merevitalisasi konsep qiya>s dan istis}h}ab> , di mana pondasi kedua konsep ini telah dibangun oleh ulama-ulama terdahulu. Inkonsistensi al-Tura>bi> lainnya terlihat dari tidak terejawantahkan antara konsep pembaruannya (al-qiyas al-wasi‘ dan al-istishab al-wasi‘) ke dalam tataran implementasi. Sebagai refleksi, kedua konsep pembaruan yang diwacanakannya tersebut ingin membebaskan kerangka berpikir dari keterikatan oleh nash yang ketat, tapi kenyataannya banyak kebijakan-kebijakan alTura>bi> sebagai politisi dan pemerintah yang terkesan sangat tekstualis, seperti kebijakannya tidak membolehkan perempuan menduduki jabatan publik, menjadikan non Muslim sebagai warga negara kelas dua dengan berpegang kepada konsep ahl dhimmah, menjadi pendukung utama gerakan formalisasi syariat sebagai konstitusi negara Sudan, dan lain-lain.

127

BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Pembaruan pemikiran keislaman adalah sebuah ikhtiar memberangus kejumudan yang melanda dunia pemikiran Islam agar Islam bisa ‘berbaur’ dalam konteks dunia global. Berbagai tawaran metodologi yang digulirkan oleh para pemikir kontemporer harus disikapi dengan arif dan obyektif. Tradisi kritik harus terus dilanjutkan sebagai upaya selektivitas dalam menyikapi wacana-wacana kontemporer. Al-Tura>bi> merupakan salah seorang dari sederetan nama yang telah mencoba melakukan usaha pembaruan pemikiran Islam tersebut. Dari uraian yang telah dikemukakan dalam bab-bab sebelumnya, maka sampailah kepada suatu kesimpulan sebagai berikut: 1. Kelemahan Ushul Fikih klasik menurut al-Tura>bi adalah; pertama, tidak cocok dengan kondisi sosial kekinian, karena Ushul Fikih klasik hanya berkutat pada pembahasan teks semata, dan mengabaikan spirit syariah itu sendiri, sehingga Ushul Fikih terasa kaku dan menjelma sebagai doktrindoktrin teoritis mandul yang hampir tidak bisa melahirkan fikih sama sekali, dan bahkan justru melahirkan perdebatan yang tak pernah berhenti. Kedua, Ushul Fikih klasik mendominankan naql dan mengabaikan akal. Ketiga, qiya>s tradisional tidak memadai bagi kebutuhan saat ini karena keterbatasan yang dimilikinya sebagai refleksi penggunaan kreteria logika formal pengaruh silogisme Yunani. Selanjutnya, konsep rekonstruksi Ushul Fikih al-Tura>bi adalah dengan memperkenalkan al-qiya>s al-ijma>‘ li al-wa>si‘ (qiya>s yang menyeluruh dan ekspansif) yang ia sebut juga dengan qiya>s al-mas}lah}ah al-mursalah. Selain itu, ia juga memperkenalkan istis}h}a>b al-wa>si‘ (istis}h}ab> yang ekspansif). Keduanya teori ini memiliki akar dalam teori hukum tradisional. 2. Adapun posisi dan distingsi rekonstruksi Ushul Fikih alTura>bi> dengan cendikiawan lain, berdasarkan klasifikasi 129

paradigama hukum keagamaan perspektif Hallaq, al-Tura>bi> adalah tokoh pembaru yang termasuk dalam kelompok utilitarianis keagamaan (religious utilitarinism) karena hanya merevitalisasi konsep qiya>s dan mengafirmasi konsep istis}h}a>b perspektif Ibn H{azm. 3. Mengenai relevansi Ushul Fikih al-Tura>bi> dalam konteks kekinian sepertinya tidak akan berpengaruh banyak karena teori pembaruan hukum al-Tur>abi> ini masih sangat umum dan tidak jelas. Pembaruan Ushul Fikih yang dilakukan oleh H{asan al-Tura>bi> belum menyentuh aspek substantif. Gagasan pembaruan yang beliau lakukan masih dalam tataran retorika dan diskursus semata. Penjelasan tentang konsep pembaruan ini tidak dijelaskan secara memadai. Prinsip qiya>s ekspansif (qiya>s wa>si‘) dan istis}h}a>b ekspansif (istis}h}ab> wa>si‘) itu sangat diperlukan penjelasannya lebih detail. Bagaimana aplikasi dari konsep qiya>s ekspansif (qiya>s wa>si‘) dan istis}h}ab> ekspansif (istis}h}ab> wa>si‘) dalam tataran praktis juga tidak jelas karena tidak diikuti oleh contoh kasus. Penulis sepakat dengan pendapat ‘Ali> Jum‘ah, Hallaq, dan el-Affandi yang mengatakan bahwa apa yang dilontarkan oleh H{asan al-Tura>bi> baru sebatas wacana dan usulan terhadap rekonstruksi mengenai ilmu Ushul Fikih dan belum menyentuh kepada rekonstruksi dalam Ushul Fikih sama sekali. Selain itu, terdapat inkonsistensi antara konsep dan implemetasi. Kedua konsep pembaruan yang beliau wacanakan tersebut ingin membebaskan kerangka berpikir dari keterikatan oleh nash, tapi kenyataannya banyak kebijakan-kebijakan al-Tura>bi> sebagai politisi dan pemerintah yang terkesan sangat tekstualis, seperti kebijakannya tidak membolehkan perempuan menduduki jabatan publik, menjadikan non Muslim sebagai warga negara kelas dua dengan berpegang kepada konsep ahl dhimmah, menjadi pendukung utama gerakan formalisasi syariat sebagai konstitusi negara Sudan, dan lain-lain. Tidaklah berlebihan jika karya tulis ini diharapkan memberikan informasi perkembangan pemikiran metodologi pembaruan hukum Islam, sebagaimana yang dikembangkan oleh 130

al-Tura>bi>, sebagai alternatif pemikiran yang mungkin memiliki kontribusi bagi pemahaman dan pembaruan hukum Islam. A. Rekomendasi Metode yang ditawarkan H{asan al-Tura>bi> merupakan metode yang tidak bebas kritik. Setelah melalui proses dan kajian terhadap konsepsi al-Tura>bi> terhadap gagasan pembaruan ushulnya, kiranya penulis perlu mengemukakan saran sebagai kelanjutan dari kajian penulis atas hal-hal tersebut di atas, yaitu perlunya penelitian yang lebih komprehensif tentang argumentasi pendapat-pendapat ataupun pikiran-pikiran al-Tura>bi> yang mengundang kontroversial di atas karena penulis tidak menemukan apa yang menjadi argumentasi al-Tura>bi> sehingga mengeluarkan pendapat-pendapat demikian. Selain itu, perlu juga diteliti contoh kasus sebagai aplikasi dari konsep pembaruan Ushul Fikih versi al-Tura>bi> ini. Dengan penelitian yang lebih komprehensif, sehingga diharapkan mampu memberikan informasi yang lebih utuh dan dapat memperkaya khazanah pemikiran keislaman. Al-Tura>bi> telah berbuat, walaupun tidak dinapikan masih adanya kelemahan dan kekurangan. Namun dengan demikian, bukan berarti kita harus bersikap apriori terhadap segala yang telah diperbuatnya. Akhirnya, besar harapan penulis, semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi kerangka dan informasi awal bagi penelitian selanjutnya.

131

DAFTAR PUSTAKA Buku: al-‘Awwa>, Muh}ammad Sali>m, al-Fiqh al-Isla>mi> fi> T}ari>q al-Tajdi>d, Beiru>t, al-Maktabah al-Isla>mi>, 1419 H/ 1998 M. Abdullah, Taufik (ed), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Dinamika Masa Kini, Jakarta, Ikhtiar Baru Van Houve, 2002. Abu> Rabi>‘, Ibrahim M. (ed), The Blackwell Companion to Contemporary Islamic Thought, Oxford, Blackwell Publishing, 2006. Abu> Sulaimān, ‘Abdul Hami>d, Towards an Islamic Theory of International Relations, Virginia, International Institute of Islamic Thought, 1994. Abu> Zahrah, Muh}ammad, Ta>ri>kh al-Madha>hib al-Isla>miyyah fi> alSiya>sah wa al-‘Aqa>’id wa Ta>ri>kh al-Madha>hib al-Fiqhiyyah, Kairo, Da>r al-Fikr, 1409 H/ 1989 M. ________, Ushu>l al-Fiqh, Kairo, Da>r al-Fikr al-‘Arabi>, 1407 H/ 1987 H. ________,Ta>ri>kh

al-Madha>hib al-Isla>miyyah fi> Ta>ri>kh alMadha>hib al-Fiqhiyyah, Kairo, Da>r al-Fikr al-‘Arabi>, t.t.

________, al-Sha>fi‘i>; H{ayatuh wa Atha>ruh wa Fiqhuh, Kairo, Da>r al-Fikr al-‘Arabi>, t.t. Abu> Zaid, Nas{r H{ami>d, Naqd al-Khita>b al-Di>ni, >Kairo, Da>r Sina> li al-Nashr, 1413 H/ 1992 M. Adi, Rianto, Metode Penelitian Sosial dan Hukum, Jakarta, Granit, 2004.

132

el-Affandi, Abdelwahhab, Turabi’s Revolution; Islam and Power in Sudan, London, Grey Seal, 2005. al-Ahwa>ni>, Ah}mad Fu’ad, al-Falsafah al-Isla>miyyah, Kairo, Maktabah al-Thaqa>fah, t.t. Ainurrofiq (ed), Mazhab Jogja; Menggagas Paradigma Ushul Fikih Kontemporer, Yogyakarta, Arruz Press, 2002. Amal, Taufik Adnan, Islam dan Tantangan Modernitas; Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, Bandung, Mizan, 1996. ________, dan Samsurizal Panggabean, Politik Syariat Islam dari Indonesia hingga Nigeria, Bandung, Mizan, 2004. Amanat, Abbas, dan Frank Giffel (ed), Sharia; Islamic Law in The Contemporary Context, Stanford, Stanford University, 2007. al-A, Saifuddi>n, al-Ih}ka>m fi> Us}ul> al-Ah}ka>m, Beiru>t, Da>r alKutub al-‘Ilmiyyah, 1404 H/ 1983 M. al-‘A, ‘Abdullah Muh}ammad al-H{usain, al-Thufi’s Refutation

of Traditional Muslim Juristic Sources of Law and His Viewe on the Priority of Regard for Human Welfare as the Highest Legal Sources or Principle, Canada, McGill University, 1993. Appleby, R. Scott, Spokesmen for The Despised; Fundamentalist Leaders of The Middle East, Chicago, Chicago Universty Press, 1997. Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta, Rineka Cipta, 1993. Arief, Abd. Salam, Pembaruan Pemikiran Hukum Islam Antara

Fakta dan Realita; Kajian Pemikiran Hukum Syeikh Mah}mu>d Shalt}ut}, Yogyakarta, LESPI, 2003.

133

‘At}iyyah, Jama>ludi>n, Tajdi>d al-Fiqh al-Isla>mi>, Damaskus, Da>r alFikr, 1421 H/ 2000 M. al-‘Ashmawi>, Muh}ammad Sa‘i>d, Us}ul> al- Shari>‘ah, Beiru>t, Da>r Iqra>’, 1404 H/ 1983 M. Azwar, Saifuddin, Metode Penelitian, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1998. al-Banna>, Jama>l, Nah}wa Fiqh Jadi>d, Kairo, Da>r al-Fikr al-Isla>mi>, 1420 H/ 1999 M. ________, Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m baina al-Qudama>’ wa alMuhaddithi>n, Kairo, Da>r al-Fikr al-Isla>mi>, 2003. Baqir, Haidar dan Syafiq Basri (ed), Ijtihad dalam Sorotan, Bandung, Mizan, 1988. Beik, Muh}ammad al-Khud}ari>,Us}ul> al-Fiqh, Kairo, Da>r al-Fikr al‘Arabi>, 1409 H/ 1988 M. ________, Ta>ri>kh Tashri‘ al-Isla>mi>, Kairo, Maktabah Tija>riyyah, 1380 H/ 1960 M. al-Bukha>ri>, ‘Abdul ‘Azi>z, Kashf al-Asra>r, Beiru>t, Da>r al-Fikr, 1421 H/ 2000 M. Burr, Millard dan Robert O. Collins, Revolutionary Sudan; H{asan al-Tura>bi> and The Islamist State, 1989-2000, Leiden, Koninklijke, 2003. Coulson, Noel, History of Islamic Law, Edinburgh, Edinburg University Press, 1972. Esposito, Jhon L, Islam and Politics, New York, Syracuse University Press, 1985. ________, The Islamic Threat; Myth or Reality? New York, Oxford University Press, 1992. 134

________ (ed), The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World, New York, Oxford University, 1995. dan John O. Voll, Demokrasi di Negara-negara Muslim; Problem dan Prospek, Terj. Rahmani Astuti,

________,

Bandung, Mizan, 1999. ________, dan John O. Voll, Tokoh-tokoh Kunci Gerakan Islam Kontemporer, Terj. Sugeng Harianto, dkk, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2002. Evans, Bergan dan Cornelia Evans, A Dictionary of Contemporary American Usege , New York, Randon House, 1957. al-Ghaza>li>, Abu> H{ami>d, al-Mustas}fa min ‘Ilm Us}u>l, Beiru>t, Da>r alKutub al-‘ilmiyyah, 1404 H/ 1983 H. Gibb. H.A.R dan J.H. Kramer (ed), Shorter Encyclopedia of Islam, Leiden, E.J. Brill, 1961. Hallaq, Wael B, A History of Islamic Legal Theories; An Introduction to Sunni Us}ul Fiqh, Cambridge, Cambridge University Press, 1997. H{anafi>, H{asan, Islamologi 1; Dari Teologi Statis ke Anarkis , Terj. Fuad Mustafid, Yogyakarta, Lkis, 2003. H{asan, H{usein H{ami>d, Naza>riyyah al-Mas}lah}ah fi> al-Fiqh alIsla>mi>, Kairo, Da>r al-Nahd}ah al-‘Arabiyyah, 1396 H/ 1971 M. Hiskett, Mervyn, The Course of Islam in Africa, Britain, Edinburg University Press, 1994. Hito, H{asan, Khula>s}ah fi> Us}ul> al-Fiqh, Quweit, Da>r al-D{iya>’, 1426 H/ 2005 M.

135

Ibn ‘Aqi>l, Abu> al-Wafa’ ‘Ali> ibn ‘Aqi>l ibn Muh}ammad al-H{anbali>, al-Wad}i>h fi> Us}u>l al-Fiqh, Mu’assasah al-Risa>lah, 1420 H/ 1999 M. Ibn ‘Ar, Muh}ammad T{a>hir, Maqa>s}id Shari>‘ah al-Isla>miyyah, Jordan, Da>r Nafa>’is, 1427 H/ 2006 M. Ibn H{azm, Abu> Muh}ammad Ah}mad ibn Sa‘ad, al-Ih}ka>m fi> Us}ul> alAhka>m, Beiru>t, Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1406 H/ 1985 M. Ibn

Khaldu>n, ‘Abdurrahman, Muqaddimah Iskandaria, Da>r Ibn Khaldu>n, t.t.

ibn

Khaldu>n,

Ibra>hi>m, ‘Abdul Fatah} Mah}ju>b Muh}ammad, al-Duktu>r H{asan alTura>bi> wa Fasa>d Naz}ariyyah Tat}wi>r al-Di>n, Kairo, Bait alHikmah, 1415 H/ 1995 M. Ima>rah, Muh}ammad, Ma‘alim al-Manhaj al-Isla>mi>, Beiru>t, Da>r alSala>m, 1429 H/ 2008 M. Iqba>l, Muh}ammad, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, New Delhi, Kitab Bhavan, 1981. al-Jauziyyah, Ibn Qayyim Shamsuddi>n Abi> ‘Abdillah Muh}ammad ibn Abi> Bakr, A’la>m al-Muwaqqi‘i>n ‘an Rabb al-‘Alami>n Beiru>t, Da>r Jail, 1401 H/ 1981 M. al-Jufri, Mufidah Saggaf, Pembaruan Hukum Islam Menurut Jama>l al-Banna>, Jakarta, Gaung Persada Press, 2010. Jum‘ah, ‘Ali>, Qad}iyyah Tajdi>d Us}ul> al-Fiqh, Kairo, Da>r alHida>yah, 1413 H/ 1993 M. al-Jurja>ni>, Muh}ammad, Kita>b Ta’ri>fa>t, Singapura, Jeddah alH{aramain, t.t. Khalla>f, ‘Abdul Wahha>b, ‘Ilm Us}u>l al-Fiqh, Kairo, al-Nashr li alT{iba>’ah wa al-Nashr wa al-Tauzi>’, 1413 H/ 1992 M. 136

Mas‘adi, Gufron Ajib, Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi Pembaruan Hukum Islam, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1997. Madhku>r, Muh}ammad Sala>m, al-Madkhal li al-Fiqh al-Isla>mi>, Beiru>t, Da>r al-Fikr, t.t. Moosa, Ibrahim, Revival and Reform in Islam, Oxford, Oneworld Publication, 2000. Mu>sa, Muh}ammad, al-Ijtiha>d wa Mada H{a>jatina> Ilaih fi Ha>dha> al‘As}r , Kairo, Da>r al-Kutub al-H{adi>thah, t.t. dan Yusdani, Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer, Yogyakarta, UII Press, 2005.

Mu’allim, Amir

Mudzhar, Muhammad Atho’, Membaca Gelombang Ijtihad; antara Tradisi dan Liberasi, Yogyakarta, Titian Ilahi Press, 1998. Muhadjir, Noeng, Metode Penelitian Kualitatif, Jakarta, Rake Sarasin, 1998. al-Na‘i>m, ‘Abdulla>hi Ah}med, Toward an Islamic Reformation; Civil Liberties, Human Right and International Law, New York, Syracuse University Press, 1990. ________, dan Muh}ammad Arkoun (ed), Dekonstruksi Syariah II; Kritik Konsep, Penjelajahan Lain, Terj. Farid Wajidi, Yogyakarta, Lkis, 2009. Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya , Jakarta, Bulan Bintang 1974. Nazir, Moh, Metode Penelitian, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1988. Peterward, Sudan 1898-1989 The Unstable State, London, Lester Crook Academic Publishing, 1990.

137

Putro, Suadi, Muh}ammad Arkoun, Tentang Islam dan Modernitas, Jakarta, Paramadina, 1998. al-Qarad{a>wi>, Yu>suf, al-Ijtiha>d al-Mu‘a>s}ir baina al-Inz}iba>t} wa alInfira>t}, Kairo, Da>r Tauzi>‘ wa al-Nas}r al-Isla>miyyah, 1414 H/ 1994 M. ________, al-Fiqh al-Isla>mi> baina al-As}lah} wa al-Tajdi>d, Kairo, Da>r S}ahwah, 1406 H/ 1986 M. Rahman, Budhi Munawar (ed), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta, Yayasan Paramadina, 1995. Rahman, Fazlur, Major Themes of The Qur’an, Chicago, Bibliotheca Islamica, 1980. ________, Membuka Pintu Ijtihad, Terj. Anas Mahyudin, Bandung, Penerbit Pustaka, 1995. al-Raishu>ni>, Ah}mad dan Jama>l Ba>ru>t, al-Ijtiha>d; al-Nas}, al-Wa>qi‘, al-Mas}lah}}ah, Damaskus, Da>r al-Fikr, 1421 H/ 2000 M. Rashwān, D{iyā, The Spectrum of Islamist Movements, Kairo, Markaz al-Dira>sah al-Siya>sa>t wa al-Istira>tijiyya>t, 2007. Roy, Muhammad, Ushul Fikih Mazhab Aristoteles; Percakapan Logika Aristoteles dalam Qiya>s Ushul Fikih, Yogyakarta, Safiria Insani Press, 2004. al-Sarkhasi>, Us}ul> al-Sarkhasi>, Kairo, Mat}ba‘ah al-Sa‘a>dah, t.t. al-Sa>yis, Muh}ammad ‘Ali>, Nash’ah al-Fiqh al-Ijtiha>d wa At}wa>ruh, Kairo, Silsilah Buhu>th al-Isla>miyyah, 1390 H/ 1970 M. Schacht, Joseph, An Introduction of Islamic Law, London, Oxford University Press, 1971. Sfeir, Antoine, The Colombia World Dictionary of Islamism, New York, Colombia University Press, 2007. 138

Sjadzali, Munawir, Ijtiha>d Kemanusiaan, Jakarta, Paramadina, 1997. al-Shadr, M. Baqir dan Murtadha Muthahhari, Pengantar Ushul Fikih dan Ushul Fikih Perbandingan, Jakarta, Pustaka Hidayah, 1993. Shahru>r, Muh}ammad, Nah}wa Us}ul> al-Jadi>dah li al-Fiqh al-Isla>mi>, Damaskus, al-Aha>b li al-T{iba>‘ah li al-Nashr wa al-Tauzi>‘, 1425 H/ 2004 M. ________, al-Kita>b wa al-Qur’a>n; Qira>’ah Mu‘a>s}irah, Damaskus, al-Aha>b li al-T{iba‘>ah li al-Nashr wa al-Tauzi‘, 1412 H/ 1992 M. al-Shauka>ni>, Muh}ammad ibn ‘Ali> ibn Muh}ammad, Irsha>d al-Fuh}ul, Beiru>t, Da>r al-Fikr, 1412 H/ 1992 M. Shay, Shaul dan Rachel Liberman, The Red Sea Terror Triangle; Sudan, Somalia, Yemen, and Islamic Terror, USA, Interdiciplinary Center Herliza Project, 2007. al-Sijista>ni>, Abu> Da>ud Sulaima>n ibn al-Ash‘ath, Sunan Abi> Da>ud, Beiru>t, Da>r al-Kita>b al-‘Arabi>, 1409 H/ 1989 M. Smith, Wilfred Cantwell, Modern Islam in India, Princeton, Princeton University Press, 1957. Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1996. Syarifuddin, Amir, Ushul Fikih, Jakarta, Kencana, 2009. T{ah> a, Mah{mud Muh}ammad, Pembaruan Pemikiran Islam; Sebuah Upaya Tipudaya-Belajar dari Kasus Sudan, Terj. M. Thalib, Surabaya, Amar Press, 1987.

139

________, Syariah Demokratik, Terj. Nurrachman, Surabaya, LSAD, 1996. Tibi, Bassam, Islam and The Cultural Accomodation of Social Change, Oxford, Westview Press, 1991. al-T{u>fi>, Najmuddi>n Abi> al-Rabi>‘ Sulaima>n ibn ‘Abd al-Qawiy ibn ‘Abdul Kari>m ibn Sa‘i>d, Sharh al-‘Arba‘i>n al-Nawawiyyah, Kairo, Da>r al-Kutub al-Misriyyah, t.t. ________, Sharh} Mukhtas}ar al-Raud}ah, Beiru>t, Mu’assasah alRisa>lah, 1410 H/ 1990 M. al-Tura>bi>, H{asan, al-H{arakah al-Isla>miyyah fi> al-Sudan; alTat}awwu>r wa al-Kash wa al-Manhaj, Lahore, Iman, 1410 H/ 1990 M. ________,al-Tajdi>d al-Fikr al-Isla>mi, >Da>r al-Qarafi li al-Nashr wa al-Tauzi>‘, 1413 H/ 1993 M. ________, Tajdi>d Us}ul> al-Fiqh al-Isla>mi>, Kharthoum, Maktabah Da>r al-Fikr, 1400 H/ 1980 M. ________, Qad}a>ya> al-Tajdi>d Nah}wa Manhaj Us}u>li>, Beiru>t, Da>r alHa>di, 1421 H/ 2000 M. Zaida>n, ‘Abdul Kari>m, al-Waji>z fi> Us}ul> al-Fiqh, Beiru>t, Muassasah al-Risa>lah, 1407 H/ 1987 M. Zed, Mestika, Metode Penelitian Kepustakaan, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2004. al-Zuh}aili>, Wahbah, Us}ul> al-Fiqh al-Isla>mi>, Damaskus, Da>r al-Fikr, 1407 H/ 1986 M. Jurnal:

140

Fazlur Rahman, ‚Toward Reformulating the Methodology of Islamic Law‛, New York University Journal of International Law and Politics, vol. 12, (1979). H{asan al-Tura>bi>, ‚Principles of Governance, Freedom, and Responsibility in Islam,‛ American Journal of Islamic Social Sciences No. 4, (1987). Samsurizal Panggabean, ‚Politik dan Agama di Sudan; Turabi dan Masalah Selatan,‛ Islamika No. 6, (1995). Satria Effendi M. Zen, ‚al-Muwa>faqa>t fi> Us}u>l al-Shari>‘ah Karya al-Sha>t}ibi>; Suatu Kajian tentang Pembaruannya dalam Ushul Fikih,‛ Ahkam No. 2 (Pebruari 1999). Tesisi/ Disertasi/ Paper: Abd. Moqshit Ghazali ‚Beberapa Kaidah Penafsiran al-Qur’an‛ yang disampaikan pada Konferensi Internasional ‚The Qur’an and Hadith Between Text and Context‛, 9-10 Desember 2010). Arip Purkon, ‚Metodologi Fikih Islam Kontemporer Menurut Muh}ammad Shahru>r,‛ tesis Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008. M. Lutfi Yusuf, ‚Pemikiran Fazlul Rahman tentang Konsep Pembaruan Pemahaman Hukum-hukum al-Qur’an dan Relevansinya dengan Tantangan Kehidupan Era Globalisasi,‛ disertasi Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004. Mufidah Saggaf Aljufri, ‚Pembaruan Hukum Islam menurut Jama>l al-Banna>,‛ Disertasi SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010. Suadi Sa’ad, ‚Islam Menghadapi Tantangan Kemodernan; Pandangan Muhammad Arkoun,‛ tesis Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1995. 141

GLOSSARIUM

Furu>‘ Hasil dari aktivitas ijtihad (baca; fikih).

H{i>lah Celah, mencari-cari alasan untuk tujuan kemudahan.

Ijma>‘ Secara literal berarti kesepakatan atau konsensus. Dalam konteks hukum Islam berarti konsensus pendapat hukum. Ijtihad Mencurahkan kemampuan dan mengerahkan segala kekuatan dalam suatu perbuatan. Sedangkan secara istilah yaitu, mujtahid mengerahkan segala kemampuannya untuk mengetahui hukumhukum syariat dengan cara istinba>t}. Ijtihad intiqa>’i> Ijtihad dengan cara memilih pendapat ahli fikih terdahulu dalam masalah tertentu, seperti yang terdapat dalam kitab-kitab fikih klasik dengan menyeleksi mana yang paling kuat dalilnya dan lebih relevan untuk diterapkan dalam kondisi sekarang. Ijtihad insha>’i> Mengambil konklusi hukum baru dalam suatu permasalahan yang belum pernah dikemukakan oleh para ulama fikih terdahulu.

‘Illah Alasan atau rasionalisasi hukum

Istih}sa>n Mengeluarkan hukum suatu masalah dari hukum masalah-masalah yang serupa kepada hukum lain karena didasarkan hal lain yang lebih kuat dalam pandangan mujtahid.

142

Istinba>t} Secara bahasa, kata istinba>t} berarti mengambil air dari mata air. Adapun menurut istilah syara‘ adalah menggali dan menetapkan hukum berdasarkan pengertian yang diambil dari nash dengan mengerahkan segala kemampuan dan kesungguhan.

Istis}ḥa>b Apa yang telah ada pada masa lalu, maka menurut hukum asal dipandang masih tetap demikian adanya pada pada masa sekarang dan masa yang akan datang. Madaniyyah Sebutan untuk ayat-ayat yang turun setelah Nabi hijrah dari Kota Makkah ke Kota Madinah. Makkiyyah Sebutan untuk ayat-ayat yang turun sebelum Nabi hijrah ke Kota Madinah.

Maqa>s}id al-shari>‘ah Tujuan-tujuan disyariatkannya hukum.

Maslah}ah Mursalah Menetapkan hukum dalam hal yang tidak disebutkan dalam nash dengan mempertimbangkan kepentingan hidup manusia yang bersendikan asas menarik manfaat dan menghindari mudharat.

Mud}a>rabah Bentuk kerja sama antara dua atau lebih, di mana pemilik modal (s}a>hib al-ama>l) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mud}a>rib) dengan suatu perjanjian di awal. Bentuk ini menegaskan kerja sama dengan kontribusi seratus persen modal dari pemilik modal dan keahlian dari pengelola.

Muh}kam/ Muh}kama>t Ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki makna di mana bisa dipahami dengan jelas dan hanya memungkinkan satu penafsiran yang tegas,

143

yang dibedakan dari mutasha>biha>t yang memungkinkan terjadinya beragam penafsiran dan pendapat. Mu‘tazilah Mazhab akidah dalam Islam yang sangat rasional.

Mutakallimi>n Sebutan untuk ulama yang ahli dalam ilmu kalam.

Na>skh -mansu>kh Teori bahwa Tuhan atau Nabi telah menghapus atau mengganti teks atau kandungan hukum ayat-ayat tertentu dalam al-Qur’an atau hadis-hadis tertentu.

Qat}‘iyya>t Pasti, bukan perkiraan

Qiya>s Deduksi analogis. Dalam konteks hukum Islam berarti metodologi hukum yang bertumpu pada penggunaan analogi untuk menemukan kesimpulan hukum pada kasus yang belum ditemukan hukumnya ketika teks hukum tidak memberikan kesimpulan final terhadap kasus tersebut.

Qiya>s Tradisional/ Konvensional Konsep qiya>s menurut jumhur (mayoritas) ulama. Dengan kata lain, konsep qiya>s sebagaimana yang dikemukakan ulama klasik. Ta>bi>’ ta>bi‘in Generasi setelah ta>bi‘in

Ta>bi‘i>n Generasi setelah era sahabat

Qaul qadi>m Pendapat Imam Shafi’i ketika beliau bermukim di Irak

Qaul jadi>d 144

Pendapat Imam Shafi’i ketika beliau bermukim di Mesir.

Sadd al-zari>‘ah Secara literal berarti menutup jalan atau mencegah keburukan. Dalam konteks hukum Islam berarti asumsi hukum yang digunakan untuk merumuskan hukum yaitu mencegah terjadinya perbuatan yang dilarang dan melarang berbagai jalan yang mengarah kepada perbuatan tersebut.

Z{anni>/ z}anniyya>t Persoalan-persoalan yang termasuk dalam ranah ijtihad.

Zuhd Tidak peduli dengan hal-hal yang bersifat keduniaan.

145

BIOGRAFI A. Identitas Pribadi: Nama Tempat/ Tgl Lahir Alamat Rumah

: Ahmad Mas’ari : Pulau Jambu, 19 Juni 1984 : Desa Pulau Jambu Kecamatan Kampar, Kabupaten Kampar-Riau

B. Pendidikan Formal: 1. SDN No. 11 Desa Penyasawan, 1991-1997. 2. MTs Pondok Pesantren Islamic Centre Al-Hidayah Kampar, Riau, 1997-2001. 3. MAK Pondok Pesantren Islamic Centre Al-Hidayah Kampar, Riau, 2001-2004. 4. Konsentrasi Perbandingan Mazhab dan Fikih Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005-2010. 5. Konsentrasi Syariah, Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010-sekarang. C. Pendidikan Non Formal: 1. Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA) Persatuan Tarbiyah Islamiyah Desa Pulau Jambu, 1992-1996. 2. Diploma Satu Bahasa Arab di Lembaga Studi Islam dan Bahasa Arab (LSIA) Bogor, 2004-2005. 3. Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus Sunnah, 2005-2008. 4. Pesantren Tahfizh al-Qur’an Manba’ul Furqan, 2007. 5. Pendidikan Kader Ulama (PKU) oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) DKI Jakarta, 2008-2010. D. Karya Ilmiah: 1. Rekonstruksi dan Reformulasi Hierarki Sumber Hukum Islam dalam Upaya Kontekstualisasi Fikih (Studi Konsep Pemikiran Pembaruan Hukum Islam Jama>l al-Banna>), skripsi S1. 2. Rekonstruksi Ushul Fikih Perspektif H{asan al-Tura>bi> (Kajian Konsep Qiya>s dan Istis}h}ab> ), tesis S2.

E. Tulisan yang Pernah Dipublikasikan: 1. “Optimalisasi Umur untuk Beramal Saleh” di Buletin

Dakwah Umat Nabawi.

2. “Pesantren sebagai Institusi Pendidikan Islam Khas Nusantara; antara Idealita dan Realita” di website Ponpes Islamic Centre Al-Hidayah Kampar, Riau . 3. “Koruptor, Penjahat Kemanusiaan” di Harian Riau Pos, 24 Januari 2012. 4. “Kartini dan Feminisme” di Harian Riau Pos, 21 April 2012 5. “Filosofi Isra’ Mi’raj di Malam Hari”, di Harian Riau Pos, 16 Juni 2012. F. Pengalaman Kerja: 1. Editor Freelance di Penerbit Erlangga, 1997. 2. Volunteer Pengumpulan Wakaf di Tabung Wakaf Indonesia (TWI), 1998. 3. Surveyor Lembaga Survey Indonesia (LSI), temporal. 4. Dosen Agama Islam di STIE Bangkinang – Riau, 2010. 5. Staff di Yayasan Masjid Agung Al-Jihad Ciputat, 2010sekarang.

Ahmad Mas'ari_Rekonstruksi Ushul Fikih Perspektif Hasan al-Turabi ...

Fikih yang ditawarkan oleh cendikiawan asal Sudan ini, H{asan al- Tura>bi>. ... PDF. Ahmad Mas'ari_Rekonstruksi Ushul Fikih Perspektif Hasan al-Turabi.PDF.

4MB Sizes 16 Downloads 401 Views

Recommend Documents

Al-Ushul min Ilmil Ushul - Syaikh Al Utsaimin.pdf
selama bukan untuk tujuan komersial. Page 3 of 142. Al-Ushul min Ilmil Ushul - Syaikh Al Utsaimin.pdf. Al-Ushul min Ilmil Ushul - Syaikh Al Utsaimin.pdf. Open.

Asbab Nazool e Quran By Abu Al Hasan Ali Bin Ahmad Al Wahdi Al ...
Asbab Nazool e Quran By Abu Al Hasan Ali Bin Ahmad Al Wahdi Al Neshapuri.pdf. Asbab Nazool e Quran By Abu Al Hasan Ali Bin Ahmad Al Wahdi Al ...

ushul fiqh.pdf
There was a problem previewing this document. Retrying... Download. Connect more apps... Try one of the apps below to open or edit this item. ushul fiqh.pdf.

ushul fiqh.pdf
selama bukan untuk tujuan komersial. Page 3 of 142. ushul fiqh.pdf. ushul fiqh.pdf. Open. Extract. Open with. Sign In. Main menu. Displaying ushul fiqh.pdf.

Ahmad
roadside tree. P. cineraria. Native, few localised patches at shallow sand at southern margin of. Rab' al-Khali (empty quarters). Vernacular Name: Ghaf, Shibhan,.

Theologi Hasan Hanafi.pdf
Retrying... Download. Connect more apps... Try one of the apps below to open or edit this item. Theologi Hasan Hanafi.pdf. Theologi Hasan Hanafi.pdf. Open.

Hasan CANI .pdf
Page 1 of 134. “STUDIM. MBI SILVIKULTURËN E LLOJEVE TË DUSHQEVE GJETHERËNËSE. NË BREZIN E ZONËS FITOKLIMATIKE TË DUSHQEVE TË. RRETHEVE KUKËS, DIBËR, BULQIZË DHE MAT”. DOKTORANTI UDHEHEQËS SHKENCOR. Msc. Hasan CANI Prof. Dr. Vath TABAKU. TIRANE 2014.

Ahmad Setiadi.pdf
which is effective to detect in early. Neural network as a model of data mining can be used to. predict wether someone is suffered from diabetes mellitus or not.

Muhammad Rusydi Sahabuddin_Hijrah dalam Perspektif al-Quran.pdf ...
There was a problem previewing this document. Retrying... Download. Connect more apps... Try one of the apps below to open or edit this item. Muhammad ...

2013.ar.salah hasan ahmad.PDF
There was a problem previewing this document. Retrying... Download. Connect more apps... Try one of the apps below to open or edit this item. 2013.ar.salah ...

UAMBN FIKIH 2015.pdf
Page 2 of 15. Fikih_M a d ro s o h A! iyo h -P rog ro m I PAI P S/ B AH ASA 2 0 L,-UTAM A ... UAMBN FIKIH 2015.pdf. UAMBN FIKIH 2015.pdf. Open. Extract.

syed shabih hasan
SYED SHABIH HASAN. Department of Computer Science. University of Iowa. Iowa City, IA 52242. Phone: (319) 333-9468. Email: [email protected] ... Human Computer Interaction, Machine Learning, Data Science, IoT Based Healthcare, Signal Pro- ces

Al-Ushul Ats-Tsalatsah - Terjemah.pdf
Al-Ushul Ats-Tsalatsah - Terjemah.pdf. Al-Ushul Ats-Tsalatsah - Terjemah.pdf. Open. Extract. Open with. Sign In. Main menu. Displaying Al-Ushul Ats-Tsalatsah ...

125 - Ahmad Ragab.pdf
systems? some organizations consider ERPs as a necessity for conducting business,. others want to exploit them to outperform their competitors. In the last few years,. researchers have begun to study the link between ERP systems and competitive. adva

Contoh Makalah Qiyas Ushul Fiqh.pdf
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan. rahmat serta karunia-Nya dalam menyelesaikan makalah ini. kami menyadari.

Kitab Syarh Ushul as Sittah.pdf
There was a problem previewing this document. Retrying... Download. Connect more apps... Try one of the apps below to open or edit this item. Kitab Syarh ...

2011.en.dilman ahmad aziz.pdf
There was a problem previewing this document. Retrying... Download. Connect more apps... Try one of the apps below to open or edit this item. 2011.en.dilman ...

2010.ar.bushra hasan marwf.pdf
to work in the research lab and in the animal house of the college. I would. like to thank the staff of Pharmacology Department-College of Medicine in. particular ...

Mariwan Hasan Book - cutted.pdf
Page 1 of 1. The Image of Modern Man in T. S. Eliot's Poetry. Image. The. Of Modern Man in. T. S. Eliot's Poetry. Mariwan Nasradeen Hasan Barzinji. Mariwan Nasradeen Hasan Barzinji. A Synopsis of “Th e Image of Modern Man in T. S. Eliot's Poetry”

Major Mahmud Hasan Tariq.pdf
forms equation of line. ft only on their gradient. (ii) x y = → = += 0.5 ln 4 3 3 9.928. y = 20 500. M1. A1. correct expression for lny. (iii) Substitutes y and rearrange for 3x. Solve 3x. = 1.150. x = 0.127. M1. M1. A1. Page 3 of 10. Major Mahmud

ahmad nadeem qasmi books pdf
Download. Connect more apps... Try one of the apps below to open or edit this item. ahmad nadeem qasmi books pdf. ahmad nadeem qasmi books pdf. Open.

20142404548 - AHMAD FATHONI - Biodata.pdf
Asal PT. Kab/Kota PT. Semester. SKS Kumulatif. SKS Diakui. Pendataan Ulang Biodata Mahasiswa. STIT Raden Wijaya. Paling Lambat Dikumpulkan di Awal ...

2012.en.yusra ahmad salih.pdf
Whoops! There was a problem loading more pages. Retrying... Whoops! There was a problem previewing this document. Retrying... Download. Connect more apps... Try one of the apps below to open or edit this item. 2012.en.yusra ahmad salih.pdf. 2012.en.y